Anda melamar sebuah pekerjaan yang sudah lama menjadi impian Anda. Agar menarik, Anda memoles setiap kata agar terdengar menawan. Dalam wawancara tentang pekerjaan, Anda menekankan tentang prestasi dan keahlian Anda. Sebaliknya, menyembunyikan kelemahan dan kesulitan. Dalam wawancara itu, mereka bertanya, apakah Anda mampu meningkatkan penjualan hingga tiga puluh persen sekaligus pada saat yang sama memangkas anggaran produksi sebesar tiga puluh persen. Anda pun menjawab dengan suara tenang, "Saya pasti bisa!" Sekalipun dalam hati Anda merasa cemas dan menguras otak Anda untuk mendapatkan cara agar Anda dapat mewujudkan perkataan Anda itu. Anda tetap melakukan dan menjawab apa pun yang diharapkan agar mendapat posisi pada pekerjaan itu. Anda fokus untuk memukau pewawancara, konsekuwensinya urusan nanti.
Rolf Dobelli dalam bukunya, "The Art of Thinking Clearly" menyebut perilaku itu sebagai strategic misrepresentation atau "strategi omong besar". Semakin besar yang dipertaruhkan, maka semakin lebay, berlebihan pernyataan Anda itu. Strategi seperti ini banyak kita jumpai dalam masa-masa kampanye. Banyak omong besar yang terbukti janji-janji kosong. Omong besar yang bahkan mengalahkan kewarasan akal sehat tidak segan-segan untuk meraih kekuasaan!
Strategi omong besar dapat dilakukan oleh siapa pun, termasuk Anda dan saya. Tujuannya untuk membangun citra diri yang baik. Perkara ucapan itu dipraktikan atau tidak, itu perkara lain. Yang penting orang mengenal dirinya sebagai firug yang keren dan mumpuni. Lantas, apakah reputasi baik dan keren itu akan melekat pada diri kita hanya melalui strategi omong besar? Bayangkan, kalau Anda datang kepada seorang dokter untuk keluhan mata Anda. Pada pertemuan pertama sang dokter spesialis mata itu memaparkan keahliannya. Dengan segudang pengalaman, ia menjanjikan pada pertemuan kelima mata Anda akan segera pulih bahkan dapat melihat melebihi mata orang normal. Anda termakan omong besarnya itu. Pada kedatangan kedua dan ketiga, alih-alih penglihatan Anda membaik, semakin buram dan mengkhawatirkan. Apakah Anda akan kembali pada pertemuan keempat?
Pencitraan dapat dibangun melalui strategi omong besar. Namun, tidak dengan reputasi! Anda dan saya bisa dengan omong besar mengatakan percaya dan mengakui kemahakuasaan Allah. Namun, dampak dari pengakuan itu, yakni: tunduk dan melakukan kehendak-Nya adalah perkara yang lain. Orang yang percaya dan mengakui kemahakuasaan Allah belum tentu mau tunduk dan melakukan perintah-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah Iblis dan antek-anteknya juga percaya dan mengakui dan percaya kepada kemahakuasaan Allah?
Pencitraan, itulah yang kerap kali kita jumpai dalam Injil yang mengisahkan perjumpaan Yesus dengan orang-orang Farisi, imam-imam kepala, tua-tua Yahudi dan para pakar hukum Taurat itu. Salah satu kisah itu yang kita baca hari ini. Pagi itu Yesus masuk kompleks Bait Allah dan mengajar. Para pemuka agama itu merasa terusik dan bertanya atas kewenangan dan kuasa dari mana Yesus melakukan itu? Yesus menjawab secara diplomatis dengan sebuah pertanyaan tentang baptisan Yohanes yang tidak dapat dijawab!
Selanjutnya, Yesus memberikan pengajaran dengan tiga perumpamaan: dua orang anak yang diminta bekerja oleh bapaknya (Matius 21:28-32), tentang penggarap-penggarap kebun anggur (Matius 21:33-46), dan tentang perjamuan kawin (Matius 22:1-14). Ketiga perumpamaan ini bermuatan ajaran teguran kepada para pemuka agama itu yang atas ketidakpercayaan mereka kepada Yesus. Mereka seperti anak pertama yang mengatakan "ya" untuk bekerja di kebun anggur bapaknya. Nyatanya tidak mengerjakan apa yang diucapkannya itu. Mereka seperti para penggarap kebun anggur yang menangkap dan memukul, bahkan juga membunuh utusan-utusan sang pemilik kebun anggur. Mereka seperti para tamu undangan yang menolak untuk hadir dalam pesta perjamuan kawin itu.
Perumpamaan mengenai seorang bapak yang mempunyai dua orang anak yang diminta bekerja di kebunnya hanya terdapat dalam Injil Matius. Perumpamaan ini menekankan kembali tema yang dibahas oleh Injil Matius tentang pertobatan. Pertobatan itu bukan omong besar saja, melainkan sebuah tindakan nyata! Anak pertama mengatakan "ya" tetapi nyatanya tidak mau pergi dan mengerjakan perintah bapaknya. Sedangkan anak kedua mengatakan, "Aku tidak mau", tetapi kemudian ia menyesal dan pergi mengerjakan perintah bapaknya.
Perumpamaan ini mengajarkan bahwa yang penting dan menentukan bukanlah apa yang dikatakan, melainkan apa yang dilakukan orang. Urutan cerita menunjukkan celaan terhadap hal berbalik dari perkataan "Ya" tetapi pada kenyataannya "tidak" dikerjakan! Walaupun jawaban anak kedua sangat tidak sopan, "Aku tidak mau!" Namun, nyatanya tidak dipermasalahkan ketika anak kedua ini menyesal lalu mengerjakan perintah bapaknya.
Imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi menjadi representasi dari kebanyakan orang Yahudi itu seperti anak pertama. Mereka mendengar warta pertobatan Yohanes, tetapi mereka mengabaikannya. Sekarang malahan menentang Yesus. Mereka menolak pemberitaan dan karya yang dilakukan Yesus. Sikap mereka ini berbanding terbalik dengan para pemungut cukai, para pelacur sundal yang mereka labeli dengan sebutan orang-orang berdosa. Pada pihak lain, orang-orang yang disebut kelompok pendosa ini, semula mengatakan "tidak" (karenanya mereka melakukan perbuatan dosa). Tetapi kemudian mereka menyesal dan percaya kepada Yesus.
Dalam kisah ini jelaslah, para pemuka Yahudi itu tahu, menyaksikan dan membenarkan perkataan Yesus namun mereka tidak mau tunduk apalagi melakukannya. Mereka membenarkan ajaran di balik perumpamaan Yesus. Yesus bertanya, "Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?" Jawab mereka, "Yang terakhir" Kata Yesus kepada mereka, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului masuk ke dalam Kerajaan Allah." (Matius 21:31).
Percaya, mengakui akan kemahakuasaan Allah tidak serta-merta membuat orang tunduk dan melakukan apa yang dikehendaki Allah. Di sinilah kita membutuhkan apa yang disebut kerendahan hati. Paulus mengajarkan kepada jemaat di Filipi untuk merendahkan diri sama seperti Yesus. Jemaat Filipi yang tumbuh di kota yang sering disebut "little Roma" yang gemar sekali membanggakan diri. Hidup dalam pelbagai macam bentuk pencitraan. Mereka diminta untuk sehati sepikir dengan Yesus yang walaupun dalam rupa Allah tidak mempertahankan-Nya, melainkan telah mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba, disalibkan dan mati! Paulus mengajarkan ketertundukan kepada Allah itu dengan cara taat dan setia dalam melakukan kehendak Allah.
Hari ini, ketika memulai bulan keluarga, kita diingatkan kembali tentang kemahakuasaan Allah. Keluarga yang mengakui sekaligus tunduk kepada kemahakuasaan Allah. Keluarga yang menjunjung tinggi otoritas Allah di atas segalanya. Dampaknya, setiap anggota keluarga akan belajar dan melaksanakan kehendak Allah itu pertama-tama dalam keluarga. Ayah dan ibu, orang tua akan menjadi contoh terlebih dahulu menterjemahkan kata "taat", "setia", "kasih", "pengampunan", "bela rasa", "pendamaian", "kerendahan hati" dan seterusnya ke dalam perbuatan yang nyata; konkrit. Sebab kalau tidak itu berati kita sedang dalam pase "strategi omong besar" yang sama seperti para pemuka agama Yahudi itu. Bahkan, sama seperti Iblis dan antek-anteknya yang percaya dan mengakui kemahakuasaan Allah tetapi tidak mau tunduk!
Demikian juga seterusnya, setiap anggota keluarga mengutamakan otoritas Allah dan mengakuinya dalam tingkah laku dan segenap tindakan. Dengan cara itulah kita, dan tentunya keluarga kita mengakui kemahakuasaan Allah!
Jakarta, 1 Oktober 2023 Pembukaan Bulan Keluarga / Minggu Biasa tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar