Kamis, 26 Oktober 2023

MENGASIHI DIRI SENDIRI DAN SESAMA

Apa yang Anda bayangkan dengan kalimat "Mengasihi diri sendiri"? Apakah segera muncul dalam benak Anda bahwa ini adalah tindakan atau perilaku yang sungguh mulia? Atauhkah sebaliknya, semacam tabiat pementingan diri dan egois? Kunci asumsi kita sebenarnya terletak pada pemahaman tentang "mengasihi".

Banyak orang menyangka bahwa mengasihi itu adalah memberikan  atau mengupayakan segala sesuatu agar orang menjadi gembira atau senang. Dalam pemahaman seperti ini, mengasihi diri sendiri berarti berusaha memberikan segala sesuatu pada diri sendiri agar mendapatkan kegembiraan atau kesenangan. Seseorang yang hobi kuliner akan berusaha mencari tempat makan yang unik dan nikmat untuk memuaskan kesenangannya. Atau, seorang yang senang travelling berusahan mencari tempat-tempat eksotik, kalau perlu tempat tersebut adalah hidden gem yang orang lain belum mendatanginya. Entah biayanya berapa, meski harus menabung sepanjang tahun, yang penting bahagia!

Dalam batas kewajaran, menikmati kuliner, mencari tempat wisata untuk healing adalah bagian dari kita mengasihi diri sendiri. Menjadi tidak wajar apabila kita mulai kecanduan dan merasa tidak gembira kalau tidak menikmati kuliner-kuliner yang sedang trendi atau merasa begitu tertekan kalau tidak staycation atau healing ke tempat-tempat tertentu. Kalau sudah begini selangkah lagi kita terjebak pada apa yang disebut hedonis. Ya, gaya hidup yang memuja kesenangan dan kenikmatan. Lalu, kesenangan dan keinikmatan itu dipahami sebagai cara untuk mengasihi diri sendiri!

Para pemikir Yunani telah memikirkan gaya hidup hedonis. Kata hedonis berasal dari kata Yunani kuno "hedone", yang berarti kesenangan, kegembiraan, kenikmatan, kepuasan, dan hasrat sensual. Lima ratus tahun sebelum kelahiran Yesus sekelompok kecil filsuf, yang dikenal sebagai hedonis percaya bahwa hidup tentram atau kebahagiaan hanya bisa didapat dengan cara mengkonsumsi sebanyak mungkin kesenangan. Mengasihi diri sendiri berarti mewujudkan apa yang dapat  memuaskan diriku!

Sementara sebagian besar filsuf lain meyakini, bukan begitu. Bukan hedonis yang dapat membuat orang bahagia alih-alih kepuasan instan itu bersifat hina, rendah, bahkan kebinatangan. Hidup tenteram atau bahagia bagi mereka terbentuk dari kenikmatan yang melampaui hedonis, inilah yang disebut eudaimonia. Inilah yang disebut dengan kebajikan. Plato dan Aristoteles mencontohkan bahwa kebajikan itu serupa dengan memperjuangkan keadilan, hidup bijaksana, dan menahan diri atau hidup dalam keugaharian.

Meminjam pikiran para pemikir zaman kuno, mengasihi diri sendiri itu mestinya bukan dengan cara memuaskan nafsu duniawi. Malainkan dengan cara hidup benar, adil, bijaksana dan menguasai diri. Benarkah? Kenyataanya memang benar seperti itu. Coba saja begini: Anda merasa senang dan gembira ketika menikmati eskrim, maka setiap hari Anda mengonsumsi eskrim itu semakin hari Anda mencari eskrim yang rasanya semakin nikmat. Semakin hari Anda makan semakin banyak. Apa yang terjadi? Ya, sudah dapat diduga, obesitas! Yang seperti ini, Anda tidak sedang mengasihi diri sendiri. Contoh lain, setiap pagi Anda enggan bangun pagi. Mager, enakan berbaring sambil memainkan telepon genggam. Anda tidak sedang mengasihi diri sendiri. Anda sedang menggali kubur sendiri!

Mengasihi diri sendiri adalah mengupayakan merawat secara benar, tubuh, pikiran dan rohani kita. Mengasihi diri sendiri adalah upaya kita mengembangkan talenta agar optimal untuk mengejar kebahagiaan yang hakiki, yakni dengan jalan memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan hidup bijaksana dengan penguasaan diri. Hidup mengasihi diri sendiri, Anda akan tahu batas-batas apa yang yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dikejar. Mengasihi diri sendiri, Anda akan membatasi konsumsi informasi yang dapat merusak wawasan Anda tentang kebajikan dan benaran. Mengasihi diri sendiri, Anda akan makan, minum secukupnya sesuai dengan ajaran Yesus dalam doa Bapa Kami. Dan, mengasihi diri sendiri itu berarti Anda akan disiplin dengan diri sendiri!

Jelaslah bahwa mengsihi diri sendiri bukan tindakan pementingan diri sendiri atau egois. Mengasihi diri sendiri dengan benar dijadikan standar oleh Yesus untuk kita dapat mengasihi orang lain. Kasih yang seperti apa yang dapat kita lakukan terhadap orang lain? Ya, yang paling jelas dan konkrit adalah seperti kita mengasihi diri sendiri. Ini sejalan dengan kaidah emas yang diajarkan Yesus, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Matius 7:12).

Ketika seseorang tahu dengan benar bagaimana ia mengasihi dirinya sendiri, maka dengan standar itu ia akan mengasihi orang lain. Ketika kita sadar bahwa mengasihi diri sendiri itu tidak mungkin akan menyakiti dan mencelakakan diri sendiri, maka hal yang sama juga akan diterapkan kepada orang lain. Ketika kita tidak suka kepura-puraan dalam tindakan kasih, maka hal yang sama juga mustahil kita lakukan kepada orang lain.

Dalam jawaban Yesus terhadap pertanyaan jebakan kaum elit Yahudi, kasih kepada sesama ini nilainya sama dengan mengasihi Allah, hanya urutannya saja yang ditaruh di belakang. Kesejajaran ini diungkapkan dengan, "Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah :Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Matius 22:39). Yesus tidak menyebut hukum yang lebih rendah, melainkan "yang sama dengan itu". Apa yang dikatakan Yesus dapat kita pahami bahwa mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia merupakan satu paket hukum atau ajaran yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Sebab, mustahil orang mengasihi Allah tetapi membenci sesamanya manusia. Lagi pula, orang mengasihi Allah selalu akan diwujudkan dalam tindakannya terhadap sesama. Kita mengatakan melayani Allah, pasti dieskpresikan melalui pelayanan terhadap sesama.

Jadi, bila seseorang mengatakan mengasihi Allah namun kenyataannya tidak diwujudkan dalam mengasihi sesama yang juga dikasihi Allah, maka kasih kepada Allah itu menjadi cacat, tidak utuh! Sebaliknya, jika kita mengasihi sesama sedemikian rupa tidak dilandasi dengan kasih kita kepada Allah, maka kasih itu tidak mempunyai landasan. Sebab, kita akan jatuh pada kesenangan sesaat. Kita akan suka dan menikmati ketika orang kita kasihi menanggapi dengan positif. Sebaliknya, kita akan berhenti memberikan tindakan kasih atau bahkan membencinya ketika orang itu berperilaku tidak sesuai dengan harapan kita. Dalam hal ini, kita gagal memberlakukan kasih seperti kasih yang diajarkan dan dicontohkan sendiri oleh Yesus Kristus.

Lihatlah Yesus! Bagaimana Ia memberlakukan kasih Allah itu? Kasih yang tanpa syarat, kasih yang terus mengasihi bahkan terhadap pembenci-pembenci-Nya. Kasih inilah yang menjadi landasan untuk kita melakukan tindakan terhadap sesama. Landasan yang kuat akan menolong Anda dan saya dapat mengasihi siapa pun, termasuk terhadap mereka yang tidak menyukai kita!

 

Jakarta, 26 Oktober 2023, Minggu Biasa Tahun A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar