Kamis, 21 Maret 2024

RAJA DAMAI YANG MENDERITA

“Si vis pacem, para bellum”, entah siapa yang pertama mengatakan quote berbahasa Latin ini. “Jika kamu mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk perang!” Peribahasa keren ini telah dikutip oleh banyak orang dan tentu saja pembenaran bagi penguasa yang punya nafsu untuk berperang seperti yang diungkapkan oleh penulis militer Romawi yang mengutif quote ini, Flavius Vegetius Renatus.

 

Perang baik tradisional maupun modern telah memerlihatkan kepada kita bahwa pihak yang berhasil memenangkan perang akan berkuasa mengendalikan, mengontrol bahkan memaksa musuh yang ditaklukkan bungkam. Kontrol militer sebagai alat kekuasaan terbukti ampuh untuk menciptakan “perdamaian”. Sebaliknya, jika ada yang mencoba mengusik dan melawan, segera dicap sebagai pemberontak yang mengusik keamanan dan perdamaian. Percis seperti Kaisar Romawi, Agustus memulai dengan tata pemerintahan principatus yang terkenal dengan semboyan Pax Romana (Damai Romawi) di mana selama dua abad, kekaisaran Roma berhasil mengendalikan situasi politik dan keamanan di semua wilayah jajahan mereka.

 

Perdamaian yang berada di bawah tekanan penguasa ternyata tidak hanya milik Kaisar Agustus dan penerusnya selama dua abad, melainkan telah menjadi semacam budaya dunia. Yang berkuasa berhak menentukan dan membungkam orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Lalu, apakah ini yang disebut damai? Rasanya bukan! Ini adalah perdamaian semu. Perdamaian yang bukan berasal dari hati dan niat yang murni.

 

Tidaklah mengherankan ketika Yesus memasuki Yerusalem dengan menunggang keledai dan dielu-elukan oleh orang banyak, dicurigai sebagai kelompok yang merongrong kekuasaan, baik otoritas Yahudi maupun Kaisar Roma. Yesus, dengan ajaran dan mukjizat yang dilakukan-Nya telah menarik banyak orang, hal ini menjadi ancaman tersendiri khususnya bagi otoritas Yahudi. Sejak lama para pemimpin Yahudi ingin melenyapkan Yesus, dalam catatan Injil Markus, upaya melenyapkan Yesus dimulai ketika Ia menyembuhkan orang yang mati sebelah tangannya, sejak saat itu orang-orang Farisi bersekongkol dengan orang-orang Herodian untuk membunuh-Nya (Markus 3:8). Sekarang, setelah Yesus memasuki Yerusalem dan banyak orang dengan antusias menyambutnya, ini merupakan kesempatan untuk mereka punya alasan bahwa Yesus sedang mengusik Pax Romana!

 

Sekarang mereka semakin bersungguh-sungguh untuk mencari jalan, menangkap dan membunuh Yesus. Mereka sadar bahwa pengaruh Yesus jika didiamkan akan berbahaya bagi elit Yahudi. Mereka tidak dapat menangkap dan membunuh Yesus terang-terangan karena takut terhadap orang banyak. Menangkap Yesus di hadapan orang-orang yang menyambut-Nya jelas akan menimbulkan huru-hara.

 

Mereka mendapat kesempatan emas setelah ada “orang dalam” yang bersedia bersekongkol. Yudas, yang sebelumnya telah diperingatkan Yesus dalam perjamuan malam itu, memilih gelapnya malam. Ia menelusuri kegelapan itu dan bersekongkol dengan orang-orang “gelap”. Singkat kata, Yesus berhasil ditangkap dan diperhadapkan pada pengadilan rekayasa, yang ujungnya adalah Yesus harus mati seperti yang diungkapkan oleh Imam Besar Kayafas.

 

Kayafas berperan besar dalam persekongkolan untuk menyingkirkan Yesus (lihat Matius 26:3, Yohanes 11:49; 18:14). Menurut pendapat Kayafas, lebih baik Yesus dikorbankan untuk menyelamatkan bangsa Yahudi dari bahaya politik yang ditimbulkan oleh sepak terjang Yesus (Yohanes 11:51). Mungkin benar situasi yang sedang dihadapi oleh orang Yahudi pada masa Pax Romana ini. Bagaimana pun juga Yesus adalah orang Yahudi, dan ketika Ia bersama pengikut-Nya sudah semakin besar, maka akan membahayakan seluruh komunitas Yahudi. Rezim yang berkuasa akan segera menumpas habis mereka! Namun, perkiraan Kayafas berbeda dari rancangan Allah, Yesus harus mati bukan karena korban politik, tetapi demi mendamaikan manusia dengan Allah. Yesus mati untuk keselamatan manusia. Dia adalah Raja Damai yang sesungguhnya!

 

Pagi-pagi buta para imam kepala, tua-tua, ahli-ahli Taurat serta anggota Mahkamah Agama lainnya mengadakan pertemuan. Menurut hukum Yahudi yang mereka pahami, Yesus harus dijatuhi hukuman mati karena Ia telah menghujat Allah. Namun, Mahkamah Yahudi tidak punya kewenangan untuk mengeksekusinya. Untuk itu mereka sepakat membawa Yesus kepada Pilatus selaku Gubernur Wilayah Yudea (tahun 26-36 M). Sayang, hukum Romawi tidak mengurusi hukum domestik, dalam hal ini kepercayaan atau keyakinan umat Yahudi. Bahwa Yesus dituduh menghujat Allah itu bukan urusan Romawi!

 

Untuk itu mereka memutar otak. Mereka menyampaikan tuduhan yang dapat diterima oleh Romawi. Tuduhan kali ini beraroma politis. Di hadapan Pilatus mereka menuduh Yesus telah menyatakan diri-Nya sebagai Mesias yang punya makna Raja Orang Yahudi. Jelas, ini ancaman terhadap Pax Romana, ancaman terhadap kedaulatan Kaisar karena ada orang yang menyatakan diri sebagai raja di wilayah kekuasaan Roma. Untuk mendukung gugatan, mereka membawa Yesus dengan membelenggu-Nya.

 

Ketika Pilatus bertanya kepada Yesus, apakah Dia adalah Raja orang Yahudi, Yesus bungkam. Meskipun demikian, Yesus menyatakan bahwa Pilatus sendiri telah mengatakannya. Memang Yesus adalah Raja orang Yahudi, tetapi bukan dalam pengertian politis seperti yang dipahami oleh Pilatus. Selanjutnya para imam kepala mengajukan banyak tuduhan terhadap Yesus. Bagaimana reaksi Yesus? Kali ini juga Yesus bungkam dan membiarkan diri-Nya ditindas seperti yang dulu dinubuatkan oleh Nabi Yesaya. Hal ini mengherankan bagi Pilatus. Bagaimana mungkin ada orang yang kepadanya dituduhkan banyak perkara tetapi tidak mengajukan pembelaan diri!

 

Bungkamnya Yesus dapat menjadi pertanda bahwa Ia tidak tergoda untuk menunjukkan kekuasaan-Nya sebagai Raja. Ia bukan raja seperti Kaisar yang menciptakan perdamaian di bawah tekanan dan penindasan. Ia adalah Raja Damai yang menempuhnya bukan dengan cara perang dan penaklukkan. Bungkamnya Yesus sedang menunjukkan bahwa ada cara lain untuk berdamai. Bukan dengan cara penaklukkan tetapi dengan cinta! Cinta yang rela berkorban bahkan demi cinta itu pengorbanan tidak lagi dimengerti sebagai penderitaan, melainkan jalan kemuliaan. Inilah perdamaian yang sesungguhnya karena manusia akan menyambutnya bukan dengan terpaksa karena tekanan dan intimidasi itu. Cinta hanya dapat disambut melalui hati yang bersih. Yesus sedang memperagakan itu!

 

Hari ini kita merayakan Minggu Palmarum, Yesus yang disambut gembira ketika memasuki Yerusalem untuk menuntaskan karya-Nya sebagai Raja Damai. Hari ini, pada saat yang sama juga kita diingatkan kembali akan kesengsaraan Yesus. Minggu Sengsara! Lalu, apa buahnya buat kita? Apakah kita telah menyambut Sang Raja Damai itu dengan membuka hati dan merasakan kedamaian cinta-Nya? Cinta-Nya yang memulihkan kita sehingga dengan kekuatan cinta itu kita dapat membagikannya kepada orang lain khususnya mereka yang sedang dalam tekanan, intimidasi dan beban berat! Ketika kita menyambut Sang Raja Damai, kita pun akan bersedia menjadi alat ditangan-Nya untuk pendamaian, pemulihan dan kehidupan yang lebih baik meski untuk itu kita harus menderita sama seperti Tuhan kita dalam penderitaan-Nya!

 

Jakarta, 21 Maret 2024, Minggu Palmarum/Minggu Sengsara Tahun B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar