Pernah melihat anak kecil mendengar dongeng? Reaksi apa yang Anda lihat?
Antusias! Sayang sekali makin lama budaya mendongeng makin pudar. Banyak orang
tua menggantikan dongeng atau cerita dengan perangkat elektronik: telepon
genggang, tab dan sejenisnya. Jangan-jangan teknologi juga akan menggantikan
guru-guru Sekolah Minggu dalam bercerita menyampaikan Firman Tuhan. Alasannya
praktis dan lebih bisa mendramatisir, bisa muncul gambar atau video animasi,
musik yang mendukung narasi cerita dan seterusnya.
Betapa pun serunya teknologi tetap saja ada sesuatu yang kurang lengkap!
Ya, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Manusia membutuhkan
dialog, interaksi dan komunikasi timbal-balik. Benar, Tuhan memberikan dua mata
dan dua telinga sebagai jendela untuk menangkap imformasi dan data dari luar
dirinya. Namun, jangan lupa juga bahwa Tuhan memberikan sebuah mulut bukan saja
untuk makan, tetapi menyuarakan apa yang dirasa, apa yang menjadi gagasan dan
mimpi-mimpi dari setiap orang. Manusia adalah makhluk yang senang bercerita dan
mendengar cerita. Kita adalah makhluk yang suka curhat, yang tidak tahan
kalau ada sesuatu terus dipendam di dalam hati.
Sebuah cerita dibangun idealnya di atas realita atau kalau pun tidak
berdasarkan pada apa yang dicita-citakan. Dua orang murid Yesus melakukan
perjalanan dari Yerusalem ke Emaus. Penulis Injil Lukas mengatakan jarak yang
mereka tempuh kira-kira tujuh mil jauhnya, sebelas kilometer. Jarak yang bisa
ditempuh sekitar dua atau tiga jam dengan berjalan kaki. Apa yang dilakukan
orang ketika berjalan bersama? Berdiam dirikah dan sibuk dengan pikiran mereka
masing-masing? Mungkin saja kalau zaman sekarang orang tidak berinteraksi
dengan teman sperjalanan karena sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Dua murid
Yesus ini tidak demikian. Mereka bercakap-cakap, bertukar pikiran. Mereka
saling membagikan ceritanya!
Tampaknya, penulis Injil Lukas juga menginginkan pembaca tulisannya ikut
terlibat mendengar dan berinteraksi dalam perjalanan itu. Hal ini
ditunjukkannya ketika ia hanya menyebut salah satu saja nama murid yang
melakukan perjalanan itu. Murid tersebut bernama Kleopas. Apakah Luas tidak
tahu teman seperjalanan Kleopas itu? Baiklah kita memaknainya bahwa Lukas
memberi kesempatan kepada kita untuk menjadi teman seperjalanan Kleopas. Kita
diajak oleh Lukas menjadi murid yang tidak disebutkan namanya itu. Dengan
demikian kita bisa ngobrol bareng bertiga!
Cerita kita dengan Kleopas membahas tentang kekecewaan. Ya, kecewa! Yesus
yang kita dambakan sebagai sosok Mesias yang lebih jagoan dari Yudas Makabeus
itu nyatanya cemen! Ia mati, mati dengan mengubur mimpi-mimpi kita
tentang kejayaan Israel yang akan dipulihkan, tentang berakhirnya penindasan di
bawah kekuasaan Romawi. Nyatanya, semua itu hanya mimpi!
Dalam kekecewaan cerita atau narasi akan semakin membuncah mana kala kita
bertemu dengan orang yang mengalami kekecewaan. Cerita kecewa akan
menenggelamkan kita pada dukacita dan semakin menghilangkan pengharapan. Kita
dan Kleopas sama-sama memberi bahan bakar pada kematian. Cerita itu bukan
cerita kehidupan!
“Apa yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Ada suara asing
yang mereka dengar. Pertanyaan itu membuat mereka terhenyak dan menyadari bahwa
hingga kini mereka berjalan menuju cita-cita yang berakhir dengan kekecewaan,
ini tampak dari raut muka mereka yang semakin muram. Kleopas menginginkan Si Penanya
itu ikut masuk dalam suasana batinnya. Ikut dalam ceritanya! Maka tidak
mengherankan kalau segera ia balik bertanya, “Adakah Engkau satu-satunya
orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada
hari-hari belakangan ini?” Kini, Kleopas membawa seluruh Yerusalem untuk
mendukung cerita kekecewaannya. Seluruh Yerusalem memang telah gempar dengan
berita kematian Yesus yang memilukan. Seluruh Yerusalem tenggelam dalam cerita
kematian!
Kita yang diikutkan oleh Lukas sebagai teman dari Kleopas mungkin reaksi
kita berbeda, tapi bisa juga sama. Atau kita memilih diam dan bertanya-tanya
dalam hati: siapakah orang ini yang ikut nimbrung dalam perjalanan?
Pertanyaan dibalas dengan pertanyaan lagi. Sang Musafir yang ikut dalam obrolan
itu kembali bertanya. Dan kali ini, melalui pertanyaan-Nya, Ia membuka peluang
untuk Kleopas dan kita bercerita dan sudut pandang kita tentang Yesus dari
Nazaret itu.
Dengan cara ini, Lukas makin mengikutsertakan kesadaran pembacanya dalam
cerita mengenai siapa Yesus dari Nazaret itu. Kisah ini memperjumpakan kita
sebagai pembacanya dengan Yesus sendiri. Di sinilah kita diajak dan diberi
kesempatan oleh Sang Musafir itu untuk bercerita tentang diri-Nya. Apa
pandangan kita ketika mengalami kekecewaan, harapan yang tidak terpenuhi dan
hidup dirundung duka dan nestapa? Sangat mungkin kita bercerita bahwa Tuhan
Yesus itu sudah mati. Tidak ada lagi gunanya menaruh pengharapan kepada-Nya!
Percaya kepada-Nya hanya akan menambah penderitaan, tidak menyelesaikan
masalah. Pendek kata, cerita yang kita sampaikan adalah cerita kematian, bukan
cerita kehidupan!
“Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak
percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!” Sang Musafir itu
alih- alih mengaminkan cerita Kleopas dan kita, Ia membuat terhenyak! Kalimat
yang disampaikan Sang Musafir itu terdengar kasar dan mencela. Namun, dalam
cara ngobrol orang pada zaman itu, kalimat seperti ini dimaksudkan
sebagai ajakan untuk bersama-sama memikirkan kembali sebuah perkara dengan
obyektif sehingga menemukan sebuah solusi atau makna yang lebih berharga dari
narasi itu.
Kini, giliran Sang Musafir itu yang bercerita. Cerita-Nya merujuk pada
nubuat mengenai Mesias yang menderita. Benar, setiap kali Yesus memberitahu
tentang penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya, mereka tidak bisa memahami.
Pikiran mereka tidak dapat mencerna, mengapa Sang Mesias harus menderita dan
bahkan dibunuh untuk mencapai kemuliaan-Nya?
Antara Yerusalem dan Emaus ditampilkan sebagai cara Yesus menyampaikan
cerita kehidupan di tengah-tengah cerita pesimisme, kecewa dan kematian. Cara
Yesus membalik cerita kematian menuju cerita kehidupan sama unik dan menariknya
dengan peristiwa kebangkitan itu sendiri. Caranya sederhan, kedua murid itu
diminta mengingat-ingat kembali semua yang telah didengar tentang diri-Nya.
Tetapi kali ini mereka diajak membaca kembali pengalaman itu dengan pikiran
yang merdeka yang tidak dikungkung oleh agenda mereka sendiri, yakni: keinginan
politis untuk hidup dalam kejayaan. Kini, mereka diperhadapkan pada
sumber-sumber kekayaan iman sejati: “mulai dari kitab-kitab Musa dan segala
nabi-nabi.”
Sejak dari awal ketika kita dilibatkan dalam percakapan ini, kita pun
diajak agar bersedia berdialog dengan sabda Tuhan sendiri dan membiarkan diri
diperkaya oleh-Nya. Tugas kita hanya satu: enyahkan agenda tersembunyi, yakni:
pementingan dan pengutamaan diri sendiri. Apa dampaknya? Seperti disebutkan
nanti dalam Lukas 24:32, “mereka berkata satu kepada yang lain, ‘hati kita
berkobar-kobar’”. Api yang berkobar biasanya menunjuk pada api yang
menerangi dan memiliki daya memurnikan logam campuran. Jadi, pikiran (hati)
mereka yang tadinya gelap, kini terang menyala-nyala dan yang tadinya tidak
murni kiniu dimurnikan.
Selanjutnya, di Emaus “Ketika Ia memecah-mecahkan roti” barulah mata
mereka terbuka. Mereka dapat melihat bahwa yang bersama-sama mereka dalam
perjalanan itu adalah Yesus! Mereka menyadari bahwa orang itu adalah Dia yang
dalam Perjamuan Malam itu mengatakan tidak akan makan dan minum sampai Kerajaan
Allah benar-benar dating. Kini, mereka menyadari bahwa yang Ilahi bisa
benar-benar hadir di tengah-tengah manusia. Kisah kehidupan itu benar-benar
hadir di tengah narasi kematian!
Yesuslah cerita kehidupan itu! Mereka yang percaya bahwa Yesus telah
bangkit akan mempercayai kehadiran-Nya di dalam kehidupan mereka. Dan
kehadiran-Nya itulah yang memberi pengharapan baru dan wajah baru bagi
kemanusiaan. Yang diminta dari kita ialah meneruskan cerita kehidupan ini.
Meneruskan dengan cara membiarkan kehadiran-Nya di dalam diri kita sehingga
Kristus hidup di dalam diri kita, Kristus makin tampak jelas dan makin bisa
dirasakan orang banyak, semakin memberi pengharapan!
Jakarta, 20 April 2023, Paskah ke-3 Tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar