“Tidak ada hal dalam hidup ini yang lebih penting daripada apa yang sedang Anda pikirkan,” demikian kata Daniel Kahneman, seorang psikolog Amerika Serikat peraih Nobel ekonomi tahun 2002 bersama rekannya Amos Tversky. Semakin sempit kita memusatkan perhatian pada suatu aspek dalam hidup kita, semakin satu aspek itu terlihat besar dan penting. Umpamanya, kita memikirkan mempunyai rumah. Maka perhatian kita akan tercurah pada pentingnya punya rumah. Kita akan sibuk mencari uang, menabungnya dan menyisihkan yang lain. Rumah menjadi fokus utama sehingga kebutuhan yang lain tidaklah penting.
Petrus memusatkan pikiran dan perhatiannya terhadap Yesus pada aspek kemesiasan-Nya. Sang Mesias bagi diri-Nya adalah sosok manusia yang dapat mengembalikan kedigdayaan Israel. Pemulihan umat Allah itu akan dimulai dengan menumbangkan kekuasaan duniawi yang menindas umat Allah. Petrus fokus pada kuasa dan mukjizat-mukjizat yang dilakukan oleh Yesus. Yesus baginya bukan manusia sembarangan. Bukan manusia lemah yang mengalah pada nasib.
Setelah Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah, ia menutup telinga bagi nubuat Yesus yang harus menderita, mati dan dibangkitkan. Bukankah sering kali kita seperti Petrus, fokus perhatian kita kepada Yesus merupakan cerminan keinginan kita dan idealisme yang kita pikirkan. Kita hanya mau Yesus seperti yang kita pikirkan dan yang kita inginkan!
Dalam suatu pernyataan di atas gunung enam hari setelah pengakuan Petrus itu, ia menerima konfirmasi benar bahwa Yesus adalah Anak Allah, tetapi Anak Allah yang bukan dipikirkan dan diinginkan oleh Petrus. Untuk itu konfirmasinya disertai dengan perintah untuk mendengarkan Dia. Mendengarkan artinya membuka bukan hanya telinga, melainkan hati dan pikiran. Mendengarkan artinya bersedia mengubah apa yang menjadi fokus pikiran dan keinginan. Mendengarkan berarti taat dan setia untuk mengerjakan apa yang didengarnya itu.
Enam hari setelah pengakuan Petrus itu, sekelompok kecil, kelompok inti murid Yesus pergi mendaki gunung. Tidak disebutkan gunung apa. Kini, Yesus bersama Petrus, Yakobus dan Yohanes berada di puncak gunung itu. Di puncak itu, ketiga murid ini takjub dengan pemandangan yang ada di depan mata mereka. Bukan pemandangan sunrise atau sunset. Ini lebih memesona dan menakjubkan. Yesus tiba-tiba berubah rupa. Wajahnya bercahaya kemilau seperti matahari, dan pakaiannya menjadi putih terang benderang. Transfigurasi!
Wajah Yesus bercahaya seperti matahari. Gambaran ini mengingatkan kita akan Musa yang wajahnya bercahaya setelah ia berbicara dengan Allah (Keluaran 34:29-30). Cahaya kemuliaan Allah itu kini bersinar pada wajah Yesus. Wajah yang bercahaya bersama pakaian putih yang menunjuk pada tokoh surgawi dalam tanda-tanda sebelumnya; dan akan tampak lagi ketika Ia dibangkitkan (Wahyu 1:16). Inilah tubuh kemuliaan yang sepenuhnya nanti akan terjadi setelah Yesus mengalami penderitaan dan mati. Ketiga murid itu seolah diyakinkan bahwa demikianlah tubuh kemuliaan itu setelah Yesus menuntaskan apa yang dikehendaki Bapa.
Kemuliaan di puncak gunung itu semakin menjadi lengkap dengan hadirnya dua tokoh yang sangat dihormati oleh umat Israel: Musa dan Elia. Mereka bercakap-cakap dengan Yesus. Musa dan Elia mewakili kesaksian hukum Taurat dan para nabi. Musa telah bernubuat bahwa Allah akan membangkitkan seorang yang seperti dia, seorang nabi yang harus didengarkan! (Ulangan 18:15, 18). Nubuat itu kini digenapi dalam diri Yesus. Seolah Musa mau menunjukkan: inilah yang kumaksudkan dahulu ketika aku mengatakan bahwa akan ada seorang yang seperti aku hadir di tengah-tengah kamu, maka seperti leluhur kalian mendengarkan aku, sekarang dengarkanlah dia!
Elia adalah seorang nabi yang tidak mati. Ia telah naik ke surga (2 Raja-raja 2:11). Umat Israel sangat menanti-nantikan kedatangannya kembali menjelang hari Tuhan (Maleakhi 4:5). Dalam Injil Matius figur yang mewakili Elia itu sudah datang dalam diri Yohanes Pembaptis yang mempersiapkan jalan bagi Sang Mesias.
Lagi-lagi Petrus tetap fokus pada apa yang dipikirkan dan diingininya. Ia bukannya menyiapkan telinga melainkan berusaha mewujudkan yang dipikirkannya itu. Ia berniat mendirikan tenda untuk menikmati lebih lama lagi kemuliaan Yesus bersama dua tokoh Perjanjian Lama itu.
Petrus yang ingin melestarikan kebahagiaan di atas gunung itu mewakili jemaat pembaca Injil Yohanes yang ingin terus menikmati pengalaman yang menyenangkan bersama Tuhan. Petrus menyangka bahwa sekarang apa yang dipikirkan dan diingininya itu sedang benar-benar terjadi. Yesus tampil dalam kemuliaan yang dahsyat bersama dua tokoh yang sangat berpengaruh: Musa dan Elia! Inilah kesempatan yang baik bahkan terbaik yang tidak boleh segera berlalu. Tenda merupakan sarana untuk menahan kemuliaan itu hadir bersama-sama mereka. Bukankah demikian yang terjadi ketika apa yang kita pikirkan dan yang kita ingini itu ada di depan kita? Kita tidak ingin melepaskannya, ia harus tetap berada dalam pelukan dan jangkauan kita. Bahkan, ia harus dapat kita kendalikan!
Di tengah-tengah fokus pikiran dan keinginan sendiri itu, suara dari langit membuyarkan fokus Petrus dan kedua temannya itu. “Inilah Anak-Ku yang terkasih, kapada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia!” (Matius 17:5). Ini jelas teguran untuk ketiga murid itu, juga termasuk kita. Seolah suara itu memecah konsentrasi dan fokus pada diri sendiri. “Dengarkanlah Dia!” Perkataan yang harus didengarkan para murid mencakup keseluruhan apa yang diajarkan oleh Yesus tentang Kerajaan dan Kehendak Allah, khususnya dalam konteks yang sebentar lagi akan dijalani oleh Yesus: Penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya, yang tadi tidak mau didengar oleh Petrus.
Petrus, Yakobus dan Yohanes sangat ketakutan. Ketakutan itu bisa berasal dari kedahsyatan peristiwa transfigurasi itu. Namun, kemungkinan lain adalah mereka tersentak dengan apa yang selama ini menjadi fokus perhatian dan keinginan mereka. Mereka seolah disadarkan kembali untuk berhenti memanjakan keinginan yang dengan itu menjadi fokus apa yang dinginkan dan dikejar. Saya kira, Tuhan pun akan menyentak kita untuk menyadarkan kesalahan fokus dalam mengikut Yesus. Jelas, Allah tidak mau kita asyik dengan ambisi diri sendiri dengan memakai Tuhan sebagai alat untuk menggapainya. Masalahnya, apakah kita menyadari suara Allah itu, apakah kita mau mendengarkan Dia?
Yesus menginginkan Petrus, Yakobus dan Yohanes fokus untuk mendengarkan Dia dengan utuh. Maka, Yesus melarang menceritakan peristiwa itu kepada siapa pun sebelum Anak Manusia itu dibangkitkan dari antara orang mati. Mengapa Yesus melarang? Bukankah justru peristiwa kemuliaan itu harus diwartakan? Ya, Yesus melarang oleh karena Ia ingin para murid itu fokus pada apa yang dikatakan dan diajarkan. Para murid harus belajar mendengar! Yesus ingin para murid itu melihat dengan utuh apa yang sudah dikatakan-Nya. Tidak sepenggal-sepenggal sesuai dengan maunya sendiri. Yesus ingin mereka melihat dan mengalami peristiwa kebangkitan itu lalu menyaksikan tubuh kebangkitan yang sama mulianya seperti kemuliaan yang mereka lihat di atas gunung itu!
Tentu saja Yesus juga ingin kita mendengarkan-Nya. Bukannya fokus pada keinginan dan ambisi kita sendiri. Yesus ingin kita memahami perkataan, ajaran dan apa yang diperbuat-Nya dengan utuh. Yesus tidak ingin kita mencomot bagian-bagian tertentu saja yang dapat menyenangkan hati kita. Mendengarkan berarti memberi diri untuk menyimak, membuka hati dan siap memperbaiki fokus dan tujuan yang keliru dalam diri kita. Percayalah, dengan berlaku demikian kita akan mengerti dengan utuh apa yang dilakukan oleh Yesus untuk kita, untuk semua orang berdosa dan untuk dunia ini!
Jakarta, 15 Februari 2023, Minggu Transfigurasi Tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar