Kamis, 02 Mei 2024

APIK : ANTI PILIH KASIH

Ketika dipandang rumit, Albert Einstein menerangkan teori relativitas begini, “Seorang lelaki meletakkan tangannya di atas kompor panas selama satu menit, rasanya seperti satu jam. Sementara, lelaki yang sama duduk dengan seorang gadis cantik selama satu jam, rasanya seperti satu menit!”

 

Kasih sering terperangkap dalam relativitas. Derajat atau mutu sebuah tindakan kasih tergantung kepada siapa hal itu diberikan. Sebuah tindakan kasih nyaris tidak mungkin dilakukan kepada orang yang pernah melukai dan menyebalkan kita. Sebaliknya, akan terasa berlebihan ketika ditujukan untuk orang-orang yang punya hubungan spesial dengan kita. Celakanya, walau ini terasa manusiawi dan sejalan dengan teori Einstein namun tidak sejalan dengan ajaran Yesus: “Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka.” (Lukas 6:32).

 

Buat Yesus, kasih bukan relativitas yang ditentukan oleh mood. Kasih bukan juga transaksi: kamu memberi apa, maka saya akan membalas sebanding dengan pemberianmu itu. Kalau begini berarti impas, benar kata Yesus: “Apa jasamu?” di mana yang disebut kasih? Tidak ada!

 

Kata yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan adalah “kasih”. Jangankan mengasihi musuh atau orang yang membuat sulit hidup kita, mengasihi orang-orang terdekat pun terasa begitu sulit ketika apa yang menjadi keinginan dan harapan diri tidak didapatkan dari orang-orang tersebut. Begitu banyak relasi keluarga; suami-istri berantakan padahal mereka sebelumnya mengucapkan janji suci di hadapan Allah dan manusia, di belakang itu entah berapa banyak janji-janji gombal telah terucap!

 

Terhadap orang-orang yang menurut logika relativitas dan sangat manusiawi kita dapat mengasihi dengan optimal saja sulit untuk diwujudkan, apalagi terhadap orang-orang di luar ring satu dan mereka yang memusuhi kita. Nyaris mustahil! Mengasihi tanpa pandang bulu hanya ada dalam wacana atau ajaran yang pamornya sangat tinggi!

 

Apakah benar kalau Yesus meletakkan dasar ajaran tentang kasih hanya demi pamor dan agar terlihat beda kualitas dari ajaran-ajaran kasih yang lain? Melihat dari rol model – yakni diri-Nya sendiri – dan konsistensi tindakan kasih sampai akhir hidup-Nya yang tragis itu, kita harus jujur mengatakan: “Tidak!” Yesus mengajarkan cinta kasih bukan untuk pamer kepada dunia bahwa ajaran-Nya lebih berkualitas. Namun, inilah kasih yang sesungguhnya itu! 

 

Bukan perkara mustahil para murid akan melakukan tindakan kasih yang sama dengan Yesus, asalkan kita tinggal di dalam-Nya. Inilah yang minggu kemarin kita dengar dalam perumpamaan ranting anggur yang berbuah. Jika kita tinggal di dalam Dia, maka kita akan menghasilkan buah. Lalu, apa artinya tinggal di dalam Yesus?

 

Ketika calon murid-murid pertama bertanya kepada Yesus, “Rabi, di manakah Engkau tinggal?” Yesus menjawab mereka: “Marilah dan kamu akan melihatnya.” Mereka pun datang dan melihat di mana Ia tinggal, dan hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan Dia.” (Yohanes 13:38,39). Ini adalah gambaran fisik, sejak awal murid-murid tinggal bersama dengan Yesus. Tinggal bersama dengan Yesus berarti berada satu rumah, kita merasa kerasan tinggal bersama-Nya. Rumah itu adalah tempat yang memberikan rasa damai satu terhadap yang lain. Rumah itu adalah tempat untuk saling berbagi, peduli satu dengan yang lain. Rumah persahabatan!

 

Dengan tinggal di dalam Yesus, kita menghasilkan buah. Buah itu bukan terjadi dengan sendirinya. Buah itu adalah karena relasi kita dengan Yesus. Tinggal bersama-Nya akan membuat kita menyadari bahwa bukan saja kita yang membutuhkan-Nya, ternyata Dia juga memerlukan kita. Ya, seperti ranting itu. Ia keluar dari pokoknya, ranting diperlukan agar buah itu keluar!

 

Tinggal di dalam Yesus dan menghasilkan buah, ini mengandaikan bahwa kasih dalam relasi persahabatan dengan Yesus akan mengalir melalui kita kepada semua orang yang Allah izinkan berjumpa dengan kita. Kepada mereka cinta kasih itu mengalir. Kita akan mampu mengasihi orang lain seperti Yesus mengasihi mereka. Kita akan dapat melayani bahkan “membasuh” kaki mereka sama seperti Yesus melayani mereka. Kita mampu melakukan semua itu bukan dari diri kita sendiri, tetapi ada aliran kasih sejati yang mengalir dalam darah kita, yakni: kasih Yesus! Itulah sebabnya, untuk dapat mengalirkan kasih yang demikian kita harus tinggal, melekat pada “pokok anggur yang benar”! 

 

Ketika darah persahabatan dengan Yesus itu mengalir dalam tubuh kita, maka menuruti perintah-Nya bukanlah sebuah tindakan sulit atau mustahil. Lagi pula, perintah itu tidak dimaknai seperti perintah komando militer; jendral terhadap anak buahnya atau seperti instruksi manager terhadap bawahannya. Tidak! Dalam persahabatan dengan Yesus yang diwarnai oleh cinta kasih, perintah untuk mengasihi akan dimengerti sebagai sebuah “sharing sukacita”. Artinya, saya akan sangat bersukacita ketika mendapat bagian untuk mengantarkan cinta-Nya. Ini akan membuat Yesus tersenyum dan orang yang menerimanya juga bersukacita. Bukankah kalau kita mengasihi seseorang, tanpa diminta pun kita ingin menyenangkannya?

 

Dalam persekutuan dengan Yesus kita akan mengerti bahwa mengasihi tidak diartikan sebagai tindakan transaksional, melainkan relasi. Jika mengasihi Yesus berarti hidup dalam persekutuan dengan-Nya, maka mengasihi sesama adalah kesediaan kita membangun relasi dan persekutuan dengan orang lain. Di sana kita meneruskan kasih Yesus itu, menyatakan bahwa mereka dikasihi oleYesus. Dengan demikian kita menjadi sahabat mereka karena kita adalah sahabat Yesus.

 

Kita mampu menjadi sahabat bagi semua orang tanpa membeda-bedakan dari kalangan mana mereka berasal karena Yesus pun demikian; Ia tidak pernah membeda-bedakan orang. Dalam persahabatan dengan Yesus, tembok yang memisahkan yang terbatas (manusia) dengan yang tidak terbatas (Allah), yang sementara dan yang abadi, telah diruntuhkan. Maka seharusnya, tembok-tembok pemisah yang dibangun manusia tidak lagi menjadi penghalang untuk ditembus oleh kasih Kristus ini.

 

Demikianlah selanjutnya kita dapat memahami apa yang dipesankan Yesus bahwa para murid-Nya itu akan menjadi saksi dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ujung-ujung bumi dengan membuka persahabatan, persekutuan yang diwarnai dengan relasi kasih yang berkualitas. Tembok-tembok primordial itu mulai ditembus oleh Petrus dan teman-temannya. Pertama-tama Kornelius dan keluarganya, selanjutnya persekutuan kasih itu menembus batas teritori yang dibangun oleh manusia sampai ke ujung-ujung bumi.

 

Kasih adalah bahasa yang dapat diterima semua orang. Dalam sejarah manusia banyak sekat telah dibangun untuk membatasi diri dalam ruang nyaman mereka. Kasih adalah tindakan yang dapat menembus sekat-sekat itu. Ketika kasih mulai memilih, maka sejatinya sekat-sekat itu kembali dibangun. Tetaplah melekat dan tinggal di dalam Yesus agar kita dapat melakukan tindakan kasih yang benar!

 

Jakarta, 2 Mei 2024 Minggu Paskah VI tahun B

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar