Minggu, 25 Juni 2023

GEREJA BUKAN ORGANISME ALGORITMA

Mulai dari kasus kelaparan yang menelan jutaan jiwa di pelbagai negara, disusul wabah penyakit menular; epidemi-epidemi dahsyat yang melanda dunia dengan korban ratusan juta jiwa sampai teknologi mutakhir yang melahirkan kecerdasan buatan ( artificial intelligence : AI), Yuval Noah Harari dalam bukunya : Homo Deus menguraikan pergulatan manusia dalam peradabannya. Lalu apa dan bagaimana masa depan manusia?

Krisis, kelaparan, wabah penyakit, pergulatan pemikiran dan dinamika ekonomi, politik serta kebudayaan menjadi panggung peradaban yang menentukan sejarah planet kita. Meski di awal dengan gamblang, Harari memberi sub judul bukunya : Masa Depan Umat Manusia, namun nyatanya dalam kesimpulan uraian yang panjang lebar itu ia mengatakan bahwa manusia bukan lagi pusat ciptaan, manusia hanyalah sebuah riak dalam aliran data kosmis. “Kita benar-benar tidak bisa memprediksi masa depan karena teknologi bukan deterministik. Teknologi yang sama bisa menciptakan jenis masyarakat yang sangat berbeda. Misalnya, teknologi dari Revolusi Industri – kereta api, listrik, radio, telepon – bisa digunakan untuk mendirikan kediktatoran komunis, rezim fasis, atau demokrasi liberal. Perhatikan Korea Selatan dan Korea Utara : mereka memiliki akses yang benar-benar sama pada teknologi, tetapi mereka telah menggunakannya dengan cara yang sangat berbeda.” (Harari hlm. 455)

Sejalan dengan itu Harari menyentil AI dan bioteknologi. Meski setiap individu mempunyai peluang sama mengaksesnya namun sekali lagi tidak akan bermuara pada hasil tunggal yang deterministik. Ini sangat bergantung dari bagaimana orang menggunakannya. Harari mengingatkan kepada kita tentang permasalahan kehidupan besar:

  1. Sains sedang memusatkan diri pada satu dogma yang mencakup keseluruhan, yang menyatakan bahwa organisme adalah algoritma dan kehidupan dalam pemrosesan data.
  2. Kecerdasan sedang berpisah dari kesadaran.
  3. Algoritma non-kesadaran tetapi sangat pintar mungkin segera mengenal kita lebih baik ketimbang diri kita sendiri.

Dari tiga kesimpulan besar tantangan manusia saat ini, Harari mengajukan tiga pertanyaan:

  1. Apakah organisme memang benar-benar algoritma, dan kehidupan hanya benar-benar          pemerosesan data?
  2. Apa yang lebih berharga – kecerdasan atau kesadaran?
  3. Apa yang akan terjadi pada masyarakat, politik, dan kehidupan sehari-hari ketika algoritma-  algoritma non kesadaran tetapi sangat pintar mengenal kita ketimbang diri kita sendiri.

Apa yang menjadi pertanyaan atau tepatnya kekhawatiran Harari merupakan konteks kita sekarang, atau setidaknya kita – mau tidak mau – sedang menuju ke arah itu. Bukankah media-media sosial, dan e-commerce menegaskan hal itu? Anda membuka dan berminat pada produk tertentu, maka segeralah akan muncul produk-produk yang Anda cari itu, ada varian, harga, lokasi dan pelbagai review, mudahkan? Anda tinggal menentukan pilihan! Anda berteman dengan kelompok pendukung calon presiden “X”, segera algoritma akan mengelompokkan Anda dengan orang-orang yang punya minat sama! Begitu juga ketika Anda punya minat terhadap aliran dan kelompok Kristen tertentu, segera algoritma akan menyajikan apa yang Anda mau. Ia mengenal lebih baik dari diri Anda sendiri!

Digitalisasi yang terus berkembang denga AI-nya tidak mungkin terbendung masuk dalam ranah pelayanan gerejawi. Menolaknya, akan membuat gereja menjadi “kuno” bak museum. Lalu, menerimanya mentah-mentah akan menjadi organisme yang benar-benar algoritma. Algoritma dan AI memudahkan kita untuk segera mengenali berapa kali seorang anggota jemaat menghadiri acara-acara pelayanan gerejawi dalam seminggu, sebulan atau setahun. Kita akan tahu juga minat dan tema-tema pelayanan yang disukai oleh anggota-anggota jemaat kita.

Algoritma juga memudahkan kita memproyeksikan setiap kebutuhan jemaat. Bagi para pengkhotbah tidak perlu repot mencari dan menafsirkan materi-materi khotbah. AI dengan aplikasi chat GPT- nya menyediakan apa yang diperlukan. Tinggal sentuhan dan editorial sedikit saja. Perkembangan lebih mutakhir: kalau ke depan pekerjaan-pekerjaan tertentu sudah bisa diambil alih oleh robot dengan AI-nya yang mumpuni, tidak mustahil pekerjaan pengkhotbah atau pengkhotbah juga dapat digantikan dengan robot-robot cerdas. Umat tinggal pilih menu tema apa dan tafsiran yang bagaimana, serta aplikasinya dalam hidup sehari-hari!

Chatbot AI karya Open AI dapat memimpin jemaat di gereja St. Paul wilayah Kota Fuerth Bavaria, Jerman. Arstechnica mengabarkan bahwa ibadah tersebut meliputi doa dan musik ini merupakan gagasan dari Jonas Simmerlein, seorang teolog sekaligus filsuf dari Universitas Wina. Dalam laman berita Associated Press, dimuat berita kalau sosok buatan ChatGPT itu dihadirkan berbentuk empat avatar dengan persona yang berbeda; dua lelaki dan dua perempuan. Tidak hanya sampai di sini AI telah mampu menghadirkan Yesus virtual yang siap untuk diajak ngobrol, dimintai nasihat, pastoral dan sejenisnya. Yesus virtual selalu siap 24 jam sehari dan 7 hari seminggu! Apakah ini pertanda profesi pendeta dan sejenisnya akan segera tergantikan dengan teknologi cerdas yang dapat mengenali kita lebih baik dari diri kita sendiri?

Apakah organisme gereja memang benar-benar algoritma, dan kehidupan hanya benar-benar pemrosesan data? Jelas kita akan mengatakan, “tidak, tidak seperti itu!” Gereja adalah organisme yang dinamis, bukan sekedar algoritma atau bicara tentang pemrosesan data. Jemaat mula-mula dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 adalah contoh kehidupan organisme yang saling terkait, berelasi satu dengan yang lain. Kepedulian, rasa saling memiliki, sentuhan-sentuhan kasih lewat tutur kata dan tindakan-tindakan kebajikan adalah hal mustahil dilakukan dengan cara-cara algoritma. Sentuhan, kesadaran, kehadiran, adalah jauh lebih penting dari kecerdasan. Meski tentu saja kita tidak boleh menolak kecerdasan. Namun, apalah artinya kecerdasan tanpa sentuhan nilai-nilai otentik manusiawi.

Allah yang kita kenal di dalam Yesus Kristus, sejak awal penciptaan tidak menjadikan manusia seperti “robot dengan kecerdasan buatan” tetapi diberi ruang untuk kehendak bebas, berekspresi dan berelasi. Benar, gereja tidak boleh anti teknologi dan perkembangan zaman. Namun, gereja juga harus tetap setia merawat jati dirinya. Jati diri yang merangkul semua orang, terbuka ramah dan menyejukkan di mana setiap orang yang terlibat di dalamnya bukan diperlakukan seperti robot. Di sinilah kita perlu mengembangkan wawasan yang dapat menggunakan teknologi bukan dengan maksud menggantikan kehadiran dalam kesadaran otentik setiap pelayannya melainkan sebagai alat bantu. Ingat apa yang dikatakan Harari, teknologi itu tergantung siapa yang memakainya. Siapa yang memakainya menentukan akan dibawa ke mana sebuah komunitas itu.  

 

Jakarta, 25 Mei 2023

1S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar