Erving Goffman sosiolog kelahiran Kanada melalui dramaturgi politiknya menyebut interaksi dunia politik itu bak panggung teater. Panggung teater itu memiliki dua sisi: panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage)
Goffman menuturkan bahwa panggung belakang adalah realita sebenarnya dari politik itu sendiri. Sementara panggung depan adalah realitas yang telah disortir atau yang telah dipilah sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak ramai, yakni media massa, media sosial atau melalui alat komunikasi apa saja.
Tidak mengherankan di panggung depan semua terlihat baik, indah, mempesona, dan ideal. Pencitraaan! Untuk menghasilkan tampilan yang cantik itu, partai politik rela membayar konsultan politik. Konsultan pakar ini akan merumuskan visi-misi partai, memoles gaya bahasa sampai gestur tubuh. Mereka akan menyarankan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada saat tokoh politik itu tampil di hadapan umum. Pendeka kata, semua harus terlihat cantik dan apik.
Bagaimana panggung belakang? Ini ibarat dapur, bisa berantakan dan sangat mungkin tidak hiegenis. Di sini tempat kongkalikong terjadi. Tempat membagi-bagi siapa dapat apa dan harus berkontribusi berapa. Panggung belakang dalam tempat para king maker menggunakan kuasa untuk mengatur dan bila perlu memaksakan kehendaknya. Panggung belakang adalah ruang privat yang dijaga sedemikian ketat, jangan sampai bocor menjadi konsumsi publik. Sangat dimengerti bila di panggung ini hanya segelintir orang yang bermain.
Apa yang ditengarai Erving Goffman ternyata tidak hanya berlaku di panggung politik. Dalam batas-batas tertentu hal serupa terjadi dalam pelbagai bidang kehidupan manusia: bisnis, ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan ruang yang dianggap sakral; agama! Apa yang diperingatkan Yesus terhadap para murid-Nya setidaknya memperlihatkan dualisme panggung berbeda dari para pemuka agama. Kalau Goffman mengangkat istilah dramaturgi politik, bisa jadi dalam ranah agama itulahnya menjadi "dramaliturgi" Benar, tidak semua pemuka agama ahlaknya begitu. Namun, setidaknya mereka yang berpolemik dengan Yesus menyirikan kondisi tersebut.
Ketika perdebatan Yesus dengan para pemimpin Yahudi itu usai. Tinggallah Ia bersama para murid. Inilah kesempatan Yesus untuk ngobrol sambil memberi pengajaran kepada mereka. Obrolan Yesus tentu saja bukan gibah. Memakai contoh kasat mata dari figur-figur pemimpin agama itu, Yesus menghendaki para murid untuk memiliki integritas. Yesus tidak ingin para murid-Nya mencontoh perilaku mereka, kata-Nya: "... tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya." (Matius 23:3b).
Para pemuka Yahudi ini punya front stage tempat di mana kesalehan mereka dipamerkan. Mereka mengajar dan duduk di kursi Musa. Kursi ini berada di bagian depan rumah ibadat tempat para rabi mengajar. Kursi Musa menunjukkan otoritas seorang guru dalam mengajar Taurat. Yesus mengingatkan kepada para murid untuk menuruti dan melakukan apa yang mereka ajarkan. Yesus konsisten, Ia tidak membatalkan hukum Taurat (Matius 5:17-19). Para murid harus melakukan hukum Taurat yang diajarkan oleh para rabi itu. Namun, Yesus mengingatkan kepada mereka untuk tidak melakukan segala peraturan tambahan, yakni adat istiadat yang membebani kehidupan mereka (Matius 23:4).
Masih dalam panggung pertunjukan kesalehan, Yesus memberi sejumlah contoh, di antaranya: Semula, perintah Allah melalui Musa yang tertulis dalam Ulangan 6:8 dan yang lainnya, meminta agar orang-orang Israel mengikat Syema Yisreel: perintah untuk mengasihi Allah sebagai tanda pada tangan mereka dan dijadikan lambang di dahi mereka. Ini merupakan bahasa kiasan untuk mengajak umat agar pikiran (dahi) dan perbuatan (tangan) mereka selalu ingat dan tertuju pada perintah itu. Nyatanya, para rabi itu melakukannya secara harfiah dengan membungkus beberapa teks Taurat dan mengikatnya dengan tali-tali pada tangan dan dahi di saat sembahyang (disebut tefilin, tali sembahyang). Ada yang membuatnya lebar-lebar agar orang melihat, betapa salehnya mereka. Tidak hanya tali sembahyang, mereka memakai jumbai, yakni tali-tali pendek yang terpilin pada empat ujung jubah mereka. Semula inilah simbol untuk mengingatkan mereka pada segala perintah Allah (Bilangan 15:38-39). Jumbai ini telah berubah menjadi lebih panjang agar di panggung depan itu kesalehan mereka semakin jelas terlihat!
Tampaknya front stage tidak cukup di rumah ibadah sebagai dramaliturgi. Mereka merambah ke tempat-tempat perjamuan. Dalam perjamuan-perjamuan itu mereka punya tempat tersendiri. Duduk di paling depan dan terpisah dari rakyat jelata. Mereka ingin di beri salam duluan, sebelum membalasnya. Mereka suka sekali disapa sebagai Rabi (harfiah berarti "tuanku"), gelar kehormatan bagi guru-guru Taurat.
Masih ada lagi front stage untuk para politisi kesalehan ini, panggung itu adalah pasar. Pasar tempat keramaian di mana orang saling terhubung satu dengan yang lain untuk bertransaksi. Jadi, betapa banyaknya panggung-panggung kehormatan untuk mempertunjukkan kesalehan mereka itu. Bagi Yesus, bukan itu yang menandakan seseorang benar-benar saleh dan mentaati hukum-hukum Tuhan. Bukan supaya dilihat orang kita melakukan kesalehan, melainkan karena mengasihi Allah Bapa dengan sepenuh hati.
Apakah hanya para Rabi atau elit Yahudi yang punya tabiat pamer kesalehan? Seperti para Rabi Yahudi, para pengajar Kristiani juga tidak luput dari sindrom ini. Banyak aturan, ajaran dan khotbah dibuat gereja yang untuk dirinya sendiri bahkan tidak sanggup untuk menanggungnya. Tetapi dengan tujuan agar dilihat oleh umat. Mereka berdecak kagum memuji kesalehan para pemimpin itu. Keteladanan mereka hanya ada bila terlihat. Benar, masih banyak para pemimpin dan pengajar Kristian yang punya integritas. Untuk mereka kita patut doakan agar teladan-teladan iman terus hadir di muka bumi ini.
Kenyataanya tidak hanya para pemimpin dan pengajar saja yang mempunya front stage, masing-masing kita pun punya itu. Banyak hal kita lakukan atas nama mengasihi Allah dan sesama, atas nama pelayanan. Namun, di back stage nyata bahwa tujuannya untuk mendapatkan penghormatan. Agar citra kita menjadi harum, indah dilihat dan kita senang mendapat pujian. Ini bukanlah integritas, tetapi munafik!
Integritas adalah satunya kata dan perbuatan. Integritas akan terbukti ketika kita konsisten melakukan hukum dan kehendak Tuhan walau tidak ada seorang pun yang melihat apa yang kita perbuat. Ujian dari integritas kita adalah ketika tidak ada seorang pun yang melihat perbuatan baik kita. Apakah kita akan tetap melakukannya? Ketika tidak ada seorang pun yang memuji dan berterima kasih atas perbuatan baik kita, apakah kita masih akan terus melakukannya?
Pujian dan penghormatan mungkin saja akan kita terima ketika kita sungguh-sungguh menjadi orang yang saleh, orang yang setia melakukan kehendak Tuhan. Namun, tujuan utamanya bukan itu. Tujuan utama kita melakukan kesalehan adalah karena kita mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan kita serta mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Cinta kasih adalah energi yang tidak pernah akan habis untuk kita menjadi pribadi-pribadi yang berintegritas. Jadilah orang Kristen yang ucapan dan perbuatannya sama, yang di depan dan di belakang prilakunya tidak berbeda!
Jakarta, 2 November 2023, Minggu Biasa Tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar