Ia bernama Anicius Severinus Manlius Boethius berdarah bangsawan yang lahir sekitar 475 M, kira-kira bersamaan ketika Kaisar Romawi terakhir, Romulus Augustulus digulangkan. Boethius dibesarkan dengan pendidikan terbaik. Di bawah pemerintahan Raja Theodoric, Boethius menguasai kantor-kantor tertinggi di Roma. Kedudukan sosialnya yang istimewa membuat dia dapat mempelajari bahasa Yunani sampai tuntas dan melahap pelbagai karya klasik para filsuf.
Pada masanya, tentu setelah edik Theodorus, para bangsawan Romawi telah sepenuhnya beragama Kristen. Dan, Boethius kerap terlihat adu argumentasi, bukan saja dengan para pejabat istana, tetapi juga dengan para pejabat gerejawi, terutama pada pusaran perpecahan antara Gereja Latin dan Yunani yang diselesaikan tak lama sebelum kematiannya.
Tahun-tahun akhir menjelang ajalnya – seperti terkuak dalam karyanya: Penghiburan Filsafat – Ia berselisih dengan sang boss di katornya, Theodoric dan akhirnya dengan semua pejabat istana lantaran ia mengecam praktik korupsi yang terjadi dalam ring satu istana itu. Boethius dituduh sebagai penghianat dan terlibat dalam ilmu sihir. Ia dipenjarakan, lalu dieksekusi pada sekitar 526 M!
Istana tidak menerima pil pahit kebenaran yang disampaikan Boethius! Begitu juga Istana Yerobeam tidak menerima teguran Amos, alih-alih Amazia, sang imam istana menuduhnya sebagai penghianat, “Amos telah bersekongkol melawan tuanku di tengah-tengah kaum Israel; negeri ini tidak tahan lagi dengan segala perkataannya.” (Amos 7:10b) demikian tuduhan Amazia terhadap Amos. Lebih menyakitkan lagi, Amos dituduh sebagai orang yang mencari nafkah dengan berkhotbah, “Pelihat, pelihat, enyalah ke tanah Yehuda! Carilah nafkahmu di sana! Tetapi jangan lagi bernubuat di Betel, sebab inilah tempat kudus raja, inilah bait suci kerajaan.” (Amos 7:12-13). Amazia, mewakili Yerobeam II, raja Israel ke-4 memuntahkan pil pahit kebenaran itu. Mereka mengusir sang pembawa pesan yang akan menghindarkan Israel dari petaka. Pembuangan ke Babel!
Nasib serupa menimpa Yohanes Pembaptis. Kebenaran itu dimuntahkan oleh Herodes Antipas. Semua berawal ketika Yohanes menegur Herodes karena telah mengambil Herodias, istri Filipus yang masih hidup, sementara Herodias sendiri belum bercerai dengan suaminya. Hal yang sama terjadi, Herodes Antipas juga belum bercerai dengan istrinya.
Herodes Antipas adalah anak dari Herodes Agung. Herodes Agung sendiri bukanlah orang Yahudi tetapi seorang Idumea, di sebelah selatan Yudea. Mengapa ia bisa menjadi raja Yudea? Sebab, sang ayah, Herodes Antipater memiliki hubungan baik dengan pembesar Roma sehingga pada 47 SM diangkat menjadi raja Yudea. Raja inilah yang disebut oleh Matius yang memerintahkan bayi-bayi di Betlehem dibunuh. Ia meninggal pada tahun 4 SM dan membagi wilayah kekuasaannya untuk ketiga orang anaknya, yakni Antipas, Filipus, dan Akhelaus. Antipas berkuasa di wilayah Perea dan Galilea, Filipus berkuasa di wilayah timur laut Danau Galilea, dan Arkhelaus membawahi wilayah Yudea dan Samaria.
Antipas mengambil Herodias, sementara Phasaelis, istri sah, putri raja Aretas dari Nabatea masih tinggal di istana. Akhirnya, sang istri memilih pulang ke rumah orang tuanya. Jadi, di sini terjadi perselingkuhan dan tindakan amoral keji. Maka tidaklah mengherankan kalau Yohanes Pembaptis yang sebelumnya dengan suara lantang di padang gurun menyerukan pertobatan, berulang kali mengecamnya, sampai akhirnya pihak istana gerah dan memerintahkan agar Yohanes segera dijebloskan ke dalam penjara!
Orang yang paling geram mendengar kecaman Yohanes adalah Herodias. Ia menaruh dendam kesumat dan merancangkan pembunuhan terhadapnya. Namun, berulang kali Herodias harus memendam niatnya itu karena Yohanes sekalipun telah dipenjarakan dan dibelenggu, ia masih dilindungi Herodes. Bahkan, sangat mungkin kalau Herodes memenjarakan Yohanes sebenarnya untuk melindunginya dari persekongkolan pembunuhan yang sedang dirancang oleh Herodias. Bagaimana pun juga hati nurani Herodes bergetar setiap kali mendengar dan membayangkan teguran Yohanes. “sebab Herodes segan kepada Yohanes karena ia tahu bahwa Yohanes orang yang benar dan suci, jadi ia melindunginya. Ketika ia mendengarkan Yohanes, hatinya selalu terombang-ambing, namun ia merasa senang juga mendengarkan dia.” (Markus 6:20).
Herodes adalah tipe orang seperti yang diperingatkan Yesus, “roh penurut tetapi daging lemah.” Rohnya, batin, hatinya tahu tentang kebenaran. Ia mengerti apa yang bisa menyelamatkannya: bertobat! Namun, itu semua tidak dilakukannya karena ia enggan keluar dari kenyamanan dan nafsu duniawi yang sedang ia nikmati. Di sisi lain, Herodes adalah tipe seorang penakut. Ia takut wibawanya hancur, ia takut kehilangan Herodias dan ia takut kehilangan kekuasaan. Herodes sama seperti orang sakit yang sebenarnya tahu. Ia harus minum obat dan menjalani terapi. Ia harus menelan pil pahit yang memulihkan. Namun, ia tidak mau mengambil langkah itu. Ia tidak mau kepahitan menimpanya, ia tidak mau menelannya bahkan menolak dan memuntahkannya.
Akhirnya, Herodias mempunyai kesempatan. Hari itu adalah hari ulang tahun Herodes. Dalam pestanya, sang raja mengundang para tamu terhormat. Mereka adalah para pembesar, dan para perwira, orang-orang yang terkemuka di Galilea. Anak perempuan Herodias menari di depan para undangan yang terhormat itu. Pertunjukan anak itu sangat memukau dan memesona. Herodes begitu senang dan dalam kegembiraan yang meluap itu, ia berkata dengan disertai sumpah kepada gadis penari itu, “Apa saja yang kauminta dariku akan kuberikan kepadamu, sekalipun setengah dari kerajaanku.” (Markus 6:23).
“Kepala Yohanes Pembaptis di atas sebuah pinggan!” Demikian jawaban sadis dari gadis yang tadi menari gemulai setelah dihasut oleh sang bunda. Bak disambar geledek di siang bolong. Herodes tidak menyangka. Namun kadung terucap di hadapan tetamu terhormat. Herodes mewujudkan permintaan sang gadis itu!
Siapa pun dapat menolak bahkan memuntahkan “pil pahit” kebenaran. Ya, benar Boethius mati, Amos diusir dan Yohanes harus membayar dengan kepalanya. Namun, apakah kebenaran itu berhenti dan mati? Ternyata tidak. Seribu tahun setelah eksekusi Boethius orang terhenyak akan banyak kebenaran yang ia sampaikan. Bahkan ia menulis pokok-pokok filsafat yang sangat berharga di dalam penjara sebelum kematiannya. Setelah kehancuran Israel dan pembuangan mereka ke Babel, akhirnya orang-orang Israel mengerti dan menyesali pil pahit kebenaran yang telah mereka tolak. Akhir hidup Herodes diwarnai dengan konflik. Setelah Phasaelis pulang ke rumah ayahnya, sang ayah, Raja Aretas IV menyerang wilayah Herodes dan mengalahkan tentaranya. Pada 39 M, Herodes dituduh oleh keponakannya, Agripa I, bahwa ia bersekongkol melawan kaisar Romawi yang baru, Caligula. Caligula kemudian membuangnya ke pengasingan di Gaul. Bersama dengan Herodias, ia meninggal di sana!
Seperti orang sakit yang tidak mau meminum obat, bisa saja itu terjadi pada diri kita. Tuhan dengan pelbagai cara memberi peringatan demi peringatan kepada kita untuk meninggalkan perilaku buruk dan menata kembali pada jalan yang dikehendaki-Nya. Namun, sering kali kita berpikir sudah kepalang basah, atau terlanjur menikmati dan takut kehilangan banyak hal jika kembali lagi kepada jalan Tuhan.
Seperti tertinggal suatu barang di rumah. Apakah kita akan kembali lagi mengambil atau terus jalan. Pertanyaannya adalah: seberapa pentingkah barang yang tertinggal itu? Kalau yang tertinggal itu adalah HP dan laptop sebagai alat untuk kita bekerja, maka sesulit apa pun juga kita akan kembali untuk mengambilnya. Ingat, keselamatan dan hidup kekal itu melebih HP atau laptop kita, untuk barang-barang itu kita akan kembali. Maka, untuk sesuatu yang kekal kita seharusnya bersedia menerima dan menelan “pil pahit kebenaran”!
Jakarta, 11 Juli 2024. Minggu biasa, tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar