Otoritas selalu menimbulkan pro dan kontra; diperlukan atau tidak. Tentu saja bagi pemegang otoritas, ini perlu dilanggengkan. Otoritas menginginkan pengakuan dan terus menerus mencari cara untuk menegaskan status mereka. Dokter dan peneliti mengenakan jas putih, Direktur bank menggunakan jas dan dasi. Raja memakai mahkota. Pendeta dan hakim memakai toga. Anggota militer menyandang pangkat. Kaum Farisi menggunakan Taurat sebagai sandaran otoritas mereka! Bagaimana dengan Anda?
Stanley Milgram, seorang psikolog mendemonstrasikan bias otoritas (authority bias) dengan jelas dalam percobaan tahun 1961. Subyek penelitian dimintanya untuk mengatur peningkatan sengatan listrik terhadap orang yang berada di sisi lain satu panel kaca. Mereka diminta untuk memulai dengan kekuatan 15 volt, lalu 30 volt, 45 volt, dan seterusnya, sampai mencapai kekuatan maksimum – dosis maut, 450 volt! Sebenarnya ini tidak sungguh-sungguh ada aliran listrik. Milgram bekerja sama dengan seorang aktor yang berperan sebagai korban, tetapi orang yang bertugas mengatur sengatan listrik tidak mengetahuinya. Hasilnya mengejutkan! Ketika orang yang berada di seberang ruangan meratap dan merintih kesakitan dan subyek penelitian yang mengatur sengatan listrik ingin berhenti, profesor akan berkata, “Teruskan demi percobaan ini!” Sebagian besar subyek peneliti melanjutkan memberikan “hukuman” listrik. Lebih dari separuh peserta melanjutkan sampai akhir ke voltase maut, semata-mata karena ketaatan pada otoritas!
Bayangkan, demi ketaatan kepada otoritas, nurani harus dibungkam, penderitaan sekarat orang yang ada di depan mata, jangankan diberi pertolongan alih-alih sengaja dibuat menderita. Hari ini, berapa banyak orang dibuat menderita oleh kekerasan atas nama agama, radikalisasi karena ketaatan membabi buta terhadap otoritas yang mengharuskan melakukan tindakan itu. Bagaimana dengan nalar? Ah, jauhkan dulu itu! Apakah nuraninya baik-baik saja? Jangan bicara hati nurani, lebih baik di parkir dulu di tempat paling belakang!
Authority bias, sindrom ini menjangkiti sekelompok Farisi yang melihat Taurat dengan penafsiran hurufiah. Akibatnya, orang yang melanggar hukum itu harus diberi sangsi! Suatu hari Sabat, Yesus bersama dengan para murid-Nya melakukan perjalanan. Mereka melintasi sepetak kebun gandum. Bisa jadi pada saat itu mereka kehabisan bekal dan perut mereka tidak bisa diajak kompromi. Lapar! Terpaksa mereka memetik bulir-bulir gandum itu dan langsung dimakan. Sampai di sini kelompok Farisi itu tidak mempermasalahkan bahwa mereka memetik gandum milik orang lain tanpa permisi. Sebab, menurut hukum Taurat (Ulangan 23:25), orang yang lapar ketika melewati ladang orang boleh memetik bulir gandum dengan tangannya, tanpa memakai sabit. Itu pun harus langsung dimakan. Jelas, otoritas hukum yang baik; demi menyelamatkan kehidupan – kematian akibat kelaparan – manusia diperbolehkan mengambil milik orang lain.
Otoritas ini tidak berlaku ketika dikaitkan dengan Sabat! Memetik gandum, meki hanya sebutir dan untuk memertahankan kehidupan jika itu dilakukan pada hari Sabat merupakan sebuah pekerjaan dan itu dilarang. Bagi pelanggarnya harus dihukum dengan pelemparan batu (Misnah, Sanhendrin 7:4).
Yesus menanggapi keberatan orang Farisi itu dengan mengingatkan mereka pada peristiwa Daud dan para pengikutnya yang melarikan diri dari kejaran Saul. Dalam pelarian itu, Daud dan para pengikutnya sampai di Nob, tempat Abyatar menjabat sebagai imam. Mereka sedang kelaparan dan memerlukan makanan supaya dapat bertahan hidup. Daud pun mendatangi sang imam di rumah Allah untuk meminta makanan bagi dirinya sendiri dan para pengikutnya. Ternyata tidak ada makanan di tempat itu, selain roti sajian yang hanya boleh dimakan oleh para imam. Daud tahu aturan itu dan ia sadar bahwa dirinya bukanlah seorang imam. Namun, demi keselamatan diri dan para pengikutnya, Daud memakan roti sajian itu dan memberikannya kepada para pengikutnya (1 Samuel 21:1-6).
Yesus mengingatkan peristiwa Daud itu agar orang Farisi itu memahami apa yang dilakukan oleh murid-murid-Nya. Daud dan Abyatar lebih memperhatikan pertimbangan kemanusiaan daripada peraturan. Bagi mereka keselamatan manusia lebih penting ketimbang ketaatan pada otoritas hukum dan penafsirannya. Sejalan dengan itu, Yesus tidak melarang para murid-Nya memetik gandum sekalipun hal itu dilakukan pada hari Sabat!
Berangkat dari perdebatan ini, Yesus mempunyai kesempatan untuk mengembalikan ketaatan manusia – dalam hal ini diwakili oleh kaum Farisi – dari otoritas hukum harafiah kepada otoritas yang sesungguhnya, yakni pada Sang Pembuat hukum itu sendiri yang memahami kerapuhan manusia. “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk Hari Sabat!” kata-Nya dengan tegas. Yesus mengingatkan mereka akan tujuan awal penganugerahan Hari Sabat kepada orang Israel yang baru saja lepas dari perbudakan di Mesir. Di Mesir, mereka menjadi budak, mereka tidak pernah mengenal Hari Sabat, mereka tidak mengenal istirahat. Bayangkan, sepanjang hari, sepanjang minggu, bulan, dan tahun mereka bekerja tanpa henti! Tetapi, setelah mereka dibebaskan dari Mesir, Allah – melalui sepuluh hukum-Nya – memberikan Hari Sabat, yaitu hari ketujuh dalam setiap minggu, untuk beristirahat. Dengan demikian Allah menganugerahkan Sabat supaya kehidupan mereka lebih baik, bukan lebih sulit!
Tindakan Yesus yang membiarkan para murid memetik gandum pada Hari Sabat dan penjelasannya tentang Hari Sabat itu dengan jelas menunjukkan bahwa Ia adalah Tuhan atas Hari Sabat. Ia menyatakan bagaimana Hukum Sabat itu harus dijalankan dan bagaimana manusia harus menempatkan otoritas yang sebenarnya dari Hari Sabat.
Bantahan Yesus terhadap argumen Farisi mendatangkan simpati dari orang banyak, khususnya mereka yang miskin dan tidak dapat memelihara Sabat. Mereka harus mengais rejeki! Jelas, hal ini membuat kelompok Farisi itu semakin gerah. Mereka ingin membalas tindakan Yesus. Karena itu mereka terus mengikuti dan mencari-cari kesalahan yang mungkin dilakukan oleh Yesus. Sepertinya Yesus tahu dan membiarkan mereka mengikuti-Nya bahkan seolah-olah Yesus memberi panggung kepada mereka.
Kesempatan itu terjadi ketika Yesus berada di sinagoga. Hari Sabat itu, datanglah seorang yang sakit: sebelah tangannya mati. Yesus menyuruh orang yang sakit itu berdiri di tengah ruang ibadah. Dengan demikian semua orang yang hadir dalam rumah ibadat itu tahu apa yang dilakukan Yesus. Di sini Yesus mengajukan pertanyaan retoris: “Manakah yang diperbolehkan pada Hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan orang atau membunuhnya?” Jawabannya jelas: Yang diperbolehkan pada Hari Sabat adalah berbuat baik! Hukum Sabat bukan hanya perkara mana yang boleh atau tidak untuk dilakukan, melainkan soal berbuat baik atau berbuat jahat. Kaum Farisi ini tentu saja tahu jawabannya tetapi mereka memilih bungkam. Bisa saja mereka tidak menduga akan apa yang dilakukan Yesus. Mereka bermaksud menjebak Yesus, apa daya ilmunya kurang tinggi!
Tentu saja Yesus tidak bermaksud melecehkan mereka, tetapi Ia sangat sedih dan marah ketika melihat kekerasan hati mereka. Selanjutnya, Yesus menyembuhkan orang yang mati sebelah tangannya itu.
Yesus telah mengajarkan untuk kita memaknai Hari Sabat dengan benar. Sabat yang sejati bukan hanya bicara mana yang boleh atau tidak untuk dikerjakan. Melainkan, sejauh mana aturan Sabat itu menolong kehidupan manusia untuk lebih baik dan menolong manusia untuk lebih leluasa berbuat kebajikan bagi sesamanya. Yesus hendak mengembalikan otoritas yang sesungguhnya itu bukan melekat pada peraturan hukum dan penafsirannya tetapi pada otoritas yang sesungguhnya, yakni Allah sendiri yang mengerti dan peduli pada kerapuhan manusia.
Gereja dan kita dapat terjebak pada bias otoritas, memahami peraturan-peraturan agama hanya pada layer permukaan saja, sementara jiwa dan otoritas yang sesungguhnya, yakni Allah yang mengasihi orang berdosa tidak terangkat ke permukaan, akibatnya kita seperti Farisi yang gemar menuduh orang dan tidak awas terhadap diri sendiri!
Jakarta, 30 Mei 2024, Minggu biasa Tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar