Dalam perkembangan manusia, setiap orang memulai dengan apa yang disebut oleh Jack Skeen, Greg Miller dan Aaron Hill (The Circle Blueprint) sebagai “Lingkaran kecil” yang hanya mencakup nilai-nilai yang berpusat pada diri sendiri: kenyamanan, keamanan, kesenangan. Bayi secara ekslusif berfokus pada kenyamanan perut yang kenyang, popok yang kering, dan tempat tidur yang hangat. Saat menjadi dewasa, seseorang akan menghadapi kehidupan yang menantang dengan peluang-peluang untuk memperluas dunianya yang membutuhkan adanya penambahan baru ke dalam lingkarannya. Lingkarannya bertambah besar, pusatnya mulai bergeser dan memasukkan orang lain dalam “lingkarannya” itu.
Orang dewasa yang gagal berkembang, ia akan tetap memiliki lingkaran yang kecil yang tidak seimbang. Ia tidak menghargai banyak hal. Kepentingannya adalah untuk memanjakan diri, membentengi diri rasa aman dan nyaman. Dampaknya, ia memberi pengaruh negatif pada orang lain dan komunitas. Fisiknya telah dewasa tetapi ego diri dan lingkarannya tetap kecil. Anda bayangkan orang dewasa masih memakai popok dan minum dari dot botol!
Orang dewasa yang sehat akan tumbuh dengan memperluas lingkaran kehidupannya. Ia akan menjalin relasi dan melibatkan diri dalam kepentingan lebih banyak lagi orang. Ia akan memiliki tanggung jawab tidak hanya untuk kesejahteraan sendiri tetapi kesejahteraan orang lain pun menjadi sama pentingnya untuk diperjuangkan. Waktu dan harta Anda sekarang terbagi. Keputusan-keputusan Anda sekarang membawa dampak terhadap orang lain. Memperluas hubungan dan memasukkan orang lain dalam lingkaran keprihatinan Anda tentu saja tidak mudah karena Anda akan melawan diri sendiri. Ya, lawannya adalah egoisme dan egosentrisme!
Ada dua cara orang membangun dan memperluas lingkarannya. Pertama, untuk menjaga diri sendiri. Agar hal ini berhasil, Anda hanya memberikan sejauh apa yang diberikan oleh orang lain dan menerima sejauh apa yang diterima oleh orang itu. Anda harus selalu menjaga diri untuk memastikan bahwa hubungan ini adalah hubungan yang adil – mencatat dengan menambah atau mengurangi siapa yang telah melakukan apa untuk menentukan tindakanb apa yang selanjutnya akan dibuat.
Cara kedua, berhenti mencatat dan memberikan diri Anda sepenuhnya ke dalam hubungan itu. Kini, Anda tidak lagi memikirkan apa yang adil bagi diri Anda lalu berhenti mencemaskan tentang apa yang telah Anda beri dan terima terhadap orang itu – Anda berhenti menghitung untung-rugi dan hanya memberi tanpa pamrih dalam relasi itu.
Pendekatan pertama terasa adil tetapi ada harga yang harus dibayar: Anda tidak hanya menghabiskan waktu dan sumber daya mental yang berharga hanya untuk mencatat dan mengkhawatirkan siapa yang berhutang pada siapa, dan melakukan debit dan kredit pada hubungan laporan akuntansi Anda. Hubungan yang dilakukan dengan cara ini rapuh! Begitu salah satu pihak tidak mendapatkan keadilan yang seimbang, bubar jalan! Pendekatan cara yang kedua akan membebaskan Anda dari beban akuntansi ini. Dan ketidakegoisan yang Anda berikan ke dalam relasi itu berdampak memperkaya nilai spiritual Anda dan orang lain!
Yesus membangun relasi dengan semua orang dengan tidak mencatat dan mengkhawatirkan apa yang telah Ia berikan kepada orang banyak itu. Ia juga tidak peduli apakah orang yang telah menerima berkat-berkat-Nya itu mengingat dan berterima kasih kepada-Nya atau tidak. Ia melakukannya tanpa pamrih! Lingkaran kehidupannya semakin meluas, tidak hanya terhadap dua belas orang murid inti, melainkan pada semua orang yang berbondong-bondong mengikuti-Nya. Bisa jadi di antara mereka ada yang benar-benar tulus, namun bisa juga di antara mereka terselip orang-orang munafik yang sedang mencari-cari kesalahan-Nya. Semua mendapat perlakuan yang sama!
Solidaritas Yesus terlihat ketika melihat orang banyak. Pada waktu itu hari telah senja, Yesus tahu dan mengerti bahwa mereka mengikuti-Nya sepanjang hari. Ya, tentu secara fisik mereka lelah dan lapar. “Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?” (Yohanes 6:5b). Sikap solider dapat terbangun ketika seseorang merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sikap solider terjadi kalau seseorang mau melibatkan dan memasukkan orang lain pada kepentingan dirinya sendiri.
Jelas, Yesus menginginkan apa yang dilakukan-Nya itu berdampak. Murid-murid-Nya mau meniru dan mempunyai keprihatinan yang sama. Punya gaya dan tabiat yang sama. Namun, sayangnya dalam situasi kritis justru para murid ini sama seperti orang dewasa yang memakai popok dan minum dari dot susu! Ya, secara fisik mereka adalah orang dewasa. Sudah sekian lama mereka mengikut Yesus dari dekat. Namun tidak juga mau memperbesar lingkaran kepedulian terhadap orang banyak.
Alasan simpel dan pragmatis tampaknya masuk akal. Uangnya tidak cukup! “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja.” (Yohanes 6:7). Apakah Yesus tidak mengerti kalkulasi belanja dan distribusi barang? Jelas, Yesus tahu dan hal itu ditegaskan dalam ayat 6. Namun, sepertinya yang dikehendaki Yesus bukan itu. Yesus ingin para murid ini punya karakter seperti diri-Nya. Solidaritas terhadap mereka yang membutuhkan!
Kontras! Justru dalam situasi genting seorang anak tampil menyerahkan bekalnya berupa lima roti jelai dan dua ikan. Mungkin saja ini adalah bekal dari orang tuanya ketika ia tertarik untuk mengikuti arus orang banyak yang berbondong-bondong mengikut Yesus. Ya, anak kecil yang sering disebut naar yang biasanya tidak dipandang sebelah mata. Namun kepeduliannya melebihi mereka yang telah dewasa. Anak kecil yang menurut Jack Skeen dan teman-temannya belum memiliki lingkaran kepedulian luas. Ia yang seharusnya masih memikirkan kenyamanan dan kesenangan sendiri justru memberi pelajaran berharga. Lingkaran kepedulianya telah melibatkan urusan orang lain menjadi urusannya. Rasa lapar orang banyak itu telah menjadi bagian dari rasa laparnya sehingga dengan rela ia memberikan semua bekalnya untuk keperluan orang banyak.
Bisa saja Yesus melakukan mukjizat tanpa bahan yang tersedia atau dari batu sekalipun seperti yang dipercayai Iblis ketika mencobai-Nya. Namun, mengapa hal itu tidak dilakukan-Nya? Kali ini Yesus ingin “mencobai” (ayat 6) murid-Nya. Apa yang akan mereka lakukan bila krisis itu terjadi dan menyeret bela rasadan peduli. Apakah mereka punya? Apakah mereka solider? Atau sembunyi dalam selimut kalkulasi pragmatis yang tampaknya logis?
Banyak dari kita menggunakan kalkulasi pragmatis logis untuk tetap nyaman dalam lingkaran kecil. Yah, memikirkan kenyamanan dan kesenangan sendiri. Jauh dari kata solider! Benar, ada risiko ketika kita memperbesar lingkaran kepedulian terhadap orang lain. Namun, ketika cara-cara Yesus yang kita teladani; tidak berhitung tentang apa yang kita berikan dan masa bodoh dengan apa yang mereka balas terhadap kebaikan kita maka hati kita akan menjadi lebih sejahtera dan pastinya juga apa yang kita lakukan terhadap orang lain tidak membebani mereka menjadi berhutang budi karena sejatinya semuanya berasal dari Allah sendiri.
Peristiwa mukjizat Yesus memberi makan 5000 orang lebih adalah peristiwa di mana Ia mau kita semua terlibat dalam karya-Nya. Ia mau kita menjadi orang-orang yang solider dengan penderitaan dan kebutuhan sesama dan bukan mencari-cari alasan yang ujung-ujungnya tidak mau terlibat dalam kesulitan orang lain!
Jakarta, 25 Juli 2024. Minggu Biasa, tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar