“Gusti Allah mboten sare”, setiap orang Jawa, apa pun agama dan kepercayaannya tahu dan mengerti pitutur ini. Kalimat pendek yang sarat makna akan keyakinan terhadap Yang Mahakuasa. Ungkapan ini bukan hanya pengakuan atas keterbatasan diri, melainkan juga untuk menanamkan kesabaran, optimisme dan meredam emosi, dendam dan keputusasaan. Pitutur ini akan segera muncul dalam ingatan orang Jawa ketika mereka berhadapan dengan masalah dan ancaman yang menakutkan.
Pitutur Gusti Allah mboten sare sangat kontras sekali dengan, “Guru, tidak pedulikah Engkau kalau kita binasa?” (Markus 4:38). Ya, memang pada saat badai terjadi Yesus sedang tidur karena kelelahan setelah sebelumnya sibuk sekali melayani orang-orang yang datang kepada-Nya. Adakah yang salah ketika orang benar-benar diperhadapkan dengan ancaman mengerikan yang nyaris membinasakannya, dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan dan kemudian merasa sendirian di tengah badai itu, lalu bergumam, “Di manakah Allah? Apakah Dia peduli? Tidurkah Dia?”
Pemazmur pernah mengungkapkan seakan Allah tertidur dan tidak peduli terhadap penderitaannya, “Terjagalah! Mengapa Engkau tidur, ya Tuhan. Bangunlah! Jangan membuang kami terus-menerus!” (Mazmur 44:24). Dalam pandangan Yahudi – ini muncul dalam narasi seperti Mazmur 44:24 – mengenal pemahaman “Allah tertidur”, maksudnya adalah Allah yang tidak peduli dengan penderitaan genting yang sedang dihadapi oleh manusia. Manusia yang tidak berdaya dan terancam dari segala sudut merasa seolah-olah tertipu oleh Allah yang sekalipun dipanggil tidak beraksi menolong. Dalam situasi seperti itu, manusia mengatakan bahwa Allah tertidur!
Benarkah Allah tertidur? Tidak juga! Allah selalu hadir dan tidak tertidur. Setidaknya hal ini diungkapkan dalam Mazmur 121:4, “Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.” Lalu mana yang benar? Ya, kebenaran bahwa Allah selalu hadir dan peduli hanya dapat dialami melalui keyakinan iman yang mendalam. Iman itu harus berakar dalam Kristus dan secara singkat dapat dipahami begini: Terimalah kematian, sebelum sampai pada kebangkitan!
Keselamatan yang diimani oleh pengikut Kristus tidak meniadakan mereka steril dan luput dari pelbagai masalah dan ancaman yang menakutkan. Justru mungkin saja mereka akan mengalami kondisi yang lebih hebat, yakni aniaya dan penderitaan sama seperti yang dialami Kristus. Dalam kondisi seperti ini, manusia harus belajar seperti Yesus yang mempertaruhkan segala-galanya kepada tangan Sang Bapa.
“Tidak pedulikah Engkau”, ungkapan spontan para murid dapat diartikan sebagai teguran berani dan emosional. Namun, lebih tepat sebagai gambaran bahwa kedalaman iman yang diharapkan Yesus belum terjadi dalam diri mereka. Benar, murid-murid sedang panik oleh ancaman badai di depan mata mereka. Mereka melihat justru dalam situasi itu, Yesus yang baru saja berjaya, dikerumuni banyak orang dengan melakukan pelbagai mukjizat, nyatanya tidur pulas! Pada titik ini mereka belum mengerti iman dalam tingkatan penyerahan diri total kepada yang mereka percayai, dalam hal ini Yesus!
Sebelum bertolak, para murid begitu banyak menyaksikan mukjizat dan kehebatan Yesus. Ya, tidak hanya menyaksikan-Nya tetapi mereka juga ikut membantu pelayanan Yesus. Kalau para murid menjadi begitu percaya dan yakin karena menyaksikan kehebatan Yesus, maka kepercayaan atau imannya itu bukanlah penyerahan diri total kepada-Nya, melainkan semacam bisnis keagamaan: iman yang transaksional. Aku percaya kepada-Mu, karena Engkau hebat!
Tanda seseorang mempunyai iman yang benar, penyerahan diri total maka ia akan sepenuhnya percaya bahwa waktu sedang tidur pun, Yesus tidak berkurang kuasa daripada ketika Ia meredakan badai. Percaya, bahkan mempercayakan diri di tengah pusaran badai bahwa Allah tidak tinggal diam hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar beriman yang tidak memaksakan Allah bertindak, yang tidak menghampiri Allah dengan perhitungan transaksional. Orang-orang seperti ini percaya bahwa dalam keadaan apa pun Allah selalu mau dan nyata-nyata menolong manusia. Hanya masalahnya, perlukah ia menolong dengan cara yang dikehendaki manusia? Manusia beriman tidak akan mau mendikte Allah, tetapi menyerahkan segala perkara ke dalam tangan-Nya. Sebab, ia yakin bahwa dalam “tidur” pun Allah tetap Allah. Allah tidak pernah mau membinasakan! Maka, doa seorang beriman harus berlatar belakang doa Yesus sendiri, “Jadilah kehendak-Mu!”
Ternyata, murid-murid yang sibuk setiap hari bersama-sama dengan Yesus pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan orang banyak. Mereka sulit memahami Yesus ketika masalah itu tepat berada di depan mata mereka. Barang kali ini cerminan kita, yang setiap saat berada dalam dan atas nama pelayanan gereja, yang lidah bibir kita terbiasa memuntahkan kata-kata rohani. Namun, ketika masalah dan badai itu tepat berada di pusaran hidup kita, kita mengeluh dan menggugat, “Tuhan, mengapa Engkau tidak peduli?”
Dalam kisah itu, Yesus mengajukan dua pertanyaan yang semuanya berisi tentang jawaban atas teguran murid-murid-Nya, berupa, “Tidak pedulikah Engkau?” Yesus bertanya, “Mengapakah kamu begitu takut? Mengapakah kamu tidak percaya?” Apakah salah bila mereka takut ketika terancam bahaya kematian? Orang tidak dapat dilarang untuk merasa takut. Rasa takut itu datang tanpa ada yang bisa mencegahnya.
Lalu, mengapa Yesus menuduh mereka tidak percaya? Selama ini memang mereka telah melihat kuasa Yesus untuk menyembuhkan orang-orang sakit dan untuk mengusir setan-setan. Tetapi, situasi yang mereka hadapi di danau itu sama sekali berbeda. Mereka tidak sedang berhadapan dengan orang yang kerasukan setan atau orang yang sakit, tetapi dengan badai yang nyaris menenggelamkan perahu dan membunuh mereka.
Para murid percaya bahwa Ia dapat mengusir setan dan menyembuhkan orang sakit karena memang mereka telah melihatnya. Tetapi mereka sama sekali belum pernah melihat Yesus berhadapan dengan kuasa alam. Mereka belum pernah melihat Yesus mengatasi badai dan ombak. Namun, apakah karena hal yang demikian lalu mereka menyangsikan kuasa Yesus? Bukankah dalam keyakinan Yahudi, badai dan gelombang laut dipahami sebagai tempat kuasa setan?
Yesus menghendaki para murid mempunyai keyakinan teguh. Mereka tidak perlu takut karena Dia yang pernah menaklukkan dan mengusir kuasa setan itu ada bersama-sama mereka. Apa yang selama ini mereka lihat seharusnya sudah cukup membuat mereka yakin bahwa Allah bekerja dan menyatakan kuasa-Nya dalam diri Yesus. Namun, ternyata mereka belum mampu sampai di tahap itu, mereka belum percaya. Ketidakpercayaan itulah yang mendatangkan rasa takut pada mereka.
Takut, tidak seorang pun dapat mencegahnya. Perasaan itu kerap muncul ketika kita berhadapan dengan ancaman. Dalam batas-batas tertentu, ketakutan dapat menolong kita untuk tidak sembrono dan ceroboh. Namun, ketakutan yang menguasai dan menyandera kita adalah ketakutan yang tidak wajar. Seharusnya, kita dapat mengatasi ketakutan itu dengan keyakinan bahwa Allah di dalam Kristus tidak pernah tidur.
Iman tanpa ketakutan bagaikan ketaatan tanpa cobaan. Semakin hebat ketakutan, maka sebenarnya Allah sedang membawa kita pada tingkatan iman yang lebih dalam lagi. Yang kita butuhkan pada saat ancaman ketakutan itu melanda kita, yakinlah bahwa Gusti Allah mboten sare; Tuhan Allah tidak sedang tidur! Baiklah, mungkin saja ada orang yang beranggapan “Allah tertidur”, namun dalam kondisi ini pun bagi orang beriman akan berpikir, “Andai pun Ia tidur, itu berarti Ia percaya bahwa aku sanggup menghadapinya!”
Bagi seorang beriman, setidaknya ini yang dialami oleh Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, ketika mereka diancam akan dimasukkan dalam perapian yang menyala-nyala oleh Nebukadnezar. Mereka tidak takut dan hanya mengandalkan Allah, dan andai pun Allah tidak menolongnya, mereka akan tetap setia! (Daniel 3:16-18). Itulah iman yang mengalahkan ketakutan!
Jakarta, 20 Juni 2024, Minggu Biasa tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar