Sebuah pasal “Bahagia tanpa merasa bahagia” dalam bukunya, “The Compass” ada pertanyaan menggelitik dari Henry Manampiring. Pertanyaan itu, “Apa yang kamu bayangkan jika mendengar kata ‘bahagia’?; “Apakah sekarang kamu bahagia?” Henry menganjurkan kita tidak terburu-buru dalam menjawab.
Kata “bahagia” atau happiness dalam bahasa Inggris, umumnya dimaknai sebagai sebuah perasaan (feeling). Kebahagiaan menjadi pengalaman subyektif, dan bersifat pribadi atau personal. Bahagianya seseorang tergantung pada orang tersebut. Jika kebahagiaan dipersempit hanya sebagai perasaan, merasa senang maka ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk memperoleh perasaan itu. Namun, kita tahu pada akhirnya itu semua sementara bahkan dilihat dalam jangka panjang dapat merugikan. Tidak kekal! Kita bisa makan enak, mahal dan dilayani bak raja, lalu kita merasa bahagia pada saat itu. Tetapi seiring selesainya santapan, rasa bahagia itu juga memudar. Begitu juga mencari rasa bahagia dengan shopping, drug, seks, judi dan sejenisnya. Semua memberikan rasa bahagia sesaat, tetapi tidak bertahan lama atau bahkan kemudian hari membawa masalah.
Mencari rasa bahagia dari perkara material atau kenikmatan inderawi tidak akan ada habisnya. Kamu ingin mengikuti komunitas sepeda, sehingga kamu membeli sepeda. Belum lama kamu merasa bahagia dari memiliki sepeda baru, ternyata kamu menyadari sepedamu belum cukup mahal untuk bisa diterima di komunitas yang menjadi impianmu. Sesudah membeli sepeda mahal, ternyata belum cukup juga, harus dilengkapi dengan aksesoris baju sepeda, sepatu, kacamata hitam yang bermerek, dan begitu seterusnya.
Inilah masalah-masalah yang timbul bila “bahagia” hanya diartikan sebagai perasaan subyektif. Bagi para filsuf Yunani klasik, kebahagiaan tidak sama dengan merasa bahagia. Kebahagiaan hakiki berkaitan dengan kata yang sulit diterjemahkan: Eudaimonia!
Aristoteles menggambarkan eudaimonia dengan tujuan akhir dari hidup manusia. Eudaimonia terdiri dari eu, dalam bahasa Yunani berarti “bagus”, daimon bisa berarti “jiwa” atau spirit. Sehingga eudaimonia berarti “jiwa yang bagus”, “hidup yang bermutu” (good life). Bahagia (eudaimonia) sebagai hidup yang bagus, bermutu dan berkualitas jelas berbeda dari sekedar merasa bahagia atau senang. Dan kualitas yang dimaksud di sini bukan faktor-faktor seperti jumlah uang, investasi, property, karier, jumlah follower, dan sebagainya karena ini semua tidak bisa menjadi tujuan dari hidup yang sesungguhnya.
Kebahagiaan sebagai tujuan hidup yang sesungguhnya tidak ditentukan oleh perasaan, maka hidup bagus, hidup berkualitas atau bermutu bahkan bisa terjadi pada saat kita merasa sedih. Kita bisa saja saat ini sedang merasa sedih atau berduka, tetapi hidup yang kita jalani sangat berkualitas atau bermutu. Sebaliknya, kita saat ini bisa merasa senang, bahagia dan sukacita, namun sebenarnya hidup kita tidak berkualitas, hidup tidak bermutu! Jadi mulai dari sekarang kita tidak bisa men-judge seseorang yang wajahnya tidak bahagia sebagai pertanda bahwa hidupnya tidak bagus. Sebaliknya, mereka yang tampaknya selalu ceria penuh senyum dan tawa yang dipajang di media sosial, belum tentu hidupnya baik-baik saja!
Saya pikir, dalam pelayanan-Nya, Yesus tidak menawarkan kehidupan yang bahagia sebagai sebuah perasaan senang dan sukacita. Mestinya ada yang lebih dalam dari itu. Tujuan hidup yang hakiki bukanlah kenyang dengan roti atau makanan, bukan pula terbebas dari sakit penyakit atau nyeri karena disisihkan oleh para penguasa. Bukan itu! Meski tidak menutup mata dengan kebutuhan fisik, namun Yesus mengajak para pengikut-Nya untuk mencari perkara-perkara yang di atas.
Pasal 6 dari Injil Yohanes merupakan titik balik dari orang yang berbondong-bondong mengikut Yesus. Pasal ini dimulai dengan orang banyak berbondong-bondong mengikut Yesus. Mudah ditebak: Yesus menghadirkan kebutuhan mereka. Ia telah banyak melakukan mukjizat, mulai dari Kana, air menjadi anggur kemudian berturut-turut menyembuhkan banyak orang sakit, mengusir setan dan memberi makan lima ribu orang. Mereka takjub, menjadikan Yesus idola dan “mesias” impian. Namun sayang, bukan itu yang menjadi tujuan hidup yang sebenarnya. Ketika Yesus membeberkan dan mengarahkan tujuan hidup yang harus mereka raih, yakni hidup berkualitas, hidup bagus dan bermutu dengan jalan mengalami persekutuan dengan diri-Nya, satu persatu mereka mengundurkan diri hingga yang tersisa hanyalah dua belas murid saja. Pasal ini dimulai dengan orang berbondong-bondong mengikut Yesus dan diakhiri dengan mereka berbondong-bondong meninggalkan-Nya.
Hal ini sangat kontras dengan apa yang terjadi pada zaman Yosua. Dalam keseluruhan rangkaian exodus dan ketika selangkah lagi umat Tuhan ini masuk negeri perjanjian. Yosua mengadakan pembaruan janji umat di hadapan TUHAN. Rangkaian peristiwa demi peristiwa membuat Yosua dan keluarganya yakin bahwa Allah telah menyertai dalam segenap perjalanan itu sehingga keyakinan inilah yang membuatnya penuh komitmen untuk tetap setia kepada TUHAN sebab hanya Dia yang sumber segala yang baik dan yang membuat hidup menjadi bagus, indah, bermutu.
Lalu, apakah Yesus gagal memikat orang banyak? Apakah Yesus gagal memertahankan kesetiaan mereka untuk mengikuti ke mana pun dan apa pun yang Ia katakan? Tentu saja tidak! Pada saatnya mereka akan mengerti bahwa apa yang diajarkan dan ditawarkan Yesus adalah kebahagiaan yang dibutuhkan oleh semua orang.
Mereka belum mengerti bahwa Yesus menawarkan relasi dengan diri-Nya yang lebih dalam, amat pribadi dan begitu dekat. Relasi itu akan membawa setiap orang yang terhubung dengan-Nya kepada Allah, Sang Bapa pemilik tunggal kehidupan kekal yang dalam bahasa Aristoteles hanya Dia-lah yang dapat memberikan eudaimonia. Dengan menikmati roti surgawi, Yesus mengajak kita tinggal di dalam diri-Nya. Membiarkan Yesus tinggal dalam hati kita berarti bahwa kita bersedia membersihkan rumah hati kita untuk memberi ruang kepada-Nya sehingga Ia dapat tinggal di dalam diri kita. Makan “daging” dan “minum” darah-Nya berarti kita menjadi satu dengan-Nya, sama seperti Dia dengan Sang Bapa yang adalah satu!
Dengan memberikan tubuh dan darah-Nya, Yesus memasukkan kita dalam suatu misteri yang akan menjadi jelas ketika kita larut bersama-Nya. Yesus mengatakan kepada kita bahwa relasi kita dengan diri-Nya merupakan hubungan yang akan dihidupi-Nya dengan Sang Bapa. Hubungan-Nya dengan Bapa akan menjadi sumber sekaligus tujuan kebahagiaan hidup kita. Sayangnya, buat orang banyak perkataan ini terlalu berat. Ini tidak menyenangkan! Orang yang berbondong-bondong itu menginginkan Yesus saja yang melakukan hal-hal yang baik buat diri mereka dan dunia ini. Namun, Yesus menghendaki kitalah yang melakukan hal-hal itu bagi dunia. Benar ini tidak mudah, namun bukankah Yesus berjanji bahwa kita tidak sendirian? Roh Kudus akan menolong kita untuk memberi makan kepada yang miskin, untuk berjuang bagi keadilan dan perdamaian. Untuk memelihara semua keutuhan ciptaan-Nya yang dulu diciptakan dengan sungguh amat baik. Untuk hadir membela yang lemah dan tertindas. Menjadi teman dan sahabat bagi mereka yang kesepian dan menderita. Untuk menyatakan kepada mereka kegembiraan dalam persahabatan. Untuk menyatakan kepada semua orang bahwa mereka dikasihi Allah!
Jangan khawatir, untuk melakukan itu, melalui Paulus kita diingatkan bahwa Allah telah memberikan perlengkapan iman. Ya, tentu saja berbeda dari perlengkapan perang yang dibanggakan dunia. Efesus 6:10-20 menjadi kelengkapan kita dalam menghidupi dunia ini. Ya, menghidupi seperti Yesus menghidupi. Bukan dengan menawarkan rasa bahagia atau kesenangan sesaat tetapi makna dan tujuan hidup yang sebenarnya, eudaimonia!
Apakah Anda bahagia menjadi anggota atau bergereja di GKI?, Apakah gereja kita telah menawarkan apa yang dulu ditawarkan Yesus? Ataukah kita sedang sibuk mencari pengikut dan berlomba-lomba dengan gereja-gereja mega-church. Sehingga ketika kehadiran umat berkurang kita meniru cara-cara mereka bahkan meniru cara-cara bisnis yang kadung terlihat tidak etis? Mari kita maknai ulang tahun gereja kita yang ke-36 dengan kritis kita bertanya, “Sudahkah sebagai pribadi dan gereja kita meneruskan kepada dunia apa yang dulu disampaikan Kristus?”
Jakarta, 22 Agustus 2024 Minggu Biasa tahun B (Ulang tahun GKI ke-36)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar