Kehilangan dan tertolak merupakan peristiwa menyakitkan. Traumatis! Pada taraf tertentu peristiwa menyakitkan ini membuat manusia apatis dan tidak mau tahu lagi dengan orang lain bahkan dirinya sendiri. Paulus begitu sedih dan terpukul ketika oleh karena bangsanya sendiri menolak pemberitaan Injil yang menyelamatkan itu. "...bahwa aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati." (Roma 9:2). Kesedihan itu wajar. Mengapa? Ia telah melakukan pemberitaan Injil kepada banyak orang di luar bangsanya dan mereka menerimanya. Tentu saja, secara emosional ia ingin bangsanya sendiri menerima Injil itu. Kesedihannya itu diungkapkan bahwa ia rela terkutuk dan terpisah dengan Kristus demi teman sebangsanya itu. Luar biasa!
Kehilangan dan tertolak demikian kata yang tepat ketika Yesus mendengar kabar bahwa Yohanes Pembaptis telah dieksekusi, dipenggal oleh Herodes lantaran sang nabi nyentrik itu berani menegur perilaku amoral sang penguasa bersama Herodias yang semula istri Filipus saudaranya itu. Sebelum peristiwa itu pun Yesus telah ditolak di Nazaret, kampung halamannya sendiri. Memilukan!
Sangat dipahami pukulan-pukulan berat itu menggetarkan jiwa-Nya. Lazimnya manusia membutuhkan pemulihan paska peristiwa-peristiwa traumatik itu, Yesus menyingkir. Ada pelbagai pendapat tentang menyingkirnya Yesus. Bisa saja Yesus takut terhadap Herodes yang semakin menggila dalam mempertahankan kekuasaan dan kenyamanan istananya sehingga apa dan siapa pun yang berani mengusik akan berhadapan dengan kebuasannya. Wajar kalau Yesus mencari tempat sunyi yang jauh dari jangkauan penguasa lalim itu. Atau, Yesus membutuhkan tempat sunyi untuk meratapi kesedihan-Nya. Bisa juga Ia seperti Yunus yang memilih kabur dari panggilannya sebagai nabi. Apa pun penafsirannya, faktanya bahwa setelah mendengar berita Yohanes Pembaptis dibunuh Ia menyingkir dan hendak mengasingkan diri!
Peristiwa pengasingan diri yang berkaitan dengan Yohanes Pembaptis, bukanlah yang pertama bagi Yesus. Dulu, ketika Yohanes Pembaptis ditangkap dan dipenjarakan, Yesus juga menyingkir (Matius 4:12). Kali ini bisa saja Yesus mempunyai gambaran bahwa kematian pendahulu-Nya adalah sinyal kuat terhadap kematiaan-Nya sendiri yang semakin dekat. Yesus butuh menenangkan diri. Yesus perlu memulihkan diri dan untuk itu Ia ingin sendiri.
Kepentingan untuk diri sendiri ini ternyata tidak selalu terpenuhi. Ia terusik dengan banyaknya orang yang entah tahu dari mana tempat yang dituju oleh Yesus itu. Okhlos, orang banyak itu menginggalkan tempat tinggal mereka dan mengikuti Yesus. Jelas, mereka sama sekali tidak tahu kondisi Yesus yang sedang mengalami pukulan dahsyat. Mereka sama seperti anak-anak ayam yang mencari perlindungan induknya, seperti kawanan domba tanpa gembala. Mereka berjalan kaki, tidak menaiki perahu seperti Yesus. Ya, bisa dimengerti butuh perahu seberapa banyak untuk mengangkut mereka? Berjalan kaki memperkirakan tempat tujuan Yesus merupakan tindakan luar biasa. Mereka harus mengitari danau itu!
Esplankhnisthe! Tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan. Ungkapan ini mengacu kepada kasih mendalam yang bersumber dari hati. Seperti kasih yang membuncah dari "rahim" sang ibu ketika melihat penderitaan anaknya. Ya, ini bukan tentang perasaan. Bukan emosional belaka, melainkan sikap penuh iba yang siap bertindak melakukan apa saja. Sama seperti Paulus yang bahkan mau terkutuk demi mengasihi teman sebangsanya.
Esplankhnisthe itu nyata dalam tindakan therapeia: pemulihan dan penyembuhan orang yang sakit dan tidak berdaya. Koq bisa si sakit dan tidak berdaya itu ada di tempat pengasingan Yesus. Tentu saja orang-orang yang peduli terhadap penderitaan sesamanya ini berjibaku, menggendong, membopong, menandu mereka yang tidak berdaya itu. Bagaimana mungkin hati Yesus tidak tergerak oleh belas kasihan? Energi-Nya tidak ada habis-habisnya. Yesus terus merengkuh mereka yang datang dengan menyediakan apa yang mereka butuhkan. Kasih-Nya mengalir bagaikan sungai!
Yesus tidak terpuruk dengan kebutuhan-Nya sendiri untuk mengasingkan dan memulihkan diri-Nya sendiri. Tidak! Sampai hari menjelang malam Yesus terus bekerja. Mungkin karena memperhatikan Sang Guru dan juga kebutuhan orang banyak itu, "... murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata, tempat ini terpencil dan hari mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat memberi makanan di desa-desa!" (Matius 14:15). Para murid menawarkan kepada Yesus solusi manusiawi. Bisa saja Yesus mengabulkan proposal para murid. Mereka akan pergi mencari warung penjual makanan.
Namun, ini bukan solusi ideal. Selain jarak yang jauh dan berapa warung yang dapat menyediakan makanan siap saji untuk lebih dari lima ribu orang. Lagi pula orang banyak yang mengikuti Yesus itu tampaknya bukan untuk mendapat makanan pengganjal perut, melainkan mereka rindu seorang gembala yang baik. Gembala yang bukan seperti Herodes dan para imam yang mendukungnya. Mereka "miskin" dan perlu disembuhkan. Dan, Yesus menyediakan "perjamuan" itu!
Alih-alih mengabulkan permintaan murid-murid-Nya, Yesus mengatakan "Kamu harus memberi mereka makan!" Dengan berkata demikian, Yesus memberi tanggung jawab kepada murid-murid-Nya. Ia tampaknya memikirkan makanan yang masih ada pada mereka, dan Yesus yakin bahwa apa yang diperlukan untuk dihidangkan kepada orang banyak justru ada pada mereka. Yesus mengajar kepada para murid-Nya untuk percaya diri, menunjukkan inisiatif dan tidak mengelak dari tanggung jawab, berlaku sebagai pemimpin yang melayani. Perintah ini mencerminkan ajaran Yesus yang kemudian diteruskan menjadi tradisi gereja. Gereja tidak boleh membubarkan khalayak yang lapar akan Allah, sebab roti biasa tidak dapat mengenyangkan manusia secara tuntas!
"Yang ada pada kami ... lima roti dan dua ikan! (Matius 14:17). Yesus mengambil roti itu dan memecah-mecahkannya. Dalam keluarga Yahudi hal ini dilakukan oleh seorang bapak kepala keluarga sebagai tanda bahwa mereka boleh makan. Mula-mula Yesus memberikan roti yang telah dipecah-pecahkan itu kepada para murid. Kemudian mereka memberikannya kepada orang banyak. Jadi ada dua pemberi: Yesus dan murid-murid-Nya. Namun, hakikatnya hanya ada satu pemberi saja, yakni :Yesus, Sang Sumber Pemberi berkat! Oleh-Nya perintah "Kamu harus memberi mereka makan!" terpenuhi! Murid-murid di sini tampil sebagai perantara yang diperlukan oleh orang banyak. Mereka "meniadakan diri" secara total di balik kepedulian Yesus terhadap esplankhnisthe yang benar-benar membutuhkan. Demikian mereka, tanpa kecuali mendapatkan kebutuhan mereka. Bahkan, sisa makanan itu dua belas bakul penuh. Berkat itu melimpah!
Dalam keadaan sebagai pengungsi yang mengasingkan diri karena terancam penguasa, Yesus tetap peduli dan iba melihat penderitaan orang banyak yang mengikuti-Nya. Ia menunjukkan keprihatinan-Nya dengan melenyapkan penyakit dan kelaparan. Pemberian makan kepada orang banyak di tempat sunyi akan mengingatkan orang pada Musa dan pemberian manna di padang gurun dan akan nabi Elisa yang dengan lima roti menjamu seratus orang. Kini, Yesus tampil sebagai Nabi akhir zaman dan Mesias.
Dalam rangkaian peristiwa-peristiwa ajaib itu ternyata Allah melibatkan manusia untuk berpartisipasi. Manusia yang mau peduli terhadap sesamanya. Namun, ada banyak alasan untuk kita tidak mau peduli. Alasan itu bersumber dari kekhawatiran kita dan meragukan kuasa Allah. Kita khawatir dengan diri sendiri dan kebutuhannya, sehingga kita lupa bahwa ada orang-orang di sekitar kita yang lebih membutuhkan pertolongan. Kekhawatiran itu dapat memicu sifat egoisme dan egosentrime lalu kita lari dari tanggung jawab. Kita meragukan bahwa Allah di dalam Yesus Kristus sanggup menyediakan apa yang kita butuhkan. Ingatlah, Yesus meminta bukan apa yang tidak ada pada kita. Ia mengatakan, "Apa yang ada padamu?" Yang ada itulah yang terus akan mengalirkan berkat-berkat-Nya bagi banyak orang!
Jakarta, 3 Agustus 2023 Minggu Biasa Tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar