Kamis, 02 Februari 2023

HIDUP YANG BERDAMPAK

Jika mau jujur, apa yang kita katakan, apa yang kita pilih dan, apa yang kita perbuat sebagian besar mengikuti dan terpengaruh oleh pendapat orang lain. Memilih pasangan, Gue diomongin orang gak ya kalau pacaran sama si doi? Cinta sih, tapi dia lusuh gitu, gue jadi keliatan sobat miskin. Memilih kuliah, Gue mau kuliah sesuai dengan minat gue, tapi kalau gue masuk jurusan itu, gue dikatain bego sama temen-temen gue.Memilih pekerjaan, Gue sebenarnya gak cocok dengan pekerjaan di perusahaan sekarang, tapi perusahaan itu keren banget di mata orang-orang, jadi gue bertahan demi gengsi. Begitulah ungkap Henry Manampiring dalam bukunya Filosofi Teras.

 

Ternyata pengaruh orang lain tidak hanya berdampak pada pilihan dan keputusan besar saja. Pada hal-hal sepele pun tanpa kita sadari tidak bebas dari pengaruh orang lain. Lihat saja kehadiran media sosial dan dampaknya dalam kehidupan pribadi dan sosial masyarakat. Dahsyat! Minimnya literasi digital dan keengganan membaca dan menelusuri dari pelbagai sumber terpercaya menjadikan masyarakat lahan sumbur untuk dihasut dan arahkan pada tujuan-tujuan tertentu dari si pembuat konten. Masyarakat jadi mudah curiga, gampang diadu domba dan tentu saja menciptakan konflik yang ujungnya menguntungkan pihak-pihak tertentu.

 

Coba jujur, kita pun sering terpengaruh dan terseret dalam arus berita hoax. Berapa kali kita mengunggah konten di media sosial dengan tujuan berharap like, views, komen, dan menambah jumlah follower? Berapa kali kita juga meneruskan berita-berita “wah” yang sebenarnya belum tentu sesuai dengan fakta? Benar, konten-konten yang kita teruskan itu bukan kita yang membuat, tetapi dengan meneruskannya berarti kita menyetujui, mengiyakan dan mewakili suara hati dan emosi kita!

 

Sebagai makhluk sosial, kita tidak lepas dari interaksi dan relasi. Saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Hidup kita punya dampak terhadap orang lain. Bahkan dengan dukungan teknologi, dampak yang ditimbulkan itu bukan sekedar orang-orang terdekat: rumah, tetangga, lingkungan pekerjaan. Sekarang dampak itu semakin luas, seantero dunia! Lalu, dampak seperti apa yang kita sebarkan?

 

Hidup yang berdampak itu hanya ada dua pilihan: dampak positif atau negatif. Kehidupan yang menginspirasi orang lain untuk bangkit dari keterpurukkan, mengembangkan talenta, dan tentu saja bermuara kepada kebahagiaan sejati. Atau, dampak negatif, yang menebarkan kekhawatiran, hasutan yang menumbuhkan kebencian, fitnah yang menyuburkan benih-benih konflik?

 

Setelah diundang untuk hidup bahagia, kini Yesus memberi dua kiasan kepada para pendengar di bukit itu. Mereka disebut “garam” dan “terang” dunia. Makna kiasan ini mengingatkan mereka bahwa bahagia yang sudah mereka terima, bukan untuk diri mereka sendiri. Mereka harus meneruskannya, kehidupan mereka harus punya dampak. Dampak itu bukan dampak negatif, melainkan dampak positif. Kehidupan para murid Yesus harus punya pengaruh yang baik di tengah-tengah dunia yang tidak sedang baik-baik saja!

 

“Kamu adalah garam dunia…”

Yesus sedang berbicara tentang garam. Garam dalam konteks zaman itu hanya dikenal dari fungsinya untuk mengolah makanan. Pertama, supaya makanan punya cita rasa, tidak tawar. Lalu, makanan tidak mudah basi karena garam punya fungsi sebagai pengawet. Seperti fungsi garam itulah para murid Yesus. Mereka dipanggil dan diutus untuk suatu pelayanan yang dapat meningkatkan mutu kehidupan di bumi ini. Apa yang disampaikan Yesus melalui metafor garam ini mengingatkan para pendengar-Nya agar punya kualitas kebaikan yang lebih unggul. Ingat, makanan yang tanpa garam masih bisa dimakan, tetapi dengan garam secukupnya akan menambah nikmat. Kebaikan yang sudah ada, harus diberi makna dan ditingkatkan lagi kualitasnya, ini tergambar nantinya ketika Yesus memberikan pengajaran-Nya: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.” (Matius 5:20).

 

Kamu adalah terang dunia…”

Murid-murid Yesus juga disebut “terang dunia”. Ini mengingatkan kita akan Hamba Tuhan yang menjadi terang untuk bangsa-bangsa (Yesaya 42:6, 49:6). Apakah pernyataan Yesus ini erat kaitannya dengan apa yang nantinya Ia katakan, bahwa para murid harus pergi ke segala bangsa (Matius 28:19)? Kiasan “kota di atas gunung” yang mencerminkan situasi Palestina dengan kota-kotanya di atas puncak bukit-bukit, tidak memberi kesan bahwa mereka harus pergi ke segala peloksok dunia, tetapi menggambarkan sebuah jemaat yang mempunyai daya Tarik bagi seluruh dunia. Apakah gereja masa kini, memancarkan terang dalam arti mempunyai daya tarik sehingga banyak menarik orang datang kepadanya? Ataukah hidup Anda punya daya tarik, menampilkan kualitas manusia baru yang memberi cita rasa kemanusiaan lebih berkualitas sehingga orang mau mendengar, mau menjadikan Anda inspirasi bagi kehidupannya dan akhirnya menjadikan hidup Anda berdampak?

 

Terang Injil itu harus tampak dari perbuatan-perbuatan baik – setelah ini Yesus akan menguraikan kesalehan-kesalehan yang harus melekat pada “garam” dan “terang dunia”. “…δια να ιδωσι τα καλα σας εργα…”perbuatan-perbuatan baik itu menjadi penyedap dan terang, dengan perbuatan-perbuatan itu, mereka tidak perlu mencari puji-pujian bagi diri mereka sendiri sebagaimana diingatkan Yesus ketika mengajarkan tentang bersedekah, berdoa dan berpuasa. Terang yang ada pada mereka bukanlah milik dan berasal dari mereka sendiri. Garam dan Terang itu berasal dari Bapa melalui Yesus Kristus, maka segala pujian harusnya dikembalikan kepada Bapa.

 

Ajaran Yesus ini mestinya mendorong misi gereja di tengah-tengah dunia. Gereja dan seluruh orang Kristen hendaknya berbuat bagi seluruh umat manusia seperti apa yang dibuat oleh garam bagi makanan, terang bagi kegelapan: menjadikan sedap, berkualitas, awet. Di tengah dunia yang penuh dengan kekelaman, umat Allah menjadi terang yang mengusir kegelapan. Menjadi titik terang yang membantu umat manusia untuk menemukan dan berjumpa dengan Allah yang siap merangkul mereka dengan cinta-Nya.

 

Orang percaya menjadi garam dan terang dengan hidup dan bertindak menurut kehendak Bapa sebagaimana yang diajarkan dan dicontohkan oleh Yesus Kristus dalam Khotbah di Bukit, berpegang teguh terhadap apa yang sudah diperintahkan Yesus kepada kita. Jika kita lalai melakukannya, atau dengan sengaja tidak mau mengerjakannya, bukan hanya dunia gelap yang menjadi semakin kelam dan rusak, tetapi kita sendiri yang akan terbuang sebagai kelompok yang tidak berguna dan diinjak-injak karena mengecewakan.

 

Ingatlah sekecil apa pun kehidupan kita pasti punya dampak. Baik di dunia nyata atau dunia maya. Dunia nyata di mana kita berinteraksi dengan banyak orang yang Tuhan izinkan berelasi dengan kita. Apakah di sana, kita memperlihatkan kualitas manusia “garam” dan “terang” seperti apa yang diajarkan Yesus? Ataukah justru kita yang hanyut dan larut. Terang kita padam oleh hempasan angin surga dunia dan badai kesulitan hidup sehingga kita melacurkan diri kepada dunia ini? 

 

Di dunia maya atau medsos? Apakah kita juga menebarkan pengaruh positif? Ataukah hal-hal negatif? Menjadi penyalur-penyalur kebencian dengan membagikan: hasutan dan kabar bohong? Ataukah memanfaatkannya dengan hal-hal berguna: berbagi kasih dan kepedulian, menanamkan citra Allah yang mengasihi? 

 

 

Jakarta, 2 Februari 2023, Minggu Biasa Tahun A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar