Kamis, 26 Januari 2023

DIUNDANG UNTUK BERBAHAGIA

Ada kalanya undangan pernikahan yang sampai kepada kita lebih dari satu. Bisa tiga atau empat undangan dalam satu hari. Waktu yang bersamaan membuat kita menentukan pilihan. Mungkin saja paling banyak kita memilih dua tempat undangan, itu pun harus segera beranjak agar tidak terlalu terlambat untuk pergi ke tempat pesta selanjutnya. Atau, karena bingung memilih, akhirnya kita memutuskan untuk tidak pergi ke semua undangan pesta itu!

 

Prioritas! Mungkin itulah kata tepat untuk kita menentukan menyambut yang mana dari sekian banyak pilihan. Prioritas berarti menyampingkan banyak tawaran lalu fokus menyambut yang menurut kita ini paling baik dan menyenangkan! Diundang untuk bahagia? Aha, siapa yang tidak mau? Ketika seseorang tahu bahwa ajakan itu akan membuatnya bahagia, maka ia akan menjadikan undangan itu sebagai prioritas. Menyampingkan yang lain dan fokus pada yang satu ini!

 

Namun, apa konsep dan arti bahagia yang ditawarkan Yesus itu sejalan dengan harapan kita, sehingga kita mau menyisihkan tawaran-tawaran yang lainnya? “Berbahagialah orang yang miskin, berdukacita, lapar dan haus, berbahagialah mereka yang dianiaya, dicela dan difitnah”, itu kata Yesus. Masihkah kita mau membuang yang ditawarkan dunia dan menjadikan apa yang disampaikan Yesus ini sebagai tujuan dan fokus hidup kita? Masihkah kita mau menerima undangan-Nya?

 

Ucapan bahagia yang ditawarkan Yesus membuka tema-tema besar “Khotbah di bukit”. Pelayanan Yesus yang mencakup kerugma, didakhé dan therapeia telah memikat banyak orang datang kepada-Nya. Kini, Ia naik ke atas bukit bukan untuk menjauhi orang banyak. Bukit atau gunung merupakan dataran yang lebih tinggi, di sini para pengikut-Nya mengingat kembali Gunung Sinai, tempat Allah menyampaikan hukum-hukum-Nya kepada Musa. Dalam kesejajaran ini, bila Musa menerima hukum dari Allah untuk diteruskan kepada umat-Nya di kaki gunung itu, Yesus menyampaikan ajaran-Nya dengan wibawa sendiri.

 

Dalam rangkaian sabda ucapan bahagia (Matius 5:1-12), bagian pertama (ayat 3-6) dinyatakan bahwa mereka yang menderita karena miskin, berduka dan lapar pada masa kini diperhadapkan dengan suatu pemberian kelak, yakni: dihibur, memiliki bumi dan dipuaskan. Apakah ini hanya sekedar janji? Bukankah janji-janji seperti itu juga banyak dikenal orang Yahudi sebelumnya? Ucapan bahagia (asyré) banyak ditemukan dalam kitab Mazmur dan Amsal. Lalu apa yang berbeda?

 

Ucapan bahagia yang dicatat Matius dan juga Lukas, sungguh-sungguh baru dalam beberapa hal. Apa yang disampaikan Yesus, ucapan bahagia ini ditempatkan dalam sebuah rangkaian. Masing-masing ucapan itu dilengkapi dengan alasan (“sabab…”) yang menyangkut masa depan yang melampaui hidup di dunia ini. Lagi-lagi, apa ini hanya “janji surga” semata? Kata “berbahagialah” yang diulang Yesus sebanyak sembilan kali tidak berarti “semoga berbahagia” (a wish). Bukan begitu! Tetapi menyatakan bahwa orang-orang itu memang berbahagia. 

 

Tampaknya benar, kebahagiaan itu ada di masa depan. Namun demikian, jika undangan itu disambut dengan iman, dipegang dengan yakin, para penerima janji masa depan itu dapat mengalaminya sekarang juga. Kebahagiaan mereka telah mendapat jaminan pertama dalam perhatian Yesus bagi orang-orang yang menderita, lapar, dan disingkirkan yang adalah permulaan Kerajaan Surga di bumi ini. Bukankah sangat jelas, mereka yang disebut sebagai kelompok orang yang menderita ini: miskin, sakit, berdukacita, dan terpinggirkan oleh strata sosial masyarakat justru merekalah yang pertama-tama menjadi perhatian hadirnya Kerajaan Surga itu. Merkalah yang menerima roti, penghiburan, pemulihan dan belas kasihan Yesus!

 

Tentu saja tidak semua orang miskin, berduka, terpinggirkan, teraniaya dan menderita yang mengalami kebahagiaan itu. Sebab, banyak juga orang-orang miskin, berduka, terpinggirkan yang atas nama kemiskinan dan penderitaan mereka melalukan tindakan-tindakan jahat. 

 

Mereka yang miskin, berduka, terpinggirkan dan teraniaya yang mau menyambut-Nya dengan pengharapan yang tulus. Merekalah yang berbahagia!  Sikap rendah hati dan menaruh kepercayaan yang besar itulah yang oleh Matius dieksplisitkan dengan menambahkan kata pada miskin: “miskin di hadapan Allah”, kata yang sejajar dengan “lemah-lembut”. Orang-orang yang bersikap demikian adalah mereka yang mendapatkan kebahagiaan, karena sudah masuk dalam Kerajaan Surga. Sekali lagi, ini tidak nanti. Melainkan, hidup sekarang ini di bawah pemerintahan Allah yang dimulai dengan kehadiran Yesus yang menyatakan-Nya. Orang miskin yang dengan rendah hati mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah, sekarang mulai diperhatikan dan dilindungi Allah melalui pelayanan Yesus yang kelak akan diteruskan oleh para pengikut-Nya karena Yesus sendiri telah menitipkannya kepada mereka: “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40). Perlindungan Allah akan mendapat bentuk yang lebih penuh dan nyata di masa yang akan datang, di bumi yang baru dan surga yang baru seperti yang terungkap dalam Matius 5:4b-9b.

 

Selain kepada mereka yang menderita dan teraniaya, Yesus juga memberikan ucapan bahagia bagi mereka kebaikan dalam hidup mereka: belas kasihan, kesucian hati, dan pendamaian. Kepada mereka akan diganjar dengan kebaikan Allah sendiri. Sekali lagi kebahagiaan itu bukan melulu terletak di seberang kematian atau janji surga. Satu hal dicatat Matius dalam kategori kebaikan hati ini, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9). Apa ciri kasat mata bahwa seseorang disebut anak Tuhan atau anak Allah? Tentu saja tidak cukup dengan pengakuan. Ada sesuatu yang tercermin, memancar keluar dalam kehidupan orang itu, yakni : kebaikan dan kasih sayang seperti yang terpancar dalam diri Yesus Kristus. Pada peristiwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes, Allah sendiri menyatakan Yesus Kristus sebagai Anak-Nya yang terkasih dan kepada-Nya Allah berkenan. Lalu, Yesus membuktikan-Nya dengan memancarkan kasih Bapa itu kepada mereka yang menderita. Yesus menjadikan firman Allah itu hidup dan kehidupan-Nya.

 

Kebaikan hati yang terpancar dalam kehidupan setiap orang percaya mestinya membuat orang-orang tersebut berbahagia. Ya, sekarang ini berbahagia oleh karena diri mereka nyata-nyata sebagai anak-anak Allah yang memancarkan terang di tengah kegelapan, yang melakukan tindakan kasih sekalipun untuk itu harus dianiaya dan difitnah. Bukankah perasaan itu benar akan kita rasakan: ketika Anda berhasil melakukan tindakan kebaikan, lalu melihat orang yang Anda kasihi itu mengalami perubahan di dalam hidup mereka: yang lapar menjadi kenyang, yang bermusuhan Anda damaikan, yang sedih Anda hiburkan. Ah…, rasanya benar-benar bahagia. Yang seperti ini tidak bisa dibeli dengan uang. Kondisi batin seperti ini tidak dapat ditukar dengan kekuasaan!

 

Sangat wajarlah kita menyambut dan memprioritaskan undangan bahagia yang ditawarkan Yesus kalau kita memahami konsep kebahagiaan yang Dia berikan. Ingatlah, segala yang diberikan oleh dunia ini adalah sementara. Yesus mengundang kita untuk berbahagia sekarang dan akan terus berkesinambungan sampai kehidupan yang kekal. Jangan membuang waktu, gunakan kesempatan yang ada!

 

 

Jakarta, 26 Januari 2023. Minggu Biasa Tahun A 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar