Seberapa sering Anda memilih sebuah tindakan. Misal, ketika Anda diperhadapkan pada orang yang meminta bantuan? Seberapa sering menyanggupi, lalu Anda merasa menyesal karena ternyata dengan membantunya ada banyak pengorbanan yang harus Anda keluarkan? Seberapa sering pula Anda mengabaikan, menolak untuk memberi bantuan, setelah itu Anda menyesal karena sebenarnya Anda bisa menolongnya? Anda menyesal karena orang yang seharusnya bisa ditolong itu, sekarang hidupnya semakin menderita!
Dari pilihan sederhana, sampai dengan pilihan rumit tentu ada konsekuensi dan risiko. Sejak semula Tuhan menciptakan manusia bukan seperti robot yang sudah diprogram; mengerjakan ini dan itu sesuai dengan apa yang dirancangkan semula. Tidak demikian! Manusia diberi kebebasan untuk memilih. Akal budi dan nurani menjadi alat untuk manusia menetapkan pilihan.
Kala itu, selangkah lagi umat Allah menginjakkan kaki mereka ke negeri perjanjian, Musa mengumpulkan mereka. Di tanah Moab, seluruh orang Israel dikumpulkan. Mulailah Musa bercerita, mengulang kembali perjalanan mereka sejak dari Mesir sampai di tanah itu. Nyatalah kepada mereka bahwa Allahlah yang menolong perjalanan selama empat puluh tahun itu. Kini, sebelum mereka menginjak tanah perjanjian itu, umat diperhadapkan kepada sebuah pilihan: hidup atau mati!
“Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan.” (Ulangan 30:15). Benar, Allah menghendaki manusia mengalami kehidupan, keberuntungan bukan kematian dan kecelakaan. Namun, manusia harus memilih, tidak bisa tinggal diam menerima saja takdirnya!
Tentu saja, setiap orang akan memilih kehidupan dan keberuntungan. Rasanya tidak ada seorang pun di antara kita yang mau celaka dan mati. Namun, sadarkah kita bahwa yang kita pilih selalu ada konsekuensi dan risiko? Memilih kehidupan dan keberuntungan itu berarti bahwa kita harus taat dan setia. Kita harus menggunakan kesempatan hidup sekarang ini untuk mengasihi TUHAN, Allah kita, hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya kepada kita dan berpegang teguh pada perintah serta ketetapan dan peraturan-Nya. Jelas, ini tidak mudah. Sebab, faktor penggoda akan selalu ada dan kelihatannya lebih menarik sehingga sangat mudah bagi seseorang yang semula punya komitmen kemudian berpaling, tidak lagi mau mendengar suara Tuhan, ikut arus, dan memuja dunia dengan segala kesenangannya. Ujungnya: celaka dan kematian!
Memilih jalan kehidupan bukanlah sekedar menuruti dan memegang hukum-hukum Tuhan secara harfiah seperti yang selama ini sudah menjadi ajaran baku para Farisi dan ahli-ahli Taurat. Dengan wibawa yang melebihi kharisma guru-guru Yahudi dan bahkan kharisma Musa sekalipun, Yesus Sang Mesias, Anak Allah yang dikandung dari Roh Kudus menghadapkan ajaran hukum para ahli Taurat dengan ajaran-Nya sendiri.
Apakah Yesus sedang mengajarkan Taurat baru? Tidak! Sejak semula Yesus telah mengatakan bahwa kedatangan-Nya tidak hendak meniadakan hukum Taurat. Sebelum akhir zaman, perintah sekecil apa pun dari hukum Taurat tidak akan dibatalkan, setiap perintah itu harus dilakukan dan diajarkan. Hal itu bahkan menjadi kriteria atau ranking orang dalam Kerajaan Allah. Kali ini orang mendengarnya berbeda. Ya, berbeda bukan karena Yesus membawa Taurat yang baru, tetapi Ia menunjukkan cara berpikir dan melaksanakan hukum itu yang lebih sempurna. Murid-murid dan nantinya semua pengikut Yesus harus melakukan kehendak Allah melebihi cara ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi melakukannya.
Apa yang salah dari ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi? Mereka rajin mempelajari Taurat, bahkan menjadi pakar tetapi entah kenapa tidak melakukannya (Matius 23:3) atau melakukannya juga tetapi dengan sikap dan cara yang salah; utamanya bukan kecintaan terhadap Allah, melainkan agar dilihat orang! Interpretasi mereka yang lahiriah atau legalistik tentang Taurat tidak sesuai dengan maksud Allah yang sesungguhnya, maka tidak membawa orang masuk dalam kehidupan dan keberuntungan: Kerajaan Allah!
Sekali lagi, Yesus tidak membatalkan Taurat bagi kita. Sebaliknya, hukum itu harus tetap dipelajari dan dilaksanakan akan tetapi bukan dengan pola pikir dan cara ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi melakukannya. Bagi Yesus, hukum Taurat bermaksud lebih dari sekedar mencegah pembunuhan, perzinahan, atau sumpah dusta. Bukan itu! Melainkan cinta terhadap Allah melalui tindakan dan perlakuan terhadap sesama manusia.
Di dalam beberapa larangan mendasar tersebut, Yesus menemukan maksud Allah yang sebenarnya yang hanya akan terwujud apabila para pengikut-Nya melakukan hukum itu dari dalam hati mereka, dari hati yang mengasihi Allah dengan sepenuhnya. Dengan hati yang tetap marah, kotor dan dusta tidak mungkin menghindarkan mereka dari tindakan kekerasan fisik, kekerasan seksual, serta praktik-praktik curang. Jika hati umat manusia tidak dibenahi maka mustahil akan menciptakan sebuah tatanan umat Allah yang menghadirkan Kerajaan Allah yang penuh cinta kasih dan kedamaian!
Pemberlakuan hukum secara lahiriah dan legalistik bisa saja terlihat di permukaan baik dan saleh. Bisa saja orang secara fisik tidak membunuh, namun manakala kebencian, kemarahan dan dendam terselubung di dalam hati, akan muncul sikap dan perilaku yang membenci, melampiaskan kemarahan dan dendam yang akhirnya mematikan orang lain. Larangan membunuh akan terlaksana bila hukum itu dilakukan dengan maksimal, yaitu: mengubah hati yang benci, marah dan dendam dengan cinta kasih dan mau memahami orang lain. Kalau orang di dalam hatinya penuh cinta kasih dan kedamaian, tidak mungkin ada pembunuhan!
Bisa saja dalam praktiknya orang tidak berzina, menutupi dengan pakaian sedemikian tertutup. Namun, manakala hati dan pikiran kotor, perzinahan akan selalu menemukan caranya. Berzina dalam konteks zaman itu berarti bersenggama dengan pasangan orang lain. Bertolak dari hukum kesembilan ini, Yesus mengatakan bahwa jika seorang lelaki memandang perempuan mana pun yang bukan istrinya dan ingin berseranjang dengannya, ia sudah berzina dalam hatinya sebab hal ini merupakan sebuah pelecehan terhadap perempuan itu. Pelecehan karena memandang figur perempuan bukan sebagai sesama ciptaan Tuhan yang harus dihargai alih-alih pelampiasan hawa nafsu! Ini bukan saja terhadap kaum lelaki. Kaum perempuan pun jika memandang lawan jenisnya sebagai obyek pelampiasan nafsunya maka ia pun berzina. Selama manusia hati dan pikirannya dikuasai hawa nafsu, maka tetap saja walaupun ditutup-tutupi akan memandang sesamanya sebagai pemuas nafsu. Berzina!
Bisa saja seseorang berkata manis di mulut, tetapi jika hati masih penuh dengan egoisme dan kecurangan maka yang terjadi praktik sumpah dusta, kecurangan dan suap akan tetap ada! Yesus mengarahkan pengikut-Nya untuk membereskan hati nurani, maka “Jika ya, hendaklah kamu katakan: Ya, jika tidak hendaklah kamu katakan: Tidak. Apa yang lebih dari itu berasal dari si jahat.” (Matius 5:37). Jika manusia sudah pada level ini, maka kebohongan tidak akan ada lagi!
Yesus tidak menghadirkan Taurat yang baru, tetapi Ia mengajarkan bagaimana memberlakukan Taurat itu dengan benar. Pemberlakuan itu dimulai dari “dalam” bukan sekedar tampak luar. Perubahan dari hati nurani dan pikiran akan membuahkan perubahan yang sesungguhnya.
Kita hanya bisa mewujudkan perubahan yang bermuara pada kehidupan dan keberuntungan itu dengan melakukan apa yang diajarkan Yesus. Mulailah membereskan hati nurani dan pikiran kita, mintalah Roh Kudus menolong kita karena Dialah yang sungguh menembus sampai ke kedalaman hati kita. Berusahalah berlatih dengan tindakan-tindakan sederhana. Biasakanlah setiap hari, dan lihatlah perubahan akan terjadi. Anda akan disebut orang yang memiliki hidup. Anda beruntung!
Jakarta, 9 Februari 2023. Minggu biasa, tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar