"Berdiam dirilah di hadapan Tuhan ALLAH! Sebab hari TUHAN sudah dekat.... Dengar, hari TUHAN pahit pahlawan pun akan menangis..." (Zefanya 1:7, 14).
Hari TUHAN sering ditafsirkan sebagai hari akhir atau akhir zaman. Kiamat! Tidak seorang pun dapat meramal kapan peristiwa dahsyat itu akan terjadi. Tidak mengherankan banyak spekulasi disertai dengan argumen-argumen yang mencomot ayat-ayat tertentu dengan maksud meyakinkan sebuah teori atau pandangan. Ingat, tidak ada seorang pun dapat memprediksi Hari TUHAN!
Semua sepakat Hari TUHAN atau akhir zaman terjadi di masa depan. Eskatologis! Sementara kita menantikannya, waktu terus berjalan tanpa kompromi. Sebaik apa pun Anda, dan sejahat apa pun Anda, waktu terus bergulir. Ia tidak akan berhenti lebih lama lantaran mendukung Anda yang sedang melakukan perbuatan baik. Atau sebaliknya, waktu akan mempersingkat diri supaya kejahatan yang Anda lakukan tidak berdampak parah. Tidak, waktu tidak akan memperlambat atau mempercepat dirinya, kecuali psikologis kita yang sedang menjalaninya.
Herakleitos melihat waktu seperti aliran sungai, yang membawa kita melalui perubahan-perubahan yang tidak pernah berakhir. Aliran yang bisa menenggelamkan tetapi juga yang dapat menghantar kita pada sebuah akhir yang menggembirakan. Dalam pandangan Heraklietos, masa depan akan berbeda sama sekali dari masa lalu dan sukar diketahui. Misteri! Di sinilah kita ada dan terus mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari. Jenis waktu seperti ini memandang dunia bergejolak naik turun, senang dan sedih, lahir dan mati. Dapatkah kita berselancar dalam aliran yang deras ini? Jawabannya tergantung banyak hal!
Pada pihak lain, ada argumen bahwa waktu sebagai aliran dan terus berubah, itu hanya ilusi. "Waktu nyata", waktu itu tidak mengalir! Demikian kata mendiang filsuf waktu D.H. Mellor. Menurutnya, waktu itu lebih mirip dengan peta daripada sungai. Pendekatan itu mengatakan bahwa perubahan tidak lagi tampak sebagai sesuatu yang sedang terjadi, tetapi mirip perbedaan antara dua titik dalam peta sebagaimana dialami semut yang merayap dari satu titik ke titik lain. Rasa bahwa masa depan berbeda dari masa lalu, menurut pandangan ini, itu berasal dari gerak kita sendiri, bukan dari aliran waktu yang katanya mengalir seperti sungai itu. Dalam pandangan ini, tidak banyak perbedaan antara masa lalu dan masa depan, dan karena itu masa depan sudah bisa diprediksikan. Prediksi itu sangat tergantung dari gerak atau aktivitas kita masa lalu dan sekarang! Ingatlah semboyan-semboyan yang mengatakan, "Masa depan di tentukan hari ini!"
Betulkah dikotomi penganut Heraklietos dan Parmendes yang dikembangkan oleh D.H. Mellor itu? Dalam praktiknya, ada banyak tumpang tindih antara kedua metafor itu. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan campuran kedua metafor itu. Sir Isaac Newton dalam Principia Mathematica, karya paling penting dalam revolusi sains menulis: "Waktu mutlak, sejati, dan matematis, dengan sendirinya dan berdasarkan hakikatnyta, ia mengalir tanpa bergantung kepada apa pun di luarnya, dan nama lainnya adalah durasi. Waktu menurut Newton mengalir seperti sungai, tetapi juga mutlak, punya panjang atau "durasi", seperti garis pada peta."
Walau terkesan "mengawinkan" konsep waktu yang mengalir dan waktu yang statis, kenyataannya menunjukkan seperti itu, suka atau tidak waktu itu akan mengalir terus dan benar juaga bahwa tindakan kita masa lalu dan sekarang akan menentukan "nasib" kita ke depannya. Orang yang berleha-leha memboroskan waktu pada masa mudanya akan mudah diprediksi seperti apa nantinya di masa depan. Orang yang sangat sibuk mempersiapkan masa depannya dan yang sangat santai toh pada akhirnya akan ditelan juga oleh sang kala yang tidak kenal kompromi. Di sinilah kita harus pandai "berselancar" agar setiap perilaku hidup tidak menjerumuskan kita pada ratapan dan kertakan gigi!
Dalam konteks Injil Matius, cerita perumpamaan tentang orang kaya yang hendak bepergian dan menyerahkan hartanya merupakan narasi yang mengingatkan kita apakah mempergunakan kepercayaan sang tuan itu dengan optimal atau sebaliknya, merasa bebas seperti anak sekolah yang ditinggal gurunya? Sang tuan tidak tahu kapan akan kembali dan meminta pertanggungjawaban dari para hambanya. Waktu (durasi) akan terus mengalir!
Benar saja, sang tuan kembali dalam waktu yang tidak pernah mereka duga. Dua hamba yang diberi lima dan dua talenta berhasil melipatgandakan apa yang dipercayakan kepada mereka. Sebaliknya, seorang hamba yang diberi satu talenta tidak memanfaatkannya kesempatan itu dengan baik. Alih-alih menguburnya dengan alasan takut.
Talenta adalah wujud kepercayaan sang tuan yang diberikan kepada para hambanya. Cerita ini menunjuk kepada Yesus yang menjelang kematian dan kebangkitan-Nya menyerahkan "harta-Nya" kepada para murid. Maka kata "talenta" tidak mengacu kepada bakat atau pembawaan sejak lahir, melainkan kepada anugerah-anugerah yang datang bersamaan dengan Kerajaan Allah dan diserahkan (paradidõmi, seperti dalam Matius 11:27) atau diberikan (didõmi) oleh Yesus kepada murid-murid-Nya. Diberikan dan bukan cuma dipinjamkan sebagai titipan. Nilai tinggi dari anugerah-anugerah itu diungkapkan dengan pilihan kata "talenta" yang nilainya sama dengan 6000 dinar: satu talenta setara dengan orang bekerja selama 6000 hari!
Pemberian ini menuntut tanggungjawab yang akan menentukan tidak saja bagi orang-orang yang dipercaya menerimanya, melainkan masa depan umat Allah dan dunia. Masa depan benar berada di tangan Tuhan, tetapi dalam prespektif waktu ala Newton: dalam waktu yang mengalir ini tindakan-tindakan kita justru akan menentukan wajah dunia ini. Lihat sejarah, apa yang terjadi ketika talenta yang diberikan Yesus Kristus itu justeru disalahgunakan, hasilnya: kekristenan tercerai-berai dan wajah tempat kekristenan lahir dan berkembang menjadi porak-poranda!
Selama ini kita hanya memandang jika tidak menggunakan talenta dengan bijak dan bajik maka yang akan menanggung adalah diri kita sendiri. Kita lupa bahwa talenta yang Tuhan serahkan kepada kita berdampak bagi kehidupan umat manusia, dunia dan wajah bumi kita!
Cepat atau lambat, sang waktu terus bergulir dan Sang Tuan itu akan kembali. Apakah kita cakap membergunakan waktu ini dengan baik? Mengelola setiap talenta yang Tuhan berikan ataukah kita sedang masa bodoh dan membiarkan diri terhempas dan tenggelan dalam aliran waktu yang tidak kenal kompromi itu? Jelas, tidak satu pun di antara kita yang ingin menyaksikan berakhirnya peradaban kita dan peradaban dunia dengan menangis. Seperti pesan TUHAN kepada nabi Zefanya, "....Dengar, hari TUHAN pahit, pahlawan pun akan menangis!"
Jakarta, 14 November 2023, Minggu Biasa terakhir, Tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar