Kamis, 04 Mei 2023

HIDUP SEBAGAI ANAK TUHAN

Gelisah! Tentu setiap orang tidak menginginkan ada dalam kondisi seperti ini. Sayangnya, setiap orang pernah merasakan. Ada banyak sebab yang membuat orang menjadi gelisah. Salah satunya menghadapi perpisahan. Kalau Anda masih mengingat masa kecil. Bayangkan ketika ditinggal ayah atau ibu pergi bekerja. Tidak nyaman, meski tidak ada bahaya yang terlihat tetap saja ada sesuatu yang mengancam. Gelisah!

 

Tertinggal sendiri tanpa ada yang menjadi pelindung, menyeramkan! Dalam kesadaran komunal pada zaman Yesus mengajar, pengalaman paling menyeramkan adalah merasa tertinggal di luar, tidak ada yang peduli. Dalam keadaan seperti ini orang merasa seperti berada di luar pintu gerbang kota yang terkunci rapat pada malam hari. Mengerikan, sebab sewaktu-waktu bisa menjadi mangsa empuk penjahat atau binatang buas. Dalam bayangan seperti inilah Injil Yohanes berbicara tentang tempat yang paling aman dan nyaman. Tempat itu adalah kediaman Bapa sendiri: Rumah Bapa! Tidak mungkin ada yang mengusik dan mengancam sebabYang Mahatinggi bertakhta.

 

Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal…” (Yohanes 14:2) Siapa saja boleh dan bisa menemukan ketentraman dan perlindungan di dekat Yang Mahakuasa. Oleh sebab itu tidak ada seorang pun yang merasa ditinggalkan, sendiri dan gelisah. “Banyak tempat tinggal”, sebuah jaminan, seberapa pun orang yang mau tinggal selalu akan ada tempat. Maka tidak usah berebut dan khawatir tidak kebagian tempat. Tempat yang disediakan Bapa tidak satu pun orang yang dapat membatasinya

 

Tempat itu tidak seperti tempat aman dan nyaman yang disediakan manusia yang selalu terbatas dan hanya tersedia bagi orang yang bisa membayar mahal. Maka tempat-tempat seperti itu akan menjadi rebutan. Takhta kekuasaan duniawi yang dipandang sebagai tempat impian selalu diperebutkan. Bahkan, orang berusaha menyingkirkan sesamanya agar hanya dirinya yang menguasai tempat itu. 

 

Yesus menyadari bahwa murid-murid-Nya akan gelisah ketika menghadapi perpisahan. Ia mengerti perasaan mereka sebab, Ia sendiri pernah mengalami kegelisahan itu. Yesus pernah gundah gulana ketika melihat Maria menangisi kematian Lazarus, saudaranya. Yesus pun gelisah ketika diperhadapkan dengan kematian-Nya yang sebentar lagi terjadi di kayu salib. Dengan berat hati Dia juga menyebut bahwa salah seorang dari murid-Nya akan menghianati-Nya. Apa itu gelisah, Yesus tahu betul!

 

Bagaimana mungkin orang yang beberapa kali mengalami kegelisahan dapat menasihati orang lain supaya jangan gelisah? Yesus bisa! Sebab, Ia sendiri tahu cara mengatasinya. Yesus menyatakan kepada para murid untuk tidak gelisah atas perpisahan dengan diri-Nya karena Ia berpisah untuk sementara. Yesus berpisah untuk menyiapkan tempat di rumah Bapa, dan bila nanti Ia sudah selesai, Ia akan kembali dan membawa murid-murid-Nya ke tempat yang aman tadi! Dan mereka  tidak akan lagi berpisah dengan-Nya. Murid-murid yang gelisah itu dikuatkan agar hati mereka mantap untuk melanjutkan misi Yesus di dunia ini. Misi menghadirkan Kerajaan Allah sehingga kelak sebanyak mungkin orang akan masuk ke dalam rumah Bapa yang aman itu!

 

Yesus tidak egois! Ia tidak begitu saja meninggalkan para murid. Diperhatikannya mereka, Ia dapat membayangkan sebagai “Gembala Yang Baik”, Ia juga berlaku sebagai “Pintu”, itulah tema khotbah minggu yang lalu. Sekarang ada kiasan lain: Ia memperkenalkan diri-Nya sebagai “Jalan”. Jalan ialah arah yang harus dilalui agar orang sampai pada tujuan. Mungkin kita merasa ada tumpang tindih dengan gagasan Yesus yang menyatakan diri-Nya sebagai “Pintu”.

 

Begini, kedua-duanya harus dilalui agar sampai ke tujuan. Pintu merupakan titik awal, titik berangkat. Setelah melewati pintu ada jalan yang perlu dilewati. Keluar dari pintu itu ada banyak bahaya. Namun, pada jalan yang benar ada jaminan untuk tiba di tujuan dengan selamat. Jalan yang sesungguhnya itu bukan barang yang berhenti, yang tinggal diam, namun jalan yang benar-benar bisa menghantar ke tujuan. Jalan itu adalah jalan yang hidup!

 

Dari apa yang dikatakan Yesus, kita menangkap tiga kiasan, yakni: “jalan”, “kebenaran”, dan “hidup”. Dalam diri Yesus ketiga ungkapan itu menjadi satu. Ketiga kiasan ini ditampilkan untuk menjawab Tomas yang mengeluh bahwa mereka tidak tahu ke mana Yesus akan pergi. Pada saat itu, murid-murid memang belum melihat dengan jelas arah yang sedang dijalani oleh Yesus. Bagaimana murid-murid bisa terus mengikut Yesus bila arah yang ditempuh Yesus belum jelas, itulah pertanyaan para pengikut Yesus bahkan sampai hari ini.

 

Dari arah yang belum terlihat jelas inilah Yesus memberi penjelasan gamblang bahwa diri-Nya adalah “jalan”, “kebenaran”, dan “hidup”. Ini mengandung ajakan bahwa siapa pun akan menyadari, tidak samar melainkan jelas ketika orang mau mengikuti-Nya. Mau berjalan di belakang-Nya. Berjalan mengikuti-Nya itu berarti melakukan juga seperti apa yang Yesus kerjakan. “Sesungguhnya barang siapa percaya kepada-Ku ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu…” (Yohanes 14:12).

 

Inilah arah yang dituju oleh Yesus, yaitu bahwa mereka percaya kepada-Nya. Mereka percaya bahwa Yesus akan pergi kepada Bapa-Nya, dan mereka tidak gelisah melainkan dalam pengharapan kedatangan-Nya kembali, mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh Yesus. Sama seperti Yesus yang diutus oleh Bapa untuk menampilkan wajah Bapa, yakni Firman Yang Menjadi Manusia; terlihat, terdengar, tersentuh dan seutuhnya mewujud menjadi manusia. Demikian pula para murid diminta untuk menghadirkan wajah dan hati Allah kepada manusia; menjadikan kehadiran Allah di dunia ini bukan semacam teori saja. Namun sungguh-sungguh nyata!

 

Pekerjaan-pekerjaan Allah itu tidak selalu harus diartikan dengan mukjizat-mukjizat besar. Pekerjaan-pekerjaan Allah itu dapat tampak dalam kebaikan hati, kasih, pengampunan dan pendamaian yang sederhana yang dapat memberikan hidup dan arah baru yang jelas, yakni kehidupan yang lebih baik. 

 

Kehadiran para murid dan tentunya kita yang percaya kepada Kristus menjadi orang-orang yang dapat menghadirkan ciri dan karakter Allah. Bukankah demikian konsekuensi sebutan “anak Tuhan”. Anak yang harus memiliki karakter dan sifat dari orang tuanya! Dalam kerangka inilah, kita mempunyai akses kepada Bapa di dalam nama Yesus meminta untuk melengkapi apa yang dibutuhkan sebagai anak-anak Tuhan. Pemahaman ini jangan diputar balik! Mentang-mentang anak Tuhan, lalu kita mengatakan “…dan apa pun juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak.”(Yohanes 14:13).

 

Adakah sebagai anak-anak Tuhan, kita meminta sesuatu di dalam nama Yesus yang akhirnya dapat memuliakan Bapa? Atau dengan sewenang-wenang kita meminta segala keinginan untuk memuaskan diri sendiri. Anak Tuhan yang sesungguhnya pasti akan meminta segala sesuatu itu bukan untuk pemuasan diri. Melainkan untuk melengkapi diri agar menjadi anak Tuhan yang baik. Hidup sebagai anak Tuhan akan dimulai berjalan di jalan Yesus Kristus, selanjutnya kita akan memperagakan hidup sebagaimana dicontohkan Yesus Kristus dalam kehidupan-Nya. 

 

Jakarta, 4 Mei 2023 Paskah Minggu ke-5 Tahun A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar