“Halo, apa kabar? Saya berharap Anda dalam keadaan baik-baik saja. Sudah lama sekali saya tidak berjumpa dengan Anda dalam kebaktian, saya merindukanmu untuk terlibat dalam pelayanan seperti yang dulu.” Kata seorang pendeta memulai percakapan dalam sebuah perlawatan.
“Benar, belakangan ini saya agak menarik diri dari kegiatan-kegiatan gereja,” Anggota jemaat itu menjawab pertanyaan pendetanya, “Ya, terus terang selain kesibukan pekerjaan, rasanya agak malas berjumpa dengan orang-orang yang kelihatannya sibuk pelayanan, sangat rohani dalam ibadah dan tutur katanya. Namun, nyatanya tidak lebih hanya untuk mencari kesibukan dan dikagumi sebagai orang yang baik dan saleh! Jadi, buat saya rasanya buang waktu untuk pergi ke gereja! Pak Pendeta jangan khawatir kehidupan saya baik-baik saja. Hubungan saya dengan Allah, saya kira cukup baik. Saya menghabiskan waktu satu jam setiap pagi, dan satu jam waktu malam sebelum tidur. Mari, saya perlihatkan kepada Anda ruang doa khusus yang saya rancang untuk membangun relasi pribadi saya dengan Tuhan!” Lalu ia membawa pendetanya itu melihat ruang doa pribadinya yang sangat indah dihiasi salib dan lukisan-lukisan cerita Alkitab.
Mungkinkah anggota jemaat itu benar? Ia tidak membutuhkan gereja dan komunitas orang percaya kalau hubungannya dengan Tuhan baik-baik saja? Anggota jemaat ini beribadah sendirian di rumahnya. Dia benar-benar berdedikasi, serius dan caranya beribadah seakan memberi dampak positif dalam kehidupannya. Lalu, apa yang kurang?
James Bryan Smith (The good and beautiful community) mengatakan bahwa ibadah bukan semata-mata urusan pribadi. Ibadah adalah aktivitas komunal yang bertujuan untuk mengajar umat. Sejak zaman Yudaisme hingga gereja mula-mula, ibadah dilakukan secara bersama-sama. Kita beribadah karena kita orang-orang unik yang memiliki pengharapan di masa depan. Kita saling membagikan kisah kehidupan dan menemukan Kristus bersama-sama. Kita pergi ke gereja bukan untuk dihibur melainkan untuk dilatih. Gereja adalah tempat di mana kita mendengar kebenaran akan siapa Allah sesungguhnya, siapa diri kita dan apa yang menjadi tujuan hidup kita seperti yang dapat kita temukan dalam bacaan kedua hari ini.
Dalam gereja kita dapat memahami bahwa Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal di dalam Anak-Nya. Jelas, bahwa hidup kekal itu bukan semata-mata dilihat dari kuantitas: hidup panjang selama-lamanya di seberang kematian. Bukan hanya ini! Hidup kekal juga dapat dipahami sebagai hidup yang berkualitas, yakni: hidup yang mencerminkan relasi yang baik dengan sumber hidup itu, yakni Allah sendiri. Sehingga kualitas itu akan tercermin dalam komunitas umat Allah dalam hal ini gereja. Gereja harus mencerminkan gambaran kehidupan yang kekal itu. Dalam komunitas gereja itulah kita mengenal kasih terhadap Allah dan sesama, pengampunan, dan damai sejahtera.
Dalam komunitas gereja kita percaya bahwa Allah memelihara kita dalam kebenaran sebagaimana doa Tuhan Yesus untuk para murid menjelang kepergian-Nya. Yesus tidak berdoa untuk pribadi-pribadi saja, melainkan Ia berdoa untuk sebuah persekutuan, bukan hanya secara spesial dua belas murid itu, melainkan untuk komunitas orang-orang yang percaya kepada-Nya. Yesus menyadari kepergian-Nya telah dekat dan murid-murid-Nya tetap tinggal di dunia ini, itu berarti bahwa mereka harus menghadapi permusuhan dan hidup dalam tekanan di antara orang-orang yang tidak percaya. Para murid harus menghadapi tekanan dari dunia tanpa kehadiran-Nya. Yesus tidak meminta mereka dipisahkan dari dunia, tetapi agar mereka dipelihara: “Peliharalah mereka dalam nama-Mu”, ini berarti Yesus memohon perlindungan kepada Bapa-Nya agar mereka tetap teguh dalam penganiayaan. Sama seperti Yesus sendiri terpelihara dalam ketaatan-Nya sampai mati ketika terjalin persekutuan erat dengan Bapa-Nya.
Yesus telah berdoa kepada Bapa-Nya agar para murid dipelihara dalam kebenaran. Kita yakin Bapa mendengarkan doa Yesus. Kini, para murid harus menanggapi agar mereka benar-benar terpelihara dalam kebenaran-Nya. Caranya? Dengan hidup dalam persekutuan yang benar, seperti yang terungkap dalam lanjutan doa Yesus: “… supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yohanes 17:21).
Menjadi satu tidak diartikan seragam, namun seperti kesatuan Yesus sendiri dengan Bapa. Kesatuan umat dapat belajar dari relasi Sang Bapa dengan Anak, saling melengkapi, berbagi dan mengisi ruang. Dalam persekutuan komunitas yang benar maka hal ini pun akan terjadi, sehingga di situlah kehadiran Allah akan nyata. Kehadiran-Nya dalam komunitas orang percaya maka dengan sendirinya umat yang hidup dalam persekutuan itu akan menjadi kudus, terpelihara dalam kebenaran-Nya. Menjadi kudus bukan karena usaha mengekslusifkan diri, namun karena Sang Mahakudus berkenan diam dalam persekutuan itu. Dan kehadiran-Nya tentu akan memelihara, menjaga dan melindungi komunitas itu; kalau Allah di pihak kita, siapakah lawan kita?
Kalau Allah memelihara umat-Nya dalam wadah komunitas, maka komunitas dalam hal ini gereja harus sungguh-sungguh memelihara kekudusan yang telah dipercayakan kepadanya. Gereja harus menjadi tempat di mana orang merasakan kehadiran Allah melalui sesama. Di dalam gereja kita dilatih untuk saling menghargai, saling memberi dan memulihkan. Benar, gereja bukanlah terdiri dari orang-orang ideal menurut ukuran kita. Namun, tidaklah kebetulan Allah menghadirkan orang-orang tersebut supaya kita saling menjaga, memelihara dan bertumbuh.
C.S. Lewis pernah mengungkapkan pengalamannya ketika dirinya tidak terlalu perlu untuk terlibat dalam ibadah gereja. Lewis menulis begini kepada temannya:
“Ketika saya pertama kali menjadi seorang Kristen, sekitar empat belas tahun yang lalu. Saya mengira bisa melakukannya seorang diri di kamar dan membaca buku teologi, dan saya tidak memiliki keinginan untuk pergi ke gereja dan beribadah; … saya tidak suka dengan himne mereka, yang saya anggap sebagai puisi kelas lima yang diiringi musik kelas enam. Namun ketika saya pergi beribadah, saya melihat manfaatnya. Saya bertemu dengan orang-orang yang berbeda dengan penampilan dan pendidikan yang berbeda juga, dan akhirnya keangkuhan saya terkikis. Saya tersadar bahwa himne (yang hanya musik kelas enam), jika dinyanyikan dengan khidmat dan serius oleh orang tua yang saleh dengan sepatu bot karet di bangku belakang, maka kamu bahkan tidak layak untuk membersihkan sepatu botnya. Kesadaran ini akan membawa kamu dari cangkang keangkuhanmu.”
Jadi, jika kita menganggap hidup beribadah itu hanya urusan privat, mungkin kita harus berpikir ulang. Benar, bahwa relasi pribadi kita dengan Tuhan harus terbina dengan baik. Namun, ada hal penting yang tidak boleh kita lupakan dari aspek komunal, komunitas yang beribadah bersama-sama. Bukankah sejak awal Allah selalu hadir dalam komunitas umat. Dalam komunitas itulah kita dilatih untuk berelasi dan menemukan kebenaran bersama.
Jakarta, 10 Mei 2024 Minggu Paskah VII tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar