Kamis, 07 Maret 2024

ANUGERAH-NYA PULIHKANKU

Minggu kemarin kita belajar memahami kemarahan. Rupanya, bacaan Alkitab hari ini masih menyisakan kemarahan. Ya, umat Israel marah dan bersungut-sungut, “Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab, di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak!” (Bilangan 21:5). Kemarahan itu dipicu karena perjalanan berat yang harus ditempuh mereka. Kelelahan dialami oleh umat itu setelah mereka melakukan perjalanan panjang memutar mengelilingi tanah Edom. Perjalanan memutar dan berliku itu dipandang sebagai sesuatu yang mempersulit mereka. Mengapa kalau ada jalan pintas, Allah menyuruh mereka berkeliling. Mereka berpikir bahwa jalan yang berliku, panjang dan berkeliling itu adalah cara Allah mempersulit perjalanan mereka. Bukankah kita juga sering kali marah dan tidak percaya pada kepemimpinan Allah mana kala perjalanan hidup ini terasa terjal dan memutar? Kita melihat kemudahan-kemudahan yang diberikan Allah adalah anugerah dan sebaliknya jalan yang memutar panjang itu adalah hukuman!

 

Lalu, ada apa dengan jalan yang memutar? Sebelum kita berprasangka buruk, mari kita melihat hal-hal positif di balik jalan yang memutar itu. Dilangsir oleh situs Faster Capital, ada beberapa manfaat bila kita mengambil jalan memutar, antara lain: 

 

Peningkatan kreativitas, pada saat Anda mengambil jalan memutar dari yang biasanya, Anda mempunyai kesempatan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Inilah yang menolong Anda mendapat keterampilan memecahkan masalah. Nalar dan keterampilan Anda tidak hanya itu-itu saja, tetapi sekarang bertambah lagi karena Anda dipaksa untuk berpikir di luar kebiasaan. Namun, seperti umat Israel, kebanyakan dari kita enggan mengambil risiko dan berjalan lebih jauh. Keengganan itulah yang membuahkan penat dan tidak sabar, akibatnya emosi yang tidak terkendali. Marah!

 

Mengambil jalan memutar sebenarnya dapat mengurangi stres. Mengapa? Tidak monoton, ini bisa menjadi pengalaman yang lebih menenangkan, karena Anda tidak terlalu fokus pada tujuan. Di sini Anda akan bisa lebih menikmati perjalanan dan proses. Bisa jadi, pada waktu itu umat Israel ingin tergesa-gesa sampai di negeri perjanjian itu sehingga mereka tidak menikmati perjalanan bersama dengan Allah melalui kepemimpinan Musa. Bukankah hal itu juga yang sering terjadi dengan kita. Kita lebih menyukai hasil ketimbang proses, padahal keduanya sama penting! 

 

Perjalanan memutar akan menambah pengalaman budaya. Memutar dapat mengarah pada penemuan pengalaman budaya baru. Perjumpaan-perjumpaan dengan budaya dan kebiasaan yang dilewati akan memperjelas nuansa perbedaan tetapi juga mengukuhkan jati diri. Bisa jadi ketika Allah mengajak umat-Nya berkeliling, Ia sedang menunjukkan perbedaan umat-Nya dengan bangsa-bangsa yang dilewati. Di sana mereka dapat merefleksikan jati diri mereka. Sayangnya, mereka terlalu lelah dan tidak dapat menguasai diri!

 

Perjalanan memutar berdampak positif bagi pertumbuhan karakter pribadi Anda. Perjalanan memutar memaksa Anda keluar dari zona nyaman dan mencoba sesuatu yang baru. Hal ini dapat mengarahkan Anda pada peningkatan kepercayaan diri pada saat Anda berhadapan dengan situasi dan lingkungan baru. Secara keseluruhan, mengambil rute memutar mungkin bukan jalur yang paling langsung menuju tujuan Anda, namun bisa menjadi pengalaman yang berharga yang memberikan banyak manfaat. Sayangnya, kita seperti umat Israel yang tidak pandai melihat hal yang baik dan positif, alih-alih souzon terhadap Allah!

 

Kemarahan yang tidak terkendali membuat umat Israel bersungut-sungut dan mengutuki Musa. Mereka lupa bahwa baru saja, oleh pertolongan tangan TUHAN mereka mengalami kemenangan atas orang Kanaan. Akibat pemberontakan itu, mereka mendapat hukuman, mati dipagut ular tedung! Beruntung, sebagian dari mereka yang masih hidup menyadari kesalahan itu. Segera mereka meminta ampun kepada Allah melalui Musa. Mereka memohon syafaat Musa untuk meluluhkan hati Allah. 

 

TUHAN menjawab Musa, “Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup” (Bilangan 21:8). Musa melakukannya tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya. Musa meninggikan ular tembaga pada sebuah tiang untuk mencegah kebinasaan. Pertanyaanya kemudian, “Apakah ular tembaga itu mempunyai daya magis untuk menyelamatkan orang dari kematian akibat dipagut ular tedung?” Jawabannya, “Tentu saja tidak!” Jika benar demikian, maka Allah – yang melalui Hukum Taurat – melarang membuat patung berhala, justru sekarang memerintahkan Musa untuk membuat ular tembaga itu menjadi berhala bagi mereka. Jelaslah, bukan ular tembaga itu yang memulihkan, melainkan dengan cara mereka melihat ular itu artinya, mereka taat pada perintah TUHAN, dengan melihat ular itu mereka melihat TUHAN sebagai Allah yang menyembuhkan mereka! Dengan kata lain, bukan ular tembaga itu yang memulihkan, melainkan ketertundukan, ketaatan, dan keyakinan mereka kepada Allah yang telah memerintahkan Musa membuat ular tembaga itu. Mereka yang tadinya tidak percaya bahkan berprasangka buruk terhadap Allah, kini karena ketaatan mereka, mereka dipulihkan!

 

Contoh atau tipologi ini yang kemudian dipakai Yesus ketika Ia bercakap-cakap dengan Nikodemus, kata-Nya: “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:14,15). Pokok utama pembicaraan Nikodemus dan Yesus adalah tentang hidup yang kekal. Yesus menjawab bahwa hidup yang kekal diperoleh pada ketika seseorang percaya pada peninggian-Nya di kayu salib. Seperti Musa meninggikan ular tembaga di atas tiang untuk menyelamatkan mereka yang sekarat karena racun ular, demikian juga setiap orang berdosa yang melihat dan percaya kepada Yesus yang ditinggikan di kayu salib akan hidup. Ia mempunyai hidup yang kekal! Melihat dan percaya adalah tanggapan manusia terhadap anugerah Allah di dalam Kristus!

 

Salib dalam Injil Yohanes dilihat sebagai jalan kemuliaan, sebuah peninggian (hypsoo)  kata ini digunakan dalam arti pemuliaan seorang raja dengan pemberian mahkota. Salib dari fisiknya sudah jelas menjulang di atas tanah, apalagi ditancapkan di atas bukit. Salib yang ditinggikan itu merupakan jalan anugerah yang disediakan Bapa untuk keselamatan dan kehidupan kekal bagi siapa yang melihat dan mengindahkannya. 

 

Memandang salib sebagai jalan anugerah bukan berarti kita pasif. Sejajar dengan tipologi ular tembaga, manusia harus aktif menyambut anugerah itu dengan cara memandang, percaya bahkan mempercayakan diri pada salib itu. Benar bahwa kita dapat percaya kepada Allah melalui karya Roh Kudus, namu perlu kita sadari juga bahwa sejak semula Allah menciptakan manusia lengkap dengan kehendak bebasnya; bebas memilih taat atau tidak. Jelas, yang harus dilakukan oleh manusia adalah menyambut anugerah Allah itu dengan sukacita.

 

Dengan memandang dan memercayakan keselamatan pada anugerah Allah tersebut, pada saat yang sama seseorang mendapatkan keselamatan, yakni hidup yang kekal. Hidup kekal yang dimaksud bukan semata-mata kehidupan di seberang kematian, melainkan dapat terjadi pada saat ini juga, yakni dengan hidup berpartisipasi dalam mewujudkan Kerajaan Allah kini dan di sini, yang oleh Paulus diungkapkan, “Kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya, Ia mau supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10).

 

Mirip dengan kisah ular tembaga dan pernyataan Yesus kepada Nikodemus, Paulus memulai dengan mengingatkan kepada orang percaya di Efesus bahwa mereka sebelumnya telah mati karena pelanggaran dan dosa-dosa mereka (Efesus 2:1). Paulus menegaskan bahwa dirinya, maupun rekan-rekannya adalah orang-orang yang sama, yang dulunya adalah orang-orang berdosa dan pantas untuk dimurkai, akan tetapi oleh kasih karunia Allah mereka telah dipulihkan, mereka telah diselamatkan melalui pengurbanan Yesus di kayu salib (peninggian Anak Manusia). Melalui cara tersebut kita memperoleh jalan keselamatan dan menerima hidup yang kekal. Paulus menegaskan bahwa itu semua bukan hasil usaha diri sendiri, melainkan semata-mata karena anugerah-Nya yang besar.

 

Allah telah menyediakan suatu cara, yang dengan itu manusia dibebaskan dari keadaan buruk, keterasingan, dan penghukuman. Pembebasan yang demikian ibarat manusia itu dipulihkan lagi pada kodratnya “lahir baru”. Ini hanya dapat diperoleh dari anugerah Allah. Kelahiran baru yang sama sekali mengatasi kuasa manusia dan yang sepenuhnya ada di tangan Allah. Meskipun demikian, yang menjadi catatan untuk kita renungkan adalah tanggapan kita terhadap anugerah Allah itu. Tanggapan itu mestinya melihat dan memandang salib artinya sejajar dengan percaya atau lebih tepatnya mempercayakan diri pada karya kasih Allah melalui salib Kristus, dan selanjutnya menata hidup sesuai dengan apa yang dipercayai itu, yakni mengerjakan pekerjaan baik yang dirancangkan oleh Bapa!

 

Jakarta, 7 Maret 2024 Minggu Pra-Paskah ke-4 tahun B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar