Semalam bersama dengan teman-teman nobar pertandingan bola favorit, Anda bangun sedikit siang. Kini, Anda bergegas menuju kantor tempat bekerja. Sayangnya, sesampai di depan kantor ada proposal penting tertinggal. Apakah Anda akan terus melangkah untuk bekerja? Ataukah Anda akan berbalik, kembali ke rumah untuk mengambil proposal yang sudah Anda kerjakan itu?
Berbalik, kembali mengambil yang tertinggal atau tidak sangat ditentukan oleh nilai, seberapa berharganyayang harus diambil itu. Jika yang tertinggal adalah barang kecil yang dianggap sepele dan perjuangan untuk kembali terlalu berisiko maka kecil kemungkinan kita akan kembali dan mengambilnya. Namun, jika yang tertinggal itu adalah proposal yang akan menentukan karier pekerjaan kita di masa depan maka kita akan kembali dan mengambilnya, tidak peduli risiko yang harus diambil.
Berbalik kepada Tuhan! Ini searti dengan pertobatan. Seseorang akan berbalik kepada Tuhan, bertobat memperbaiki apa yang salah, ini sangat tergantung dengan seberapa penting atau bernilainya hidup di dalam Tuhan. Jika kita menganggap bahwa hidup di dalam Tuhan tidak punya nilai maka bukanlah hal yang penting untuk berbalik dan kembali kepada Tuhan. Kesenangan dan tawaran dunia akan tampak lebih penting ketimbang taat dan setia kepada Tuhan. Ketaatan kepada Tuhan akan terlihat sebagai perkara yang membatasi, mengekang bahkan menindas!
Hal ini berbeda, ketika kita memandang hidup di dalam Tuhan adalah sebuah kondisi yang tidak dapat dibandingkan dengan apa pun juga. Hidup di dalam Tuhan adalah jaminan kehidupan yang sesungguhnya. Hidup yang kekal! Saya yakin, kita akan menjadikannya sebagai prioritas. Proposal, kunci, STNK, atau barang yang kita anggap penting saja akan memaksa kita kembali untuk mengambilnya, apalagi ini untuk kehidupan di atas kehidupan yang sekarang ada. Hidup yang kekal itu!
Nabi Yoël prihatin dengan perilaku umat Israel yang hidup jauh dari Tuhan. Tidak ada lagi relasi yang baik, ia membayangkan betapa mengerikan hidup di luar Tuhan dan apa konsekuensinya. Penghukuman dahsyat! “Tetapi sekarang juga, demikian firman TUHAN, berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh!” (Yoël 3:12). Bertobat dan berbalik merupakan tindakan yang tidak dapat dipisahkan. Seseorang bertobat akan ditandai dengan perubahan hidup yang berbalik dari perilaku lama menuju perilaku yang dikehendaki Allah. Metanoia! Jika tidak, pernyataan bertobat hanya omong kosong belaka!
Bertobat dan berbalik menurut seruan Yoël tidak dapat ditunda, ia menyerukan, “Sekarang juga!” Hal ini menunjukkan bahwa sudah begitu kronisnya dosa yang menggerogoti umat Allah itu. Ibarat rumah yang digerogoti rayap dan segera ambruk, maka harus segera dibongkar dan dibangun ulang. Jika tidak, kematian di depan mata!
Pertobatan yang diserukan Yoël bukanlah pertobatan basa-basi. Radikal! Harus sampai pada akar masalah, yakni : hati manusia! Maka kiasan, “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu,” (Yoël 2:13a) menunjukkan bahwa pertobatan itu bukan hanya ditunjukkan dengan perkara simbol lahiriah, yakni mengoyakkan pakaian. Ya, tradisi umat Allah akan mengoyakkan, merobek pakaian mereka ketika menyatakan sesal dan tobat. Namun, sayangnya simbol yang luhur ini kerap dipakai untuk mendramatisir pertobatan itu. Munafik!
Ya, pertobatan dan berbalik kepada Allah ditandai dengan beribadah kepada-Nya. Ibadah yang bukan hanya supaya dilihat dan dipuji oleh orang lain. Ibadah bukan alat pamer kesalehan, melainkan sarana menjalin relasi dengan Allah. Ibadah adalah sarana perjumpaan dengan Allah yang menghasilkan pembaruan akal budi dan ungkapan syukur kepada-Nya.
Dalam tarikan nafas yang senada dengan Yoël, Yesus menyentil peraktik ibadah dan kesalehan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi pada zaman-Nya. Sejatinya, memberi sedekah, berdoa dan berpuasa adalah wujud ibadah yang baik. Namun, menjadi mubazir dan sia-sia bahkan kekejian di hadapan Allah mana kala praktik-praktik ibadah itu ditujukan hanya sebagai tebar pesona, supaya orang lain kagum akan kesalehan orang yang melakukannya.
Lalu, bagaimana tindakan kita melakukan praktik ibadah itu? Tindakkan kesalehan kita mestinya bukan tertuju kepada pujian orang lain. Tertujulah kepada Allah! Yesus mengajarkan dengan kiasan-kiasan yang menyentuh. Cukuplah sedekah diketahui oleh tangan yang memberi saja. Tidak perlu juga diketahui oleh si penerima yang bisa saja akan rikuh dan merasa hutang budi. Sedekah bukan untuk pamer dan menanam budi baik! Hendaklah doa pribadi dilakukan dalam kerahasiaan yang tidak akan bocor kepada siapa pun. Hanya Allah yang tahu, dan dalam keintiman itu kita akan semakin tahu dan peka terhadap kehendak-Nya. Merendahkan diri dalam puasa dilakukan dengan wajah yang segar dan gembira sehingga orang lain tidak perlu tahu bahwa kita sedang berpuasa!
Alangkah indahnya relasi yang terjalin dengan Allah jika setiap kali kita beribadah bukan ditujukan untuk memperlihatkan kesalehan kita, melainkan demi merendahkan diri di hadapan-Nya, mencari wajah-Nya serta merasakan dekapan cinta kasih-Nya.
Hari ini, kita memulai masa Raya Paskah dengan “Rabu Abu”, kita diingatkan kembali bahwa diri kita berasal dari debu dan kelak kembali kepada debu. Kita diingatkan kembali untuk berbalik kepada Allah dalam pertobatan yang bermula dari hati. Pertobatan itu bukan sarana untuk pamer. Jidat yang ditoreh abu bukan untuk sarana pamer di medsos agar orang melihat bahwa kita telah bertobat dan berbalik! Apa jadinya kalau Yesus yang mengajarkan bahwa peribadahan bukan untuk pamer namun kita justru pamer kesalehan?
Abu yang tertoreh itu, biarlah menjadi peringatan buat kita, mulailah sekarang berbalik kepada Allah, siapa tahu ini hari terakhir dan tidak lagi ada waktu untuk berbenah. Abu itu kiranya menembus hati kita, sehingga hati kita terkoyak dan bukan hanya pakaian lahiriah yang bisa mengelabui pertobatan sejati itu!
Jakarta, 21 Februari Rabu Abu, Tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar