Di setiap negeri atau suatu bangsa pasti punya cerita-cerita heroik tentang orang-orang yang gigih dan pantang menyerah berjuang untuk kepentingan orang banyak. Mereka melupakan kepentingan pribadi dan keluarga, bahkan nyawanya sendiri. Namun sayangnya, jumlah orang-orang seperti ini tidak banyak. Lebih banyak mereka yang punya kesempatan berkuasa lalu memanfaatkannya untuk kesenangan dan kemakmuran sendiri dan paling banter berbagi dengan kelompoknya.
Pelbagai kebijakan meski sudah diatur melalui undang-undang namun tetap saja bisa direkayasa. Dulu, zaman Orde Baru ada banyak proyek-proyek tampak luarnya bagus, untuk menyejahterakan rakyat, berswasembada beras, dan pelbagai macam infrastruktur sehingga bapak presiden The Smiling General bertambah lagi gelarnya menjadi “Bapak Pembangunan”. Apa yang tampak di luar bagus nyatanya keropos di dalam. Banyak tindakan manipulatif, korup, dan nepotisme. Kepemimpinan berikutnya tidak jauh berbeda, banyak proyek mangkrak. Belum lama kita dengar Kebijakan Proyek Strategis Nasional tampaknya bagus untuk mengangkat derajat ekonomi rakyat banyak, namun di sana-sini justru menguntungkan terutama mereka para pengambil kebijakan dan cukong-cukong yang dekat dengan pusaran kekuasaan.
Proyek Strategis Nasional yang berjumlah 233 proyek dengan nilai investasi lebih dari 6.246 Triliun harapannya dapat mengangkat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Ideal! Kenyataan di lapangan tidak seindah itu. Ada tiga kritik pedas yang di lontarkan oleh Wahana Lingkungan Hidup. Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati sejak awal menyoroti PSN. Menurutnya, kebijakan ini dibuat terburu-buru tanpa ada kajian mendalam terhadap kondisi lingkungan hidup. Ada tiga kejanggalan. Pertama, PSN tidak mencermati daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Kedua, PSN menambah konflik di masyarakat yang umumnya berkaitan dengan lahan atau sengketa agraria. Ketiga, potensi kerugian negara. Contohnya kegagalan proyek Food Estate, pembangunan bandar udara yang tidak maksimal.
Para penguasa memainkan peran penting dalam pelbagai kebijakan termasuk mengamankan dan melanggengkan kekuasaan melalui mekanisme dan system yang berlaku. Namun di dalamnya telah banyak disusupi oleh “ordal” (orang dalam). Saya membayangkan sedikit banyak kondisi inilah yang sedang terjadi pada zaman Nabi Yeremia. Sehingga Sang Nabi menyampaikan kecamannya, “Celakalah para gembala yang membiarkan kambing domba gembalaan-Ku hilang dan terserak! Demikianlah firman TUHAN.” (Yeremia 23:1). Benar, tidak sama dengan para penguasa Israel dahulu. Namun, nafsu berkuasa dan menguasai terlihat jelas! Roh atau spirit hati seorang gembala yang berpihak kepada mereka yang tertindas, miskin dan teraniaya tidak lagi kasat mata nyata. Seperti para gembala, yakni pemimpin Israel zaman Yeremia, mereka sibuk menggembalakan diri mereka sendiri. Mereka sibuk merampas lahan di jadikan proyek yang menurut mereka strategis. Ya, strategis buat mereka tetapi tidak untuk orang-orang yang dirampas tanahnya!
Apa yang terjadi pada Israel? “Aku akan mengangkat atas mereka gembala-gembala yang akan menggembalakan mereka, sehingga mereka tidak takut lagi, tidak terkejut dan tidak hilang seekor pun, demikianlah firman TUHAN.” (Yeremia 23:4). Pada hakikatnya setiap penguasa yang tidak adil dan menyengsarakan rakyatnya maka yang dihadapi adalah Tuhan sendiri!
Tampaknya, dari zaman Yeremia sampai pada masa Yesus, kondisi seperti ini tidak banyak berubah. Para gembala, yakni penguasa baik penguasa religius maupun politik tetap sama. Mereka sibuk dengan diri sendiri dan membiarkan para domba, yakni rakyat jelata mengais rejeki dan berharap belas kasihan untuk makanan dan pemulihan kondisi tubuh mereka. Jika kebutuhan mendasar mereka terpenuhi, niscaya mereka akan bekerja pada sektor pekerjaannya masing-masing. Nyatanya, “Ketika Yesus mendarat, Ia lihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajar banyak hal kepada mereka.” (Markus 6:34).
Yesus melihat orang banyak itu seperti domba yang tidak punya gembala. Apa artinya? Dikaitkan dengan apa yang Yesus lakukan, yakni ‘mengajar dalam banyak hal’ itu artinya mereka tidak cukup menerima pengajaran yang baik dari orang-orang yang punya integritas moral. Jika mereka telah ‘kenyang’ maka mustahil akan ada di sekitar Yesus. Di samping itu, mereka juga butuh pemulihan, penerimaan dan kepedulian. Ini tidak didapatkan dari para gembala mereka. Tidak mustahil, para gembala – mereka yang katanya para pelayan umat Tuhan – masa kini, melakukan apa yang sama seperti para gembala Israel itu. Umat dibutuhkan demi memenuhi kebutuhan mereka!
Anda bayangkan, Yesus pada saat itu telah banyak melakukan pelbagai pelayanan. Demikian juga dengan para murid. Mereka baru saja kembali dari tugas perutusan mereka. Para murid sebelumnya diutus ke kampung-kampung dan desa-desa untuk mewartakan dan mengerjakan Injil Kerajaan Allah. Mereka kembali dan ingin beristirahat sendirian bersama dengan Yesus sambil mengevaluasi pelayanan. Retreat! Saking sibuknya pelayanan, maka makan pun mereka tidak sempat. Namun, apa yang terjadi? Ternyata orang banyak itu telah mengendus tempat ke mana Yesus bersama dengan para murid itu pergi. Mereka mendahului Yesus dan murid-murid-Nya. Mereka sudah ada di sana menanti kedatangan Yesus!
Jika Anda yang menjadi salah seorang dari murid Yesus itu, apa yang Anda rasakan? Setelah letih pelayanan, makan pun tidak sempat. Tentu saja Anda ingin beristirahat, memulihkan kembali tenaga dan semangat. Namun, tiba-tiba terusik lagi dengan hadirnya orang banyak. Pasti Anda akan berpikir, kapan istirahatnya? Gempor iya! Namun, itu tidak terjadi pada Yesus. Mata-Nya melihat dengan belas kasihan. Bela rasa! Yesus dapat merasakan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Mereka datang jelas dengan membawa kebutuhannya masing-masing. Dan, dibandingkan dengan kebutuhan diri bersama dengan murid-murid-Nya yang memerlukan istirahat dan makan, jelas Yesus melihat orang banyak yang datang itu lebih perlu untuk ditolong.
Istirahat dan makan jelas adalah hal penting yang tidak boleh diabaikan. Namun, Yesus sedang mengajar kepada para murid-Nya tentang prioritas! Sebagaimana ketika Yesus mengajak para murid untuk mengikuti-Nya, bahwa mereka harus meletakkan prioritas mengikut-Nya, maka kini, Ia mengajarkan sebagai gembala harus memberi prioritas pada domba-domba-Nya. Sang Gembala harus berani dan mampu menanggalkan kepentingan, kebutuhan bahkan nyawanya sendiri untuk para dombanya. Bukan sebaliknya, mengeksploitasi para domba untuk kepentingan dan kesenangan sang gembala.
Sekali lagi Yesus tidak sedang mengajarkan bahwa istirahat dan makan itu tidak penting. Yesus tampil memenuhi kualifikasi sebagai Gembala baik yang digubah oleh Daud dalam Mazmur 23. Apa yang dilakukan-Nya bukan hanya ucapan tetapi keseluruhan perilaku-Nya. Hari ini kita belajar dari keprihatinan atau bela rasa Sang Gembala. Mestinya, keprihatinan dan bela rasa itu juga ada dalam setiap kawanan domba gembalaan-Nya. Sebab, setiap pengikut Yesus mestinya selalu melekat bagai ranting pada pokok anggur, mereka akan berbuah karena nutrisi yang mengalir dari pokok itu lebih dari cukup untuk menghasilkan buah.
Dalam hidup kita selalu akan diperhadapkan dengan pilihan. Pada umumnya setiap orang mendahulukan atau memprioritaskan kepentingan dan kebutuhannya sendiri, baru sesudah itu dapat berbagi dengan yang lain. Berbicara tentang bela rasa dan prioritas, Yesus mengajarkan dengan baik dan tepat. Ada kalanya kita menahan diri demi kebutuhan orang lain yang lebih mendesak. Yesus ingin setiap domba-domba-Nya punya hikmat seperti itu. Maka kehadiran orang-orang lain yang lebih membutuhkan mestinya menjadi sarana untuk kita melayani dan mengerjakan apa yang Tuhan sudah contohkan kepada kita.
Jakarta, 19 Juli 2024. Minggu biasa tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar