Kamis, 12 Oktober 2023

UNDANGAN UNTUK BERSUKACITA

Minggu kemarin kita disuguhi kisah anak tuan tanah yang dibantai oleh para petani penggarap kebun anggur. Mereka membunuh si anak di luar kebun anggur tuannya karena berpikir bahwa ketika si ahli waris ini mati, maka mereka dapat mengambil ali kepemilikan kebun anggur itu. Sayangnya tidak sederhana itu, sang tuan murka dan membinasakan mereka! 

Hari ini, kita menikmati lagi kisah tentang sang anak. Bukan anak tuan tanah, tetapi anak raja. Anak raja mau menikah! Tentu saja ada banyak persiapan yang dilakukan oleh sang raja. Persiapan jamuan pesta dan siapa saja yang diundang tidak boleh dilakukan main-main. Serius dan cermat! Walau merepotkan, namun sukacita pesta perjamuan kawin itu akan membayar lunas  semua kerepotan  itu. Siapa pun yang mengadakan pesta pastilah ia ingin berbagi sukacita. Raja ingin bersukacita bersama dengan rakyat, para kerabat dan sahabat.

Sama seperti pada budaya kita ketika mengundang teman, sahabat dan kerabat pasti ada kriteria tertentu: mereka yang dekat dan punya relasi baik pasti mendapat prioritas. Dalam pesta pernikahan anaknya, sang raja menyebar undangan kepada mereka yang dipandang layak untuk menerimanya. Setelah undangan itu disebar, sang raja menyuruh lagi hamba-hambanya untuk memanggil orang-orang yang telah diundang itu agar segera datang ke perjamuan kawin anaknya. Sudah diundang, lalu dipanggil pula, luar biasa! Rupanya dalam tradisi undang-mengundang pada waktu itu ada kebiasaan kalau seseorang sudah menerima undangan, mereka akan diingatkan kembali dengan cara memanggil para undangan tersebut karena pesta segera dimulai. Namun, kelewatan juga orang-orang yang diundang ini. Bukankah yang mengundang mereka itu raja? Seharusnya, tanpa peringatan pemanggilan pun mereka antusias  segera bergegas menuju istana, tempat pesta itu berlangsung.

Lebih kelewatan lagi, pemanggilan itu dilakukan tidak hanya sekali. Kali ini pemanggilan kedua disertai dengan penegasan, "Sesungguhnya hidangan, telah kusediakan, lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih; semua telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini!" (Matius 22:4). Panggilan kedua ini memperlihatkan kesabaran sang raja. Nyatanya, mereka menolak, lebih dari itu: penolakan mereka disertai dengan penghinaan dan perilaku kejam terhadap para hamba raja.

Kisah perjamuan dengan indah mengungkapkan kebersamaan, kegembiraan, sukacita dan damai sejahtera umat manusia dalam Kerajaan Allah. Anehnya, banyak orang yang tidak menanggapi dengan posisitif. Mereka menolak bahkan menyingkirkan, menganiaya dan membunuh hamba-hamba yang menyampaikan undangan sang raja itu. Kesenangan pribadi, hidup dalam zona nyaman dengan pekerjaan, tradisi, dan kebanggaan diri seakan memasung mereka untuk tidak mau beranjak menyambut undangan sukacita sang raja.

Dalam tradisi Yahudi, perjamuan sering dipergunakan untuk metafor Kerajaan Allah. Kerajaan yang penuh sukacita! Orang-orang Israel berulang kali diundang dan dipanggil ikut serta dalam perjamuan itu namun acap kali mengabaikan dan menolaknya. Mereka dipanggil untuk keluar dari tradisi yang sudah kaku dan beku. Tradisi yang melanggengkan primordial dan kebanggaan mereka. Mereka diundang untuk meninggalkan cara hidup yang penuhg kemunafikan. Mereka diminta untuk menyambut dan menikmati kebersamaan sukacita dalam perjamuan kawin sang anak. Sayang, mereka menolak dan menyingkirkan orang yang diutus mengundang dan memanggil mereka. Mereka menolak Sang Anak, yaitu Yesus Kristus yang telah hadir di tengah-tengah mereka. Sang Anak yang selalu menggelar "pesta sukacita" dengan pelbagai pengajaran dan pemulihan-pemulihan kelemahan manusia akibat dosa. Sang Anak yang merangkul dan mengasihani orang berdosa. Mereka menolak bahwa Yesus itulah Mesias yang sesungguhnya. Mereka lebih menyukai apa yang sudah berakar turun-temurun. Mereka bangga sebagai umat pilihan dan hidup dalam kesalehan semu.

Asyik dengan apa yang sedang kita geluti. Larut dalam rutinitas, dan merasa nyaman dengan keyakinan diri yang berlebihan dapat membuat kita juga menolak undangan dan panggilan Tuhan. Untuk apa menanggapi undangan dan panggilan-Nya kalau kita merasa bahwa semuanya sudah baik-baik saja?

Para pemuka Yahudi menolak Sang Anak. Namun, penolakan  itu tidak dapat menggagalkan rencana keselamatan Allah. Raja yang murka itu menyuruh hamba-hambanya mengundang siapa saja yang ada di persimpangan jalan untuk hadir dalam pesta perjamuan kawin anaknya merupakan gambaran bahwa sukacita keselamatan itu terbuka bagi semua orang. Bahkan orang-orang berdosa sekali pun! Maka dalam perjamuan kawin anak raja itu terhimpunlah semua orang tanpa batasan lagi. Orang-orang yang semula dipandang tidak layak: orang-orang non Yahudi dan para pendosa kini mendapat tempat dalam Kerajaan Allah itu. Mereka diajak masuk dalam Kerajaan Allah. Sekat-sekat yang dibuat berdasarkan strata kesalehan Yahudi seketika runtuh, kebahagiaan dan sukacita surgawi terbuka lebar, tanpa batas!

Apa jadinya ketika undangan pesta perjamuan kawin itu terbuka untuk setiap orang bahkan yang di pinggir jalan sekalipun? Apa jadinya, kalau kemurahan Allah itu berlaku bagi semua orang termasuk para pendosa sekalipun? Anugerah Allah di dalam Anak-Nya begitu murah. Namun, sadarilah bahwa anugerah Allah itu begitu murah ini bukanlah perkara murahan!

Orang-orang pinggir jalan yang masuk dalam pesta itu ada orang jahat dan juga orang baik. Hal yang tidak biasa terjadi: Raja berbaur bersama mereka dalam kegembiraan pesta. Ia melihat ada seorang yang tidak berpakaian pesta ada dalam pesta itu. Kita bisa saja berkata, justru orang inilah yang paling logis. Lah, mereka orang pinggiran mana punya pakaian pesta? Justru yang aneh mereka yang berpakaian pesta itu. Dari mana mereka mendapatkannya?

Bila seorang pembesar, apalagi seorang raja mengadakan pesta, hal yang lazim bahwa mereka menyediakan semacam jubah untuk dikenakan pada para tamu undangan. Ya, bisa juga terjadi bahwa ada tamu terhormat yang sudah mengenakan pakaian pesta dari rumah mereka. Jadi, seandainya pun tidak ada pakaian yang pantas untuk sebuah pesta, tuan rumah - dalam hal ini sang raja - telah menyediakannya! Sayangnya, orang yang satu ini tidak mengenakannya. Ia terlihat nyaman dengan pakaiannya yang barang kali sudah gembel.

Raja menjadi murka, bukan karena pakaian kumalnya itu. Tetapi orang ini tidak menghargai apa yang terbaik yang disediakan oleh sang raja. Orang ini memandang remeh kemurahan hati sang raja. Kita dapat mengingat narasi nyanyian kebun anggur minggu yang lalu. Dalam Yesaya 5, sang pemilik kebun anggur itu telah menyediakan segala yang terbaik agar kebun anggurnya itu menghasilkan buah yang manis. Namun ternyata semua kebaikannya itu sia-sia. Yang dihasilkan adalah buah yang asam!

Rabi Yokhanan ben Zakai (80 M) bagaimana orang bijak berdandan setelah diundang raja, tetapi orang-orang bodoh meneruskan kesibukan mereka sendiri. Ketika perjamuan sudah tiba dan mereka dipanggil, mereka tampil dengan kotor di depan raja. Bukannya diundang untuk duduk makan, mereka disuruh berdiri dan menonton saja (Shabat 153a). Pengajaran melalui perumpamaan yang disampaikan Yesus lebih tegas lagi. Setelah diminta pertanggungjawaban dan orang tersebut tidak mampu memberinya, orang tanpa pakaian pesta itu dikeluarkan dari perjamuan mesianik dengan cara mengerikan; digambarkan dengan kegelapan dan siksaan!

Allah mengundang semua orang, termasuk di dalamnya orang berdosa. Inilah kemurahan-Nya! Namun, Allah juga tegas dengan mereka yang meremehkan kasih karunia-Nya. Mereka yang tetap tidak mau mengenakan "pakaian pesta" artinya berubah menjadi manusia baru dan nyaman dengan "pakaian kumal"nya akan menerima risiko. Ia tidak akan menikmati sukacita pesta itu. Jadi, marilah kita sambut undangan sukacita itu dan marilah kita datang dengan pakaian pesta yang sudah disediakan-Nya!


Jakarta, 12 Oktober 2023, Minggu Biasa Tahun A 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar