Hampir semua komunitas manusia dengan budaya, tradisi, keyakinan dan sistem kepercayaan yang dibangun, menempatkan kematian manusia bukanlah perkara sederhana. Budaya manusia menaruh hormat pada kematian sesamanya. Sebagian percaya bahwa orang yang telah meninggal masih bisa terhubung dengan mereka. Bahkan, ada yang meyakini bahwa orang yang telah meninggal itu sekarang dapat memberikan pertolongan dan perlindungan. Menjadi lebih sakti! Lihat saja, di banyak komunitas orang memanjatkan doa di depan kubur atau meja abu, dalam doa itu ada permohonan-permohonan tertentu – yang sebenarnya tidak akan sanggup dilakukan ketika orang itu masih hidup – misalnya, minta rejeki, minta kesehatan, jodoh bahkan sampai nomor togel!
Pada pihak lain, tidak sedikit kelompok dengan, nada pesimis memandang bahwa umur yang melekat pada dirinya singkat, sama seperti yang diungkapkan Ayub dalam pergumulannya, “Manusia yang lahir dari perempuan, singkat umurnya dan penuh kegelisahan. Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak bertahan.” (Ayub 14:1). Dan kematian dilihat sebagai sebuah akhir dari segalanya, “Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi? (Ayub 14:14a).
Mempertentangkan kedua pemahaman terhadap kematian tidak akan ada gunanya. Masing-masing punya argumen pembenarannya sendiri. Hari ini kita belajar dari peristiwa kematian Yesus. Lalu, bagaimana sikap orang-orang terdekat-Nya menanggapi kematian itu? Benar, Alkitab mencatat bahwa kematian itu hanyalah waktu jeda sebentar untuk Yesus bangkit kembali. Namun, coba kita bayangkan orang-orang terdekat Yesus ketika mereka belum sampai pada titik kebangkitan itu.
Gelap, dingin, mencekam! Mungkin mereka juga bertanya-tanya, “Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi?” sepertinya, pertanyaan ini lebih berat pada sisi pesimis. Hal ini akan terbukti ketika nantinya Yesus bangkit, mereka tidak mudah percaya! Gambaran kematian seperti ini nyaris melanda setiap orang. Menghadapi kematian orang-orang terdekat tidak mudah, yang ada : gelap, dingin dan mencekam!
Yang bisa dilakukan orang-orang terdekat ketika kematian itu datang hanya mengurusi, memulasara jasadnya menurut tradisi yang berlaku. Mungkin ini menolong para kerabat berangsur-angsur pulih karena mereka telah melakukan bakti untuk terakhir kalinya. Atau bisa juga kepedihan itu semakin menjadi-jadi sebab, mereka melihat jasad itu memilukan dan mereka tidak dapat berbuat banyak menjelang ajal itu tiba.
Nikodemus dan Yusuf dari Arimatea adalah dua sosok penting dalam pemulasaraan jasad Yesus. Nikodemus adalah seorang yang dulu datang pada malam hari untuk berguru pada Yesus (Yohanes 3). Sedangkan Yusuf dari Arimatea adalah seorang kaya yang telah menjadi pengikut Yesus. Yusuf masih memperhitungkan situasi. Ia takut terhadap orang banyak, meskipun demikian ia memberanikan diri menghadap Pilatus meminta mayat Yesus agar dapat dimakamkan dengan layak. Baik Nikodemus maupun Yusuf dari Arimatea adalah orang-orang yang mumpuni untuk melakukan pemulasaraan jasad Yesus. Meski suasana mencekam namun karena status mereka, pemakaman secara Yahudi dapat dilaksanakan sebelum Paskah tiba.
Entah apa yang merasuki Nikodemus yang semula takut terhadap orang banyak sehingga ia memilih sembunyi-sembunyi datang kepada Yesus pada waktu malam hari itu. Kini, ia berani meminta mayat Yesus untuk diurusnya sesuai keyakinan Yahudi. Barangkali kita dapat menduganya bahwa percakapannya terdahulu dengan Yesus di seputar hidup yang kekal begitu membekas sehingga Nikodemus tidak bisa lari dan menyangkal kebenaran yang disampaikan Yesus. Nikodemus mengingatnya – kendati diam-diam, ia memelihara ajaran Yesus itu dalam hatinya – dan kini ketika kematian itu menghampiri orang yang dikaguminya itu, semua ketakutan yang menghantuinya kini ia tanggalkan. Sekarang ia berani menghadapi risiko. Bayangkan, pada saat itu orang banyak yang terhasut oleh para imam dan petinggi Yahudi masih menunjukkan taringnya. Para murid yang begitu dekat dengan Yesus sudah kocar-kacir. Petrus sendiri seorang yang selalu tampil di depan tiga kali menyangkal Yesus demi menyelamatkan diri. Namun, Nikodemus tampil sebaliknya!
Nikodemus mengingat Yesus! Ia berterima kasih dengan caranya. Memuliakan jasad Yesus! Di balik apa yang dilakukannya tentu saja ada begitu banyak makna. Baginya, Yesus adalah sosok yang menunjukkan hidup kekal itu. Mengingat Yesus bukan sekedar memulasara jasad-Nya tetapi juga membuatnya berani menanggung risiko apa pun karena kehidupan kekal itu melampaui risiko yang mengancam di depannya.
Memento Christi, hari ini kita diingatkan kembali pada kematian Kristus. Ia jelas-jelas mati dan dimakamkan. Namun, kematian-Nya tetap menarik untuk kita renungkan. Dua tokoh yang tampil dalam peristiwa kematian Yesus adalah mereka yang mengingat Yesus. Ingatan mereka tentang Yesus yang pernah menyapa dan menyentuh mereka dengan ajaran-Nya membuat mereka mengesampingkan pelbagai risiko.
Bukankah ini juga yang seharusnya terjadi dalam diri setiap orang percaya? Kita dapat meneruskan apa yang dilakukan kedua orang ini, khususnya Nikodemus. Menghadapi kematian, benar kita akan diperhadapkan kepada kegelisahan, gelap, dingin dan mencekam. Namun, di balik itu bukankah kita dapat mengingat. Ya, mengingat bukan saja tentang kematian kita sendiri (momento mori), tetapi kematian orang-orang terdekat kita sehingga kita dapat mengatasi kegelisahan, ketakutan, dan keputusasaan dengan cara mengingat kembali bagaimana orang-orang yang telah meninggal itu meninggalkan ingatan atau kenangan iman. Sehingga tidak perlu kita meratapi dalam kesedihan berlarut.
Bagi Nikodemus, kematian Yesus mendorongnya untuk secara terbuka memperlihatkan keberpihakannya kepada Yesus. Bagi kita, kematian mestinya mendorong kita tidak tinggal terus pada duka nestapa, tetapi membuat kita mampu melanjutkan ziarah iman percaya kita. Untuk membuktikan kepada siapa kita mengingat dan percaya. Kematian Kristus menolong kita mengingat cinta-Nya. Apa yang paling berharga telah Ia pertaruhkan. Nyawanya sendiri! Ingat akan kematian-Nya berarti ingat akan cinta-Nya. Ingat akan cinta-Nya menolong kita untuk tumbuh dalam cinta bahkan cinta itu mengalahkan maut!
Jakarta, 27 Maret 2024 untuk Renungan Sabtu Sunyi Tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar