Selasa, 12 Maret 2024

MEMILIH JALAN KEMULIAAN

“Hidup adalah masalah pilihan, dan setiap pilihan yang kamu buat membentukmu.” Demikian kata  John C. Maxwell seorang penulis, motivator dan sekaligus pendeta kenamaan asal Amerika Serikat. Hidup ini adalah pilihan! Ya, sekali Anda memilih berarti menolak yang lain dan mengiyakan pilihan Anda itu! Ketika Anda ditanya ingin hidup mulia atau tidak? Saya dapat menduga bahwa jawaban Anda pasti, “Ya, saya ingin hidup mulia!”

 

Benar, setiap orang mendambakan hidup mulia. Sama seperti kebahagiaan, hidup mulia ada banyak versi. Mulia menurut saya belum tentu Anda sepakat. Ada orang beranggapan bahwa kemuliaan dalam hidup ditandai dengan kekayaan. Lihat saja, bukankah kenyataannya begitu. Orang kaya akan mendapat perlakuan terhormat. Sebaliknya, orang miskin sering dipandang kelompok hina dina. Banyak juga yang memandang kemuliaan seseorang dengan ukuran kuasa atau jabatan. Hakim, anggota DPR, presiden, Menteri, kepala daerah, sering disebut “yang mulia”. Maka, tidak mengherankan untuk jabatan-jabatan itu orang memperebutkannya. Di samping kekayaan, jabatan dan kuasa, ada kelompok orang yang menaruh hormat terhadap orang-orang cerdik pandai. Ukuran kemuliaan itu adalah intelektual!

 

Salahkah orang memilih dan memerjuangkan kemuliaan dalam hidupnya? Tentu saja tidak! Setiap orang diciptakan dengan sangat istimewa, “segambar” dengan Sang Penciptanya. Manusia adalah makhluk mulia, demikian kata Mazmur 8! Jadi, sudah selayaknya manusia memuliakan dirinya.  Namun, kemuliaan seperti apa yang seharusnya diperjuangkan oleh manusia? Yesus menawarkan dan memberi contoh jalan mulia itu, meski Ia sendiri tidak menjadikan kemuliaan itu sebagai sebuah tujuan!

 

Ibrani 5:5 menegaskan, “Demikian pula Kristus tidak memuliakan diri-Nya sendiri menjadi imam besar, tetapi dimuliakan oleh Dia yang berfirman kepada-Nya: ‘Anak-Ku’ Engkau!” Jadi, kalau pun ada orang yang sungguh-sungguh mulia, yang mengatakannya selalu pihak atau orang lain. Tidak pernah ada orang yang benar-benar hidupnya mulia dengan mengatakannya sendiri, atau mencanangkan sejak awal sebagai tujuan yang ingin dicapainya. Kemuliaan yang disematkan kepada Yesus adalah karena ketaatan-Nya, “Dan sekalipun Dia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya,…” (Ibrani 5:8).

 

Kemuliaan yang diterima Yesus jelas bukan karena sejak dari awal Ia menginginkan itu melainkan ketaatan-Nya dalam mengemban misi Bapa untuk membuka jalan damai yang membuahkan keselamatan bagi sebanyak mungkin orang yang mau menyambut-Nya. Maka tidaklah mengherankan kalau Injil Yohanes melihat sisi lain dari penderitaan dan salib Yesus bukan sebagai penderitaan yang mengerikan. Melainkan, pilihan yang membuahkan kemuliaan baik bagi diri-Nya maupun Sang Bapa. Yesus menjadi mulia dan disebut mulia oleh karena Ia telah mengosongkan diri-Nya, taat sampai mati di kayu salib. Bapa dimuliakan di dalam Yesus, oleh karena melalui ketaatan-Nya membuka jalan bagi rekonsiliasi, pendamaian manusia yang berdosa kini kembali merasakan dekapan kasih sayang Bapa!

 

Sejak Yesus memporak-porandakan para pedagang di pelataran Bait Suci konfrontasi para pembesar Yahudi dengan Yesus semakin meruncing. Puncaknya adalah peristiwa Lazarus yang dibangkitkan Yesus. Yesus mengundurkan diri, namun Ia muncul kembali seminggu  menjelang perayaan Paskah. Kemunculan-Nya disambut oleh beberapa orang Yunani yang ingin “bertemu” dengan Yesus. Bertemu, dalam versi Injil Yohanes berarti ingin mendengar dan percaya kepada Yesus. Minat mereka begitu antusias, setidaknya dengan permohonan yang disampaikan kepada Filipus dan Filipus menyampaikannya kepada Andreas, kemudian keduanya menyampaikan kepada Yesus. Yesus menyambut mereka.

 

Siapakah orang-orang Yunani ini? Mereka adalah orang-orang yang takut akan Allahnya orang Israel. Mereka berada di Yerusalem untuk merayakan Paskah. Kedatangan dan kepercayaan mereka penting, sebab mereka mewakili bangsa-bangsa yang kelak dengan perantaraan para rasul akan tergabung dalam jemaat universal. Ketakutan orang Yahudi terbukti benar, kini ketakutan itu mulai tampak,  “seluruh dunia datang mengikuti Dia” (Yohanes 12:19). Mengenai orang-orang asing ini, bukankah Yesus juga pernah mengatakan bahwa Ia bukan hanya Gembala Israel? Ia harus memberikan nyawa-Nya juga untuk domba-domba lain yang bukan dari kandang Yahudi (Yohanes 10:15-17).

 

Dengan kedatangan orang-orang Yunani ini, semakin lengkaplah tanda kemuliaan Anak Manusia telah genap. Banyak orang bukan hanya dari umat Israel tetapi dari segala bangsa, termasuk kita saat sekarang, semua ditarik oleh Yesus yang ditinggikan di atas kayu salib. Kematian aib di salib menjadi kematian mulia dan memuliakan sebab menarik banyak orang dari kegelapan maut dan menjadikan mereka percaya kepada Yesus. Dalam cara demikian, siapa pun yang mengikuti-Nya tidak akan menyayangi nyawanya sendiri. Seperti Yesus yang rela memberikan nyawa-Nya untuk keselamatan dunia, para pengikut sejati akan memilih jalan yang sama. Tidak akan menyelamatkan nyawanya sendiri!

 

Lalu, apa yang dimaksud Yesus dengan “nyawa”? Nyawa yang kita pertahankan mati-matian, tetapi dengan ringan harus kita lepaskan, begitukah? Benar, banyak orang mengartikan nyawa secara psikis. Bukankah Yesus juga meregang nyawa di atas kayu salib itu? Maka terpisah nyawa dengan raga berarti mati!

 

Perhatikan, “Barang siapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barang siapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.” (Yohanes 12:25). Yang dimaksud dengan “nyawa” bukan hanya hidup psikis, tetapi “hidup menurut nilai-nilai duniawi, dunia yang tidak memberi tempat bagi ketaatan kepada Allah, tetapi penuh dengan nafsu akan kemuliaan semu : harta, kuasa dan kedudukan. “Nyawa” di sini menyangkut juga kecenderungan atau dorongan-dorongan nafsu psikologis kita, misalnya: dorongan kuat yang menjadi ambisius untuk berhasil, dicintai, dihormati, diakui oleh orang lain, hasrat ambisi untuk berkuasa dan mengontrol orang lain. Keinginan seperti ini ibarat “nyawa”, ada dalam diri kita masing-masing. Sehingga, akan muncul dalam berbagai cara dan berbagai tahap dalam hidup kita. Di sini, kita akan mengambil pilihan kemuliaan semu! Ya, semu karena dengan begitu dikira hidup kita mulia, padahal mati : kehilangan nyawa!

 

Coba rasakan, apakah pada saat ini, di dalam diri Anda sedang mengalir dorongan kuat untuk dikagumi, untuk menjadi pribadi rohani unggul, untuk dapat mengontrol orang lain? Kita bisa mengejar nama baik dan kepuasan diri dalam melakukan pelayanan-pelayanan gerejawi. Kita dapat menciptakan topeng intelektual, religius, atau citra baik. Ini semua berasal dari “nyawa” yang berjuang untuk mendapatkan kemuliaan yang semu!

 

Dalam Injil Yohanes ini, kita dibawa lebih jauh dan lebih dalam untuk masuk kepada kemuliaan yang sesungguhnya, itu semua karena anugerah-Nya. Kita melihat dalam sosok Yesus bahwa kemuliaan semu, kemuliaan duniawi itu bukan apa yang harus kita kejar dan perjuangkan. Ketaatan pada Allah yang telah diajarkan Yesuslah yang memberikan kepada kita kemuliaan yang sebenarnya. Tinggal kini, apakah kita rela melepaskan “nyawa” kita demi meraih hidup yang sesungguhnya itu atau tidak?

 

Jakarta, 12 Maret 2024, Minggu Pra-Paskah ke-5 tahun B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar