"Boleh lihat gak isi besekmu?" Pinta seorang ibu pada temannya dalam perjalanan pulang setelah acara syukuran tetangganya. "Boleh!" Sahut teman sambil membuka besek yang berisi makanan berkat itu. "Loh koq, kamu dapat dada mentok. Lah, yang punyaku paha bawah! Ini tidak beres, perasaan selama ini saya selalu ramah sama tuan rumah itu, bahkan tanpa diminta kalau ada sampah di depan rumahnya saya pungut dan memasukkannya ke tempat sampah!" Si ibu ini terus menggeruti sepanjang perjalanan menuju rumahnya. Besek berkat yang berisi makanan itu alih-alih disyukuri, malah membuat semakin panas hati ketika ia membayangkan dada mentok yang diperoleh temannya.
Ceritanya menjadi lain apabila Si Ibu tadi tidak melihat besek teman tetangganya. Ia bisa menikmati bersama anggota keluarganya dengan makan pemberian cuma-cuma dari tetangganya yang sedang mengucap syukur itu. Bisa jadi di antara kita sulit mengucap syukur kepada Tuhan ketika membandingkan apa yang kita peroleh dengan milik tetangga kita. Kita rajin mengingat kepunyaan orang lain, sebaliknya lupa apa yang sudah Tuhan beri!
Ceritanya menjadi lain andai saja Sang Tuan itu membagi bayar dimulai yang bekerja paling pagi. Setelah menerima bayaran, mereka akan pulang dan menikmati upah bekerja di ladang anggur itu. Satu dinar adalah upah yang layak dan pantas untuk buruh yang bekerja di ladang anggur itu. Satu dinar cukup menghidupi satu keluarga untuk satu hari. Dalam perumpamaan,Yesus membalik urutannya. Yang datang terakhir bergabung bekerja di kebun anggur itu dibayar terlebih dahulu. Jelas, mereka yang datang lebih awal itu melihat. Sang Tuan memberi satu dinar kepada orang yang baru datang bekerja jam lima sore sebesar satu dinar. Pada tahap ini mungkin para pekerja yang datang menggarap kebun anggur itu dari pagi sumringah, "Mereka yang baru bekerja satu jam saja mendapat bayaran satu dinar. Nah, aku bekerja dari pagi, lebih dari sepuluh jam. Tentu akan mendapat sepuluh dinar!"
Lalu, mereka mengamati terus. Ternyata sampai pada giliran mereka: satu dinar juga! "Wah, ini tidak adil. Bagaimana mungkin orang yang bekerja hanya satu jam bayarannya disamakan dengan kami yang bekerja lebih dari sepuluh jam. Kalau begini caranya, buat apa kami datang pagi-pagi buta bekerja terus sampai terpanggang matahari, datang saja seperti mereka. Satu jam sebelum pembayaran upah!" Mereka menggerutu dan marah.
Mengapa mereka menggerutu dan marah? Mereka marah karena melihat satu dinar yang sama! Mereka tidak menerima lebih banyak daripada yang bekerja hanya satu jam saja. Inilah yang mengganggu mereka, sehingga mereka berkata, "Engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung terik matahari!" Mereka lupa akan kesepakatan Sang Tuan di awal sebelum bekerja. Tuan itu menawarkan satu dinar sehari upah bagi yang mau bekerja. Ia bukan tuan tanah yang suka menindas dan memeras tenaga orang-orang kecil. Bayaran itu sangat pantas!
Sang Tuan membayar hak mereka. Namun, mereka yang protes tidak memikirkan lagi hak yang sudah mereka terima. Mereka memikirkan hak istimewa (previlege). Mereka mau diistimewakan. Itulah sebabnya sikap mereka berubah. Tentang kelompok yang datang bekerja terakhir, mereka bicara dengan nada penghinaan, "Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam..." ( Matius 20:12). Perhatikan kalimat yang mereka pakai: "Mereka yang masuk terakhir ini". Apa yang mencolok dari orang yang berbicara begini? Mereka sama sekali tidak solider dengan kelompok lain. Mereka juga lupa bahwa orang-orang yang masuk bekerja menjelang sore itu karena tidak ada yang mempekerjakan mereka. Mereka lupa bahwa teman-temannya itu juga punya anak isteri yang harus diberi makan.
Para pekerja yang menuntut hak istimewa itu mau memisahkan diri dari teman-temannya yang berstatus buruh atau pekerja juga di kebun anggur itu. Mereka tidak menyebut, "Teman-teman kami yang datang belakangan." Sikap seperti ini sesungguhnya tidak berbeda dari sikap kaum Farisi yang tidak mau peduli dengan "para pendosa". Mereka merasa punya hak istimewa di hadapan Allah!
Pada versi yang lain, perumpamaan ini dengan tepat digambarkan dalam kisah pemanggilan Yunus untuk menyampaikan seruan pertobatan kepada penduduk Kota Niniwe. Rupanya sejak semula Yunus tahu bahwa Allah adalah pengasih, penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya (Yunus 4:2). Yunus marah kepada Allah karena Allah bermurah hati dan berbelaskasihan kepada penduduk Niniwe, padahal mereka adalah para pendosa yang layak dibinasakan. Oleh karena penyesalan dan mereka menyambut seruan pertobatan, Allah menyelamatkan kota Niniwe dari kehancuran. Ternyata keadilan dan kemurahan Allah tidak seperti yang dibayangkan oleh Yunus, oleh orang-orang Farisi, oleh para pekerja yang datang terlebih dahulu dan oleh kita!
Kita membayangkan dan mendambakan seperti Petrus dan teman-temannya bahwa setelah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Yesus akan mendapat hak istimewa. Murid-murid pertama yang telah meninggalkan keluarga dan pekerjaan mereka berharap mendapat upah besar: ganjaran seratus kali lipat dan hidup kekal (Matius 19:27-29). Petrus menegaskan, "Kami telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi, apakah yang akan kami peroleh?" (Matius 19:28). Petrus seakan mewakili kita yang merasa telah melakukan banyak hal atas nama mengikut dan melayani Yesus. Petrus dan kita harus mendapat previlege, keistimewaan dan tidak boleh disamakan dengan mereka yang baru kemarin sore melayani atau bahkan yang tidak mengenal-Nya.
Ceritanya berbeda! Kita terpaku kepada hak itu, lalu membatasi kemurahan Tuhan. Cerita tentang kemurahan hati pemilik kebun anggur ini mengumpamakan kemurahan hati Allah dan Kerajaan-Nya yang melampaui semua perhitungan manusia. Pertama-tama memperlihatkan komitmen Allah yang tanpa batas mengundang manusia yang berdosa untuk masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Lebih menakjubkan lagi ialah kemurahan Allah yang menawarkan keselamatan penuh kepada semua orang kapan pun ia mau datang. Ini tidak berarti bahwa orang boleh menunda-nunda untuk menyambut panggilan dan pertobatan itu. Jelas, orang yang menyambut panggil dan kasih karunia Allah baginya lebih banyak kesempatan untuk bekerja di ladang Tuhan. Bagi orang-orang seperti ini ada banyak keintiman dan kebahagiaan bersama-sama dengan Tuhan yang dia layani. Untuk itu tidak perlu memikirkan hak istimewa, karena pada dasarnya selama seseorang bekerja di ladang Tuhan, ia mendapat keistimewaan bersama-sama dengan Dia!
Sebaliknya, untuk orang-orang yang berpendapat "Tuhan membayar sama orang yang bekerja sepanjang hari dengan orang yang bekerja satu jam saja." Oleh karenanya, menunda dan berniat memenuhi panggilan itu pada jam-jam terakhir. Ini mengandung risiko tinggi. Kesempatan yang baik bersekutu dengan Tuhan akan hilang. Dan, tidak ada seorang pun yang tahu, kapan kesempatan itu benar-benar berakhir. Maka jangan coba-coba mengulur waktu!
Jakarta, 21 September 2023, Minggu Biasa Tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar