Pasti Anda tidak asing dengan kata “kedaulatan”. Namun, ketika ditanya apa pengertian dari kata itu, apakah Anda dapat menjelaskannya? Kedaulatan berasal dari kata dasar “daulat”, kata serapan dari bahasa Arab, “daulah” yang berarti kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan pelaksanaannya.
Dalam konteks kehidupan bangsa dan negara, kedaulatan menurut teori C.F. Strong berarti superioritas yang mengisyaratkan adanya kekuasaan untuk membuat hukum. Jadi, kedaulatan (sovereignty) merupakan konsep yang tertinggi (supreme authority) dalam suatu negara. Jelas, bicara tentang kedaulatan tidak dapat dilepaskan dengan kekuasaan. Tepatnya tentang siapa yang berkuasa!
Ketika kita bicara tentang kedaulatan Allah, maka kita sedang berbicara tentang Allah yang berkuasa. Artinya Allah yang memegang kekuasaan tertinggi di seantero jagat raya ini. Perwujudan kedaulatan Allah melalui hukum dapat ditemukan melalui perintah dan kaidah-kaidah-Nya yang terdapat dalam kitab suci. Lalu, apa yang dapat kita pahami ketika kedaulatan Allah itu terwujud dalam salib? Bukankah salib merupakan kutuk dan batu sandungan? Bukankah salib berbanding terbalik dengan hakikat kekuasaan itu? Hanya orang-orang pesakitan dan nir kuasa yang tersalib itu, bukan pihak yang berdaulat!
Injil Yohanes mencatat narasi yang sedikit berbeda dari ketiga Injil lainnya. Adalah benar bahwa ketiga Injil sinopsis berbicara tentang dahsyatnya penderitaan yang dialami Yesus sebelum dan sesudah penyaliban itu. Yesus, seperti yang ditampilkan oleh Mel Gibson dalam karya sineasnya The Passion of the Christ seolah mewakili gambaran penderitaan yang begitu mengerikan. Ngilu!
Ini tidak sepenuhnya terjadi dalam narasi Injil Yohanes. Yohanes tidak mencatat tentang Simon dari Kirene yang diminta untuk memikul salib Yesus sampai di bukit Golgota, alih-alih Yesus sendiri yang membawa kayu palang itu tanpa bantuan siapa pun! Mengapa demikian? Yohanes tentu punya alasan sendiri ketika ia melihat sosok Yesus. Alasan itu dapat ditemukan dalam teologi pribadinya. Prinsip fundamental yang mendasari Injil Yohanes dapat ditemukan dengan jelas dalam Yohanes 10:17-18, “Aku memberikan nyawa-Ku … tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri.”Selain dari itu, kita juga telah melihat sekurang-kurangnya ada tiga contoh dalam Injil Yohanes tentang kedaulatan Yesus di seputar peristiwa salib.
Pertama, di Taman Getsemani tidak terlihat bagaimana Ia begitu tertekan atau depresi menghadapi penderitaan dan kematian yang sudah di depan mata. Kehadiran-Nya saja di taman itu telah membuat para lawan yang hendak menangkap-Nya mundur dan terjatuh ke tanah. “Ketika Ia berkata kepada mereka, ‘Akulah Dia’, mundurlah mereka dan jatuh ke tanah.” (Yohanes 18:6). Kedua, tidak tercermin di wajah-Nya ketakutan ketika berhadapan dengan Imam Besar dalam pengadilan Mahkamah Agama Yahudi ketika Ia ditanyai, “Mengapakah engkau menanyai Aku? Tanyailah mereka, yang telah mendengar apa yang Kukatakan kepada mereka; sungguh, mereka tahu apa yang telah Kukatakan.” (Yohanes 18:21). Dan yang terakhir, dengan ketegasan yang sama Yesus menantang Pilatus, “Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun terhadap Aku, jika kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas…” (Yohanes 19:11).
Inilah kedaulatan Allah yang diperlihatkan oleh Yesus! Yesus bukan sang korban yang menjadi bulan-bulanan para pembenci-Nya. Bukan nasib sial juga yang menimpa-Nya tetapi Ia sendiri dengan sadar masuk menyongsong penderitaan dan kematian-Nya itu dengan kebebasan penuh! Karena itu sewaktu memikul salib, Yesus tidak membutuhkan bantuan Simon untuk memikul salib-Nya!
Meski Ia berdaulat, Yesus tidak melarikan diri dari rasa sakit. Ia menerimanya dan menempuh jalan sengsara itu sampai selesai. Yesus berdaulat dan tidak ada yang dapat memaksa-Nya untuk menempuh jalan salib itu. Jalan salib adalah jalan penderitaan yang dihindari semua orang. Kedaulatan yang Yesus pilih berbanding terbalik dengan kedaulatan yang dikejar oleh semua orang. Semua orang bermimpi punya kedaulatan untuk menguasai dan menaklukkan!
Bukankah demikian? Sejarah manusia adalah rangkaian perebutan kuasa dan kedaulatan. Kematian Yesus adalah salah satu peristiwa paling dramatis dalam sejarah umat manusia. Dia yang tidak bersalah, Dia yang datang menyapa dengan kasih dan damai, Dia yang datang untuk memberikan harapan dan hidup, dilemparkan ke dalam kebencian dan penolakan, dijatuhi hukuman biadab. Salib! Sekilas orang melihat-Nya sebagai kegagalan yang mengerikan. Tampaknya kebencian telah mengalahkan kasih. Namun, bagi orang yang dapat menelusuri kedaulatan Allah melalui-Nya akan menemukan: Dia yang dikalahkan, Dia yang tampaknya tidak punya kuasa dan menjadi korban, Dia yang terlihat gagal itu justru membuka sumber hidup baru, visi baru mengenai kemanusiaan, jalan baru menuju damai dan pemulihan.
Sejarah umat manusia adalah sejarah penindasan. Yang berdaulat, yang kuat menindas yang lemah. Mereka yang lemah selalu dihancurkan oleh yang kuat. Korbannya sering kali adalah anak-anak, kaum perempuan, para minoritas dan orang-orang lemah yang tidak berpendidikan. Mereka tidak berdaya oleh apa yang namanya rezim otoriter.
Yesus berjalan sendirian di jalan yang sunyi sambil memikul salib-Nya yang berat. Ia berjalan menuju kematian-Nya dengan tenang, dengan martabat dan dengan kedaulatan-Nya. Ia melaksanakan mandat yang diberikan Bapa-Nya untuk menghapus dosa dunia, untuk merobohkan tembok-tembok pemisah, yang memisahkan orang yang satu dengan yang lainnya. Ia menyongsong kematian-Nya dengan bebas, bebas untuk memberikan hidup-Nya. Di Golgota, bukit Tengkorak itu, Yesus berada di pusat sejarah.
Di Bukit Tengkorak itu Yesus menyelesaikan semuanya. Tetelestai! Semua sudah selesai. Tugas-Nya paripurna. Kata-kata ini dapat dimengerti dalam pelbagai aspek. Tetelestai, lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya. Kalimat ini dapat dimengerti dalam pelbagai aspek. Dalam bahasa Yunani, kalimat ini berarti Yesus menundukkan kepala-Nya dan memberikan Roh. Kalau demikian, tindakan-Nya yang terakhir adalah memberikan anugerah Roh. Ia menghembuskan Roh, sebagaimana sesudah itu, Ia akan menghembusi para murid dan memberikan Roh Kudus. Dengan kedaulatan-Nya Yesus memberikan Roh kepada para murid agar mereka mampu meneruskan apa yang sudah dijalani-Nya.
Dari rangkaian penderitaan sampai selesai-Nya Yesus menyerahkan nyawa-Nya, kita dapat belajar bahwa otoritas atau kedaulatan Allah melalui Yesus Kristus bukanlah kedaulatan dalam penaklukkan atau mempertahankan kehormatan diri. Yesus berdaulat dan memilih jalan itu agar terputusnya mata rantai penderitaan yang disebabkan oleh nafsu berdaulatnya manusia. Salib itu memerlihatkan kepada otoritas yang merasa berdaulat : para imam kepala, para tua-tua Yahudi, Farisi dan semua anggota Dewan Mahkamah Agama serta otoritas yang berdaulat, yakni kekaisaran Romawi, bahwa apa yang sedang mereka pertahankan, apa yang sedang mereka kejar adalah kedaulatan semu. Kedaulatan dunia yang telah memakan begitu banyak korban: baik korban atas nama pelanggaran hukum agama maupun korban penindasan materi dan fisik!
Di salib itu, kita diajak untuk melihat. Lihat, sang pemilik kedaulatan dari semua kedaulatan telah mengosongkan diri-Nya. Ia memilih salib itu untuk mendamaikan dan memulihkan manusia dari nafsu kerakusan, kesombongan, dan kuasa kepada cinta kasih yang tulus, yang merangkul kehinaan dan menerima kelemahan sesama manusia. Melalui salib di Bukit Tengkorak itu Yesus menghentikan keserakahan manusia. Cukup satu kali dan untuk selamanya!
Jakarta, 26 Maret 2024 Untuk Perenungan Jumat Agung 2024 Tahun B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar