Dua puluh tahun telah berlalu. Namun, peristiwa itu tidak pernah luntur dari ingatannya. Sang Ayah yang menjadi tumpuan hidup keluarga harus berpulang karena sakit kanker yang dideritanya. Kenangan kecil selalu melintas di benaknya ketika Sang ayah mengantarnya pergi ke sekolah. Ada saja yang menjadi bahan pembicaraan. “Ya, harus diakui Ayah sangat pandai menyisipkan filosofi kehidupan dalam setiap percakapan.
Sebut saja namanya Syukur. Sejak kepergian Sang Ayah, Syukur tidak bisa melewatkan masa kecilnya seperti teman-temannya. Sepulang sekolah ia harus membantu ibunya mengais rejeki agar bertahan hidup di kota yang tampaknya kejam. Ya, perpisahan dengan Sang Ayah sangat menyakitkan. Sebuah perpisahan yang terlalu dini buat Syukur!
Sambil menengadah ke langit-langit, wajah Sang ayah tampak jelas. Ucapannya sewaktu ngobrol dalam setiap perjalanan dari dan ke sekolah itu seakan terdengar kembali. “Seorang laki-laki, layak disebut lelaki kalau ia tidak menggunakan tangannya untuk memukul! Seorang anak Tuhan akan terbukti kualitasnya bukan karena ucapannya, tetapi karena seluruh perilaku dan apa yang dikerjakannya dengan baik. Kejujuran, bisa jadi membuatmu tidak nyaman dan dimusuhi. Namun, kalau kamu bisa membayarnya, nilaimu sangat tinggi. Kamu tidak terbeli oleh uang dan materi! Kelak kalau kamu sudah bekerja, bekerjalah sebaik-baiknya, bukan hanya untuk mencari makan tetapi membuktikan dirimu seorang yang berkualitas, seorang anak Tuhan, maka kamu akan mengerjakannya dengan sangat baik, teliti dan bertanggung jawab!” Itulah sebagian kata-kata yang diingatnya.
Ternyata, nilai-nilai dari percakapan itu tertanam begitu kuat dalam diri Syukur. Meskipun masa-masa sekolah dijalaninya dengan tertatih-tatih, akhirnya ia lulus juga. Nilai-nilai kehidupan itu benar-benar ia terapkan dalam pekerjaan. Kini, dalam keberhasilannya ia mengenang kembali sebuah perpisahan yang menyakitkan dari kepergian Sang Ayah. Kali ini berbeda, dua puluh tahun setelah berlalu, apa yang menyakitkan itu dilihatnya dari perspektif baru. Syukur tidak perlu lagi meratapinya, alih-alih ia bersyukur. Kepergian Sang Ayah membuatnya tumbuh menjadi seorang anak yang beranjak dewasa bukan saja dari segi usia tetapi juga dari sisi mental spiritual. Syukur bangga mempunyai ayah yang walau sudah tiada tetapi nilai-nilai ajarannya terus hidup di dalam dirinya!
Ya, perpisahan sering kali punya bobot kesedihan yang lebih berat ketimbang kegembiraan. Bagaimana tidak, ada kenyamanan yang terpaksa harus dilepas. Ada situasi baru yang masih misteri di depan yang harus dijalani tanpa orang yang selama ini bisa diandalkan. Dalam peristiwa Yesus naik ke surga, saya mencoba berada di tengah-tengah para murid. Perpisahan karena kematian yang telah merenggut Yesus beberapa minggu lalu, kini sudah pulih dengan kebangkitan-Nya. Yesus kembali lagi, Ia memberikan pemulihan baru kepada para murid yang kadung kecewa dan frustasi. Harapan itu mekar kembali, maka tidaklah heran kalau para murid meminta-Nya, “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kembali kerajaan bagi Israel?”Ini kesempatan, dan Yesus pasti bisa. Ia yang telah mengalahkan mau, maka untuk mengalahkan imperialis itu bukanlah perkara yang sulit. Sayangnya Yesus tidak menanggapi, alih-alih Ia menyiapkan agar para murid kelak menjadi saksi-Nya mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ujung-ujung bumi!
Yesus yang tampil di depan mereka tidak memenuhi apa yang mereka inginkan. Kali ini perpisahan secara fisik sungguh-sungguh terjadi. Selesai memberkati mereka, Yesus terangkat ke surga. Awan putih menutupi-Nya, tinggallah mereka menatap langit dengan tatapan kosong. Beruntung, malaikat Tuhan mengingatkan mereka untuk tidak terus menatap langit. Yesus kelak akan datang kembali! Saya kira perpisahan yang kedua ini tidak kala menyakitkan buat para murid. Bagaimana tidak? Harapan untuk memulihkan keemasan kerajaan Israel sama sekali pudar dan Yesus yang banyak melakukan mukjizat dan mengajar dengan penuh kuasa itu sekarang tidak lagi ada bersama-sama dengan mereka!
Dalam kesedihan itu, mereka mengingat pesan Tuhan. Mereka kembali ke Yerusalem untuk tekun sehati sepikir di dalam doa. Persiapan seperti inilah yang kemudian memungkinkan untuk mereka bersiap menyambut Roh Kudus yang dijanjikan itu turun ke atas mereka.
Dalam persekutuan kecil yang sehati-sepikir itu sangat mungkin mereka mengingat kembali setiap ajaran dan teladan yang diberikan oleh Yesus Sang guru dan Tuhan mereka. Bagai Si Syukur yang mengingat kembali nilai-nilai kehidupan yang sering diceritakan oleh bapaknya. Para murid dalam perenungan mereka dipertajam untuk melihat Yesus secara baru. Yesus yang tidak ada secara fisik namun hadir dalam ingatan dan spiritual mereka. Kehadiran batiniah inilah yang membuat mereka perlahan-lahan memaknai apa artinya sebuah perpisahan.
Ya, perpisahan tidak melulu dimaknai negatif dan menyedihkan. Di sini para murid mulai menyadari; memang tepat dan benar apa yang pernah dikatakan oleh Sang Guru, bahwa: “Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jika Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu.” (Yohanes 16:7). Perpisahan itu menjadi lebih berguna untuk para murid agar Roh penghibur itu datang dan menguatkan mereka untuk menjadi saksi Kristus. Menjadi saksi tentu bukan dengan perkataan saja, melainkan seperti apa yang dilakukan Yesus.
Jadi, kepergian Yesus membuka peluang agar para murid meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Yesus. Dengan demikian sekarang, para murid bukan hanya sebagai saksi-saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami segala tindakan dan perkataan Yesus. Para murid juga bukan sekedar orang yang menerima pelayanan Yesus. Kini, dengan kepergian Yesus kembali ke surga menaikkan derajat mereka. Mereka menjadi pelaku, bukan lagi saksi atau penerima pelayanan Yesus. Mereka adalah pelaku yang meneruskan karya Yesus. Artinya, mereka adalah orang-orang yang dipercaya untuk menyebarkan Injil Kerajaan Allah!
Para murid, sama seperti Si Syukur itu akan berani menghadapi pelbagai tantangan. Jika Si Syukur mengingat akan nilai-nilai kehidupan dari bapaknya, para murid akan mengingat dan termotivasi oleh ajaran dan pelayanan Yesus yang telah mereka saksikan sendiri. Mereka akan menjadi manusia-manusia yang berguna untuk mengalirkan cinta kasih Allah dari Yerusalem sampai ujung-ujung bumi. Dalam tataran inilah perpisahan menjadi lebih bermakna. Lebih dari sekedar kesedihan melankolis. Namun, kini menjadi sukacita oleh karena Yesus Kristus menaruh kepercayaan besar kepada setiap murid-Nya untuk menjalankan kesaksian yang benar!
Hari ini, Yesus secara fisik tidak lagi bersama dengan kita. Namun, Ia hidup dalam batin setiap orang yang percaya kepada-Nya. Dalam batin kita Ia berbicara dan menunjukkan kebenaran, Ia juga mempercayakan kepada kita semua untuk terus melanjutkan apa yang dulu dikerjakan-Nya: Memberitakan Injil Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya sampai ujung-ujung bumi!
Jakarta, 6 Mei 2024 Hari Kenaikan Yesus Kristus Ke Surga, tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar