Kamis, 20 April 2023

BERBAGI CERITA KEHIDUPAN

Pernah melihat anak kecil mendengar dongeng? Reaksi apa yang Anda lihat? Antusias! Sayang sekali makin lama budaya mendongeng makin pudar. Banyak orang tua menggantikan dongeng atau cerita dengan perangkat elektronik: telepon genggang, tab dan sejenisnya. Jangan-jangan teknologi juga akan menggantikan guru-guru Sekolah Minggu dalam bercerita menyampaikan Firman Tuhan. Alasannya praktis dan lebih bisa mendramatisir, bisa muncul gambar atau video animasi, musik yang mendukung narasi cerita dan seterusnya.

Betapa pun serunya teknologi tetap saja ada sesuatu yang kurang lengkap! Ya, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Manusia membutuhkan dialog, interaksi dan komunikasi timbal-balik. Benar, Tuhan memberikan dua mata dan dua telinga sebagai jendela untuk menangkap imformasi dan data dari luar dirinya. Namun, jangan lupa juga bahwa Tuhan memberikan sebuah mulut bukan saja untuk makan, tetapi menyuarakan apa yang dirasa, apa yang menjadi gagasan dan mimpi-mimpi dari setiap orang. Manusia adalah makhluk yang senang bercerita dan mendengar cerita. Kita adalah makhluk yang suka curhat, yang tidak tahan kalau ada sesuatu terus dipendam di dalam hati.

Sebuah cerita dibangun idealnya di atas realita atau kalau pun tidak berdasarkan pada apa yang dicita-citakan. Dua orang murid Yesus melakukan perjalanan dari Yerusalem ke Emaus. Penulis Injil Lukas mengatakan jarak yang mereka tempuh kira-kira tujuh mil jauhnya, sebelas kilometer. Jarak yang bisa ditempuh sekitar dua atau tiga jam dengan berjalan kaki. Apa yang dilakukan orang ketika berjalan bersama? Berdiam dirikah dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing? Mungkin saja kalau zaman sekarang orang tidak berinteraksi dengan teman sperjalanan karena sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Dua murid Yesus ini tidak demikian. Mereka bercakap-cakap, bertukar pikiran. Mereka saling membagikan ceritanya!

Tampaknya, penulis Injil Lukas juga menginginkan pembaca tulisannya ikut terlibat mendengar dan berinteraksi dalam perjalanan itu. Hal ini ditunjukkannya ketika ia hanya menyebut salah satu saja nama murid yang melakukan perjalanan itu. Murid tersebut bernama Kleopas. Apakah Luas tidak tahu teman seperjalanan Kleopas itu? Baiklah kita memaknainya bahwa Lukas memberi kesempatan kepada kita untuk menjadi teman seperjalanan Kleopas. Kita diajak oleh Lukas menjadi murid yang tidak disebutkan namanya itu. Dengan demikian kita bisa ngobrol bareng bertiga!

Cerita kita dengan Kleopas membahas tentang kekecewaan. Ya, kecewa! Yesus yang kita dambakan sebagai sosok Mesias yang lebih jagoan dari Yudas Makabeus itu nyatanya cemen! Ia mati, mati dengan mengubur mimpi-mimpi kita tentang kejayaan Israel yang akan dipulihkan, tentang berakhirnya penindasan di bawah kekuasaan Romawi. Nyatanya, semua itu hanya mimpi!

Dalam kekecewaan cerita atau narasi akan semakin membuncah mana kala kita bertemu dengan orang yang mengalami kekecewaan. Cerita kecewa akan menenggelamkan kita pada dukacita dan semakin menghilangkan pengharapan. Kita dan Kleopas sama-sama memberi bahan bakar pada kematian. Cerita itu bukan cerita kehidupan!

Apa yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Ada suara asing yang mereka dengar. Pertanyaan itu membuat mereka terhenyak dan menyadari bahwa hingga kini mereka berjalan menuju cita-cita yang berakhir dengan kekecewaan, ini tampak dari raut muka mereka yang semakin muram. Kleopas menginginkan Si Penanya itu ikut masuk dalam suasana batinnya. Ikut dalam ceritanya! Maka tidak mengherankan kalau segera ia balik bertanya, “Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?” Kini, Kleopas membawa seluruh Yerusalem untuk mendukung cerita kekecewaannya. Seluruh Yerusalem memang telah gempar dengan berita kematian Yesus yang memilukan. Seluruh Yerusalem tenggelam dalam cerita kematian!

Kita yang diikutkan oleh Lukas sebagai teman dari Kleopas mungkin reaksi kita berbeda, tapi bisa juga sama. Atau kita memilih diam dan bertanya-tanya dalam hati: siapakah orang ini yang ikut nimbrung dalam perjalanan? Pertanyaan dibalas dengan pertanyaan lagi. Sang Musafir yang ikut dalam obrolan itu kembali bertanya. Dan kali ini, melalui pertanyaan-Nya, Ia membuka peluang untuk Kleopas dan kita bercerita dan sudut pandang kita tentang Yesus dari Nazaret itu.

Dengan cara ini, Lukas makin mengikutsertakan kesadaran pembacanya dalam cerita mengenai siapa Yesus dari Nazaret itu. Kisah ini memperjumpakan kita sebagai pembacanya dengan Yesus sendiri. Di sinilah kita diajak dan diberi kesempatan oleh Sang Musafir itu untuk bercerita tentang diri-Nya. Apa pandangan kita ketika mengalami kekecewaan, harapan yang tidak terpenuhi dan hidup dirundung duka dan nestapa? Sangat mungkin kita bercerita bahwa Tuhan Yesus itu sudah mati. Tidak ada lagi gunanya menaruh pengharapan kepada-Nya! Percaya kepada-Nya hanya akan menambah penderitaan, tidak menyelesaikan masalah. Pendek kata, cerita yang kita sampaikan adalah cerita kematian, bukan cerita kehidupan!

Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!” Sang Musafir itu alih- alih mengaminkan cerita Kleopas dan kita, Ia membuat terhenyak! Kalimat yang disampaikan Sang Musafir itu terdengar kasar dan mencela. Namun, dalam cara ngobrol orang pada zaman itu, kalimat seperti ini dimaksudkan sebagai ajakan untuk bersama-sama memikirkan kembali sebuah perkara dengan obyektif sehingga menemukan sebuah solusi atau makna yang lebih berharga dari narasi itu.

Kini, giliran Sang Musafir itu yang bercerita. Cerita-Nya merujuk pada nubuat mengenai Mesias yang menderita. Benar, setiap kali Yesus memberitahu tentang penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya, mereka tidak bisa memahami. Pikiran mereka tidak dapat mencerna, mengapa Sang Mesias harus menderita dan bahkan dibunuh untuk mencapai kemuliaan-Nya?

Antara Yerusalem dan Emaus ditampilkan sebagai cara Yesus menyampaikan cerita kehidupan di tengah-tengah cerita pesimisme, kecewa dan kematian. Cara Yesus membalik cerita kematian menuju cerita kehidupan sama unik dan menariknya dengan peristiwa kebangkitan itu sendiri. Caranya sederhan, kedua murid itu diminta mengingat-ingat kembali semua yang telah didengar tentang diri-Nya. Tetapi kali ini mereka diajak membaca kembali pengalaman itu dengan pikiran yang merdeka yang tidak dikungkung oleh agenda mereka sendiri, yakni: keinginan politis untuk hidup dalam kejayaan. Kini, mereka diperhadapkan pada sumber-sumber kekayaan iman sejati: “mulai dari kitab-kitab Musa dan segala nabi-nabi.”

Sejak dari awal ketika kita dilibatkan dalam percakapan ini, kita pun diajak agar bersedia berdialog dengan sabda Tuhan sendiri dan membiarkan diri diperkaya oleh-Nya. Tugas kita hanya satu: enyahkan agenda tersembunyi, yakni: pementingan dan pengutamaan diri sendiri. Apa dampaknya? Seperti disebutkan nanti dalam Lukas 24:32, “mereka berkata satu kepada yang lain, ‘hati kita berkobar-kobar’”. Api yang berkobar biasanya menunjuk pada api yang menerangi dan memiliki daya memurnikan logam campuran. Jadi, pikiran (hati) mereka yang tadinya gelap, kini terang menyala-nyala dan yang tadinya tidak murni kiniu dimurnikan.

Selanjutnya, di Emaus “Ketika Ia memecah-mecahkan roti” barulah mata mereka terbuka. Mereka dapat melihat bahwa yang bersama-sama mereka dalam perjalanan itu adalah Yesus! Mereka menyadari bahwa orang itu adalah Dia yang dalam Perjamuan Malam itu mengatakan tidak akan makan dan minum sampai Kerajaan Allah benar-benar dating. Kini, mereka menyadari bahwa yang Ilahi bisa benar-benar hadir di tengah-tengah manusia. Kisah kehidupan itu benar-benar hadir di tengah narasi kematian!

Yesuslah cerita kehidupan itu! Mereka yang percaya bahwa Yesus telah bangkit akan mempercayai kehadiran-Nya di dalam kehidupan mereka. Dan kehadiran-Nya itulah yang memberi pengharapan baru dan wajah baru bagi kemanusiaan. Yang diminta dari kita ialah meneruskan cerita kehidupan ini. Meneruskan dengan cara membiarkan kehadiran-Nya di dalam diri kita sehingga Kristus hidup di dalam diri kita, Kristus makin tampak jelas dan makin bisa dirasakan orang banyak, semakin memberi pengharapan!

 

Jakarta, 20 April 2023, Paskah ke-3 Tahun A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar