Kamis, 23 Februari 2023

MELEWATI PADANG GURUN PENCOBAAN

Saban pergantian tahun banyak orang membuat resolusi: tekad dan janji untuk lebih baik menjalani kehidupan di tahun yang akan datang. Hal yang sama kita lakukan, setiap mengawali masa raya Paskah, diawali dengan Rabu Abu, tekad kembali kepada Tuhan. Bertobat! Ada yang melakukannya dengan kaul puasa – puasa pun dilakukan dengan pelbagai versi – ada pula yang menyebutnya dengan pantang. Dari pantang makanan tertentu sampai pantang mengucapkan hal-hal yang negatif. Tidak sedikit yang berkomitmen untuk hidup saleh dengan menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan hedonisme dan sebagainya. Pokoknya, ingin menjadi manusia yang saleh dan berkenan kepada Tuhan!

 

 Segala sesuatu harus diniatkan dan dimulai. Kata orang bijak permulaan yang baik adalah separuh dari keberhasilan! Namun, nyatanya pelbagai survey mengatakan bahwa sebagian besar orang gagal mewujudkan resolusi itu. Studi yang dilakukan oleh University Bristol pada 2007 menunjukkan 88 persen orang gagal mewujudkan impian resolusinya. Sementara data National Health Service di Inggris menyebut hanya 1 dari 10 orang yang sukses menjalankan resolusi yang dibuatnya. Jika resolusi di malam tahun baru untuk hidup lebih baik di tahun depannya dijadikan acuan orang yang berkomitmen bertobat, balik kepada Tuhan dengan mengerjakan kesalehan yang benar, maka hanya sedikit sekali orang yang dapat mewujudkannya. Apakah dari yang sedikit itu salah seorangnya adalah Anda?

 

Lalu, apa yang salah? Apakah kita kurang berdoa sehingga Tuhan tidak menopang kita ketika melewati masa-masa pencobaan? Ataukah pencobaan itu terlalu dahsyat untuk kita hadapi? Mungkinkah komitmen itu diawali hanya dengan perasaan emosional sehingga kita kurang mengukur kemampuan diri secara rasional? Ataukah memang pada dasarnya kita kurang konsisten dan memberi makna dalam tekad tersebut? Semua kemungkinan bisa terjadi. 

 

Rolf Dobelli dalam karyanya The Art of The Good Life pada bagian yang membahas “Hedonisme dan Eudaimonia” menguraikan bahwa apa yang terlihat menyenangkan, menarik  dan memberi kenikmatan (hedonisme) jelaslah akan menaruh minat banyak orang untuk mengejarnya. Namun, belum tentu membawa kebahagiaan yang sesungguhnya. Ada kenikmatan atau lebih tepatnya kebahagiaan yang lebih tinggi dari itu yang disebut eudaimonia, yang dalam arti tertentu disebut makna. Setiap momen keputusan yang diambil oleh seseorang mempunyai dua komponen: kesenangan (hedonis) dan makna. Komponen hedonis mengacu kepada kepuasan singkat, sementara komponen makna mengacu kepada persepsi kita mengenai betapa bergunanya momen tersebut. 

 

Bisa saja Anda dan saya terhibur dengan adegan sebuah film berbiaya mahal, yang dibintangi aktor ternama: tampan dan cantik, cerita yang menghibur dan akhir cerita yang membahagiakan. Namun, bukankah orang bisa menilai bahwa film itu bagus meski ceritanya sedih, dimainkan oleh aktor yang tidak ternama dan biaya yang murah oleh karena punya makna. Ya, cerita yang bermakna bagi kehidupan! Makna juga memainkan peran yang penting dalam dunia pekerjaan. Selalu saja ada orang yang bersedia menerima gaji di bawah standar untuk terlibat dalam proyek yang “bermakna”. Bahkan ada orang yang bersedia “tidak dibayar” asalkan karyanya bermakna untuk kebaikan orang lain!

 

Mungkinkah banyak orang gagal memenuhi komitmen panggilannya untuk bertobat, melakukan apa yang baik dan berguna bagi orang lain lantaran kurang atau tidak menemukan makna dengan apa yang menjadi tekadnya?

 

Hari ini kita belajar dari pencobaan yang dihadapi Yesus di awal masa pelayanan-Nya. Ia mengerti dan memaknai apa yang dijalani dan akan terus dijalani-Nya sampai selesai. Yesus memaknai kehidupan-Nya adalah perwujudan dari kasih Bapa kepada umat manusia dan dunia. Yesus memaknai bahwa tujuan hidup-Nya bukan untuk kesenangan diri dengan menggunakan mukjizat dan kuasa-Nya. Dampaknya, segala pencobaan yang dihadapi-Nya dapat dimenangkan!

 

Yesus dicobai di padang gurun. Pencobaan disebut sebagai tujuan kedatangan Yesus ke padang gurun itu. “Lalu Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis.” (Matius 4:1). Ini mengingatkan kita pada umat Israel di padang gurun ketika TUHAN Allah mencobai mereka “untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni: apakah engkau berpegang pada perintah-Nya atau tidak” (Ulangan 8:2). Umat Israel ternyata gagal dalam memenuhi ketaatan kepada Allah.

 

Yesus dibawa Roh ke padang gurun agar Ia menunjukkan kesetiaan-Nya terhadap kehendak Bapa. Perkataan Iblis dua kali dimulai dengan “Jika Engkau Anak Allah…” ini merupakan ujian terhadap jati diri Yesus sebagai Anak Allah dan bagaimana Ia memaknai-Nya. Iblis menyarankan kepada-Nya agar Anak Allah yang lapar segera mengenyangkan perut-Nya dengan membuat mukjizat. Dengan mengacu pada Ulangan 8:3, Yesus menjawab, “manusia bukan hidup dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” Matius menunjukkan apa yang paling menentukan dan bermakna bagi Anak Allah bukan mukjizat yang bisa saja Ia lakukan, melainkan mendengar dan taat kepada Bapa-Nya. Itulah makna tertinggi dari Anak Allah. Di mana Israel gagal sebagai anak-anak Allah di padang gurun!

 

Iblis kini membawa Yesus ke puncak bangunan Bait Allah dan meminta-Nya untuk menjatuhkan diri. Iblis pandai mengutip firman Tuhan, bahwa ketika Yesus jatuh akan ada malaikat yang menatang-Nya sehingga Ia tidak terantuk pada batu. Seperti Yesus kelak akan menolak tanda dari surga yang diminta oleh orang Farisi dan Saduki yang mencobai Dia, dan juga di Getsemani tidak akan meminta dua belas pasukan malaikat dari Bapa, dan juga di Golgota tidak turun dari salib untuk membuktikan diri-Nya sebagai Anak Allah, demikian juga pada tahap awal pelayanan-Nya,  di sini Anak Allah tidak mencobai Bapa-Nya dengan menuntut perlindungan istimewa atau keajaiban apa pun dari surga. Sebagai Anak yang taat kepada firman Bapa, Ia mengutip, “Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” Yesus berbeda dari umat Israel yang mencobai di Masa (Ulangan 6:16). Yesus bukan anak manja yang mencobai Bapa tetapi Anak yang taat pada firman-Nya! Pemaknaan ini menjadi standar dan ukuran dalam Injil Matius misalnya dalam kisah Petrus yang mengakui Yesus sebagai Anak Allah tetapi menolak ketaatan Yesus dalam jalan penderitaan.

 

Iblis belum menyerah. Pencobaan pamungkas adalah penawaran kekuasaan dan kerajaan dunia dengan syarat Yesus harus menyembah-Nya. Yesus menyadari akan makna luhur misi-Nya. Ia tahu bahwa Bapa memberikan kuasa kepada-Nya, “Kepada-Ku telah diberikan kuasa di surga dan di bumi”  (Matius 28:18). Kuasa itu bukanlah kuasa yang diperoleh dengan menyembah Iblis, menghalalkan kejahatan, tetapi kuasa yang diberikan kepada Yesus yang terlebih dahulu menempuh jalan sengsara, penderitaan dan kematian dengan memaknainya sebagai Anak Allah. Jalan itu ditunjukkan juga dengan jawaban Yesus, “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Ulangan 6:13). Ketika nanti Petrus ingin membelokkan Yesus dari jalan kesetiaan itu, Petrus mendapat jawaban yang sama seperti Iblis, “Enyahlah, Iblis!” (Matius 16:23)

 

Jika umat Israel di padang gurun menuju tanah perjanjian itu gagal memaknai diri mereka sebagai umat Allah, mereka tumbang dalam pencobaan padang gurun itu. Yesus sebaliknya, Ia dapat membuktikan diri sebagai Anak Allah. Ia tidak menggunakan kuasa dan mukjizat-Nya untuk kepentingan dan kesenangan sendiri. Ia tidak mencobai Bapa-Nya sesuai dengan perkataan Iblis. Kini, kita pun sedang berada dalam “gurun dunia” menuju tanah perjanjian, “Yerusalem Baru”. Pelbagai pencobaan sudah, sedang dan akan terus menghampiri kita. Tidak ada jalan lain kecuali belajar dari Tuhan Yesus. Memaknai diri sebagai anak-anak Tuhan, taat dan setia serta selalu mengingat tujuan akhir kehidupan kita. Padang gurun akan segera kita lewati dan semoga kita sampai di negeri perjanjian kekal!

 

 

Jakarta, Minggu PraPaskah 1, tahun A 2023

Tidak ada komentar:

Posting Komentar