Perahu Retak
Perahu negeriku, perahu bangsaku menyusuri gelombang.
Semangat rakyatku, kibar benderaku menyeruak lautan.
Langit membentang, cakrawala di depan melambaikan tantangan.
Di atas tanahku, dari dalam airku tumbuh kebahagiaan.
Di sawah kampungku, di jalan kotaku terbit kesejahteraan.
Tapi kuheran di tengah perjalanan muncullah ketimpangan.
Aku heran, aku heran yang salah dipertahankan.
Aku heran, aku heran yang benar disingkirkan.
Perahu negeriku, perahu bangsaku jangan retak dindingmu.
Semangat rakyatku, derap kaki tekadmu jangan terantuk batu.
Tanah pertiwi angugerahi ilahi jangan ambil sendiri.
Tanah pertiwi anugerah ilahi jangan makan sendiri.
Aku heran, aku heran satu kenyang seribu kelaparan.
Aku heran, aku heran keserakahan diagungkan.
(lirik oleh : Emha Ainun Najib. Lagu/dinyanyikan: Franky Sahilatua)
Kritik sosial melalui lantunan suara ini populer pada 1995, tiga tahun sebelum era reformasi. Ketimpangan membuncah seperti lirik lagu Perahu Retak. Setiap suara yang menyerukan keadilan dibungkam dan entah di mana kita dapat menemui si pemilik suara itu. Raib! Jejak negeri yang semula dibangun dalam bersamaan, di tengah perjalanan seperti perahu yang retak itu. Nyaris tenggelam oleh badai keegoisan penguasa. Hal semacam ini tidak hanya menjadi jejak bangsa kita, tetapi di banyak negara dan sepanjang zaman.
"Yang salah dipertahankan, yang benar disingkirkan. Satu kenyang seribu kelaparan, keserakahan diagungkan!" Heran! Ya, mungkin dalam keputusasaannya Nabi Elia juga mempertanyakan keadilan TUHAN. Betapa tidak, ia merasakan perjuangannya mengembalikan bangsanya ke jalan yang benar tetapi justru disingkirkan dan hendak dibunuh, "Aku bekerja segiat-giat-Nya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang diriilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku." (1 Raja-raja 19:10). Jelas, Elia sangat mencintai bangsanya. Namun, apa yang ia dapat? Ancaman, intimidasi dan rencana pembunuhan yang digagas oleh ibu negara, Izabel!
Reformasi 1998, negeri ini menapaki era baru. Seolah semua dapat berbicara, punya kesempatan sama meski harus diawali dengan peristiwa berdarah. Menyakitkan! Namun, lagi-lagi seperti perahu retak itu. Ketimpangan kembali terjadi, atas nama demokrasi, politik identitas dimainkan tanpa menghitung badai besar akan melumat perahu negeri yang mulai berlayar kembali. Perpecahan menghadang! Meski demikian kita masih dianugerahi Tuhan dengan tokoh-tokoh yang tidak gentar memperjuangkan kebenaran dan kesetaraan. Mereka tahu dan bersedia menanggung risiko dibungkam, dianiaya dan dipenjarakan. Korban politik identitas!
Bukankah telah lama politik identitas itu juga dipraktikan oleh Herodes Antipas bersama petinggi Yudaisme? Mereka menghalalkan apa saja demi mempertahankan kekuasaan. Herodes atas permintaan Salome anak dari Herodias, memenggal kepala Yohanes Pembaptis. Sejatinya, Yohaneslah yang mencintai bangsanya. Namun, atas nama kekuasaan ia harus mati! Pada gilirannya, Yesus akan mengalami hal serupa. Peristiwa kematian Yohanes memaksa Yesus menyingkir. Namun, orang banyak yang sudah lama diperlakukan bagai "domba tanpa gembala" terus mengikut langkah-Nya, hingga mereka menemukan Yesus dan di sanalah Yesus menjamu mereka dengan lima roti dan dua ikan.
Peristiwa ini memicu orang banyak untuk menjadikan Yesus sebagai "Raja". Ya, raja yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Bukankah ini sangat logis, jika Yesus yang menjadi raja mereka; mereka tidak usah lagi mengolah tanah untuk menghasilkan bahan makanan dan roti atau pergi ke tengah danau mencari ikan? Jika mereka sakit tidak lagi perlu mencari tabib atau rumah sakit, cukup datang kepada Yesus dan dengan belas kasihan-Nya Ia akan menyembuhkan! Bukankah hal seperti ini yang sedang dilakukan oleh para politisi kita? Memberi mereka "roti" dan "ikan", menebar pesona dengan aksi-aksi sosial!
Sayang, Yesus tidak mau dijadikan raja roti dan paranormal penyembuh! Menurut catatan Yohanes, Yesus sengaja menyingkir, "Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri." (Yohanes 6:15). Secara politis, bukankah ini saat yang tepat? Yesus dengan pengaruh, pengajaran dan mukjizat-Nya telah memikat banyak orang dan orang-orang itu menginginkan-Nya menjadi raja. Ini kesempatan emas untuk meraih kekuasaan! Sekali lagi, Yesus menolak! Ia konsisten dengan misi-Nya, kalau mau kekuasaan, itu sudah dari dulu ketika Si Iblis menawari-Nya. Yesus tidak mau para pengikut-Nya hidup dengan kemudahan-kemudahan yang mematikan daya juang dan keyakinan iman yang benar.
Apa yang diperlihatkan Yesus mestinya juga menolong kita untuk tidak terjebak mengikut calon atau para pemimpin yang menjanjikan kemudahan, yang hanya pandai memberi roti dan ikan, tetapi tidak dapat menyediakan lahan untuk menanam atau kail dan perahu untuk mencari sendiri ikan-ikan itu. Dari sikap Yesus mestinya kita bisa berefleksi untuk menjadi pengikut-pengikut-Nya yang siapa dan setia menapaki jejak-Nya meskipun bukan jejak di jalan mulus melainkan via dolorosa!
Perjalanan yang sulit itu tergambar melalui peristiwa para murid yang diterjang badai dalam perahu mereka. Yesus sengaja mendesak mereka untuk cepat-cepat beranjak seusai keramaian perjamuan lima roti dan dua ikan itu. Sedangkan Ia sendiri, naik ke bukit seorang diri dan berdoa. Adegan lain, para murid yang berlayar tanpa Yesus mengalami tantangan hebat. Angin sakal menerjang perahu mereka. Perahu yang diancam ombak dan angin, dalam Injil Matius mengacu kepada gereja yang terancam kuasa alam maut ketika terpisah dari Yesus. Ia datang menjelang pagi, mengingatkan kita dalam tradisi Perjanjian Lama, "Allah akan menolongnya menjelang pagi" ( Mazmur 46:6; 30:6 dan Yesaya 17:14). Dengan berjalan di atas air - bukan melayang terbang - Yesus melakukan apa yang hanya dilakukan Allah, "Ia melangkah di atas gelombang-gelombang laut" (Ayub 9:8; Mazmur 77:20, Yesaya 43:16). Demikian Yesus menyatakan sebagai Allah yang menaklukan kuasa maut.
Alih-alih para murid gembira melihat Yesus di tengah badai itu, mereka terkejut dan menyangka-Nya hantu. Murid-murid kurang percaya. Yesus menenangkan mereka, "egõ eimi (Aku ada), perkataan yang sama seperti Allah menyatakan diri kepada Musa (Keluaran 3:14). Rahasia jati diri ilahi Yesus yang disembunyikan bagi orang bijak dan pandai, di danau dan dalam badai itu dinyatakan kepada murid-murid, orang-orang kecil!
Seperti biasa, Petrus tampil mewakili murid yang lain, "Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air." (Matius 14:28). Yesus menerima tantangan Petrus dan mempersilahkannya berjalan di atas air menuju diri-Nya. Petrus melakukannya. Ia dapat berjalan di atas air itu! Namun, apa yang terjadi ketika ia melihat badai yang memukul-mukul air di sekitarnya. Nyalinya ciut, ia tenggelam dan berseru, "Tuhan, tolonglah aku!". Lagi, Yesus mengabulkan permohonan Petrus. Ia mengulurkan tangan-Nya dan memegang. Setelah itu Yesus mencela ketakutan Petrus. Petrus dicela karena ia kurang percaya. Celaan ini berulang kali dipakai Injil Matius untuk melukiskan kerapuhan iman para murid. Iman mereka ada, namun tidak memadai. Ini seperti benih yang jatuh di tanah yang berbatu; Petrus segera percaya namun tidak bertahan ketika kesulitan datang.
Nyali kita baik pribadi maupun gereja ciut menghadapi tantangan atau badai. Ciutnya iman kita muncul dalam pelbagai diktum, antara lain: kami kaum minoritas atau minoritas ganda! Dengan label itu sangat mudah kita diombang-ambing oleh badai arus dunia. Kita cenderung menjadi orang atau umat pragmatis yang mengikut arus agar selamat dan tidak diganggu baik dalam usaha atau ibadah. Kita gambang menyetujui kebijakan-kebijakan yang sebenarnya bertentangan dengan norma kemanusiaan dan kehendak Tuhan. Kita takut perahu kita karam.
Di sinilah, di Indonesia yang terus berubah, kita ditempatkan Tuhan. Perahu kita berlayar di sini, maka jangan retak agar tidak tenggalam. Di sinilah iman kita diuji untuk menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik. Bisa jadi tidak apa yang kita lakukan sederhana, namun berdampak dalam kehidupan sosial. Anda ingin Indonesia lebih baik? Mulailah dari diri sendiri meski besar tantangan yang di hadapi, ingat Yesus Kristus, Anak Allah yang hidup itu ada bersama-sama dalam perahu kita!
Jakarta, 10 Agustus 2023 Minggu Biasa Tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar