Beberapa di antara Anda mungkin sudah jengah dengan praktik peradilan di negeri ini. Sangat mungkin Anda sudah mulai bosan dengan siaran langsung “breaking news” dari beberapa saluran televisi nasional yang menayangkan persidangan kasus pembunuhan Alm. Brigadir Joshua. Adegan yang dipertontonkan di ruang publik itu memperlihatkan bagaimana setiap kubu yang berperkara membela diri untuk menghindari vonis yang akan dijatuhkan yang mulia, hakim yang memimpin persidangan. Bukti sekecil apa pun dipakai untuk pembelaan, saksi-saksi ahli dihadirkan untuk pembenaran yang diharapkan dapat memperingan hukuman yang bakal dijatuhkan oleh yang mulia itu!
Sejak zaman Adam, manusia punya kecenderungan berkilah dan membela diri. Tidak mau menanggung kesalahan yang diperbuatnya. Alasan, dalil, teori, dan yang serupa dengan itu dipergunakan agar terbebas dari konsekuensi tindakan jahat. Memang tidak semua orang berlaku seperti itu. Namun, kalau pun ada orang yang berani bertanggung jawab atas kejahatannya sendiri, jumlahnya hanya segelintir. Sedikit! Apa lagi yang mau menanggung kesalahan orang lain. Nyaris tidak ada!
Hari itu, orang berbondong-bondong datang mendengar suara dari padang gurun Yudea. Yohanes Pembaptis sebagai orang yang dipersiapkan Allah membuka jalan bagi Sang Mesias menggemakan seruan bertobat. Jika tidak, murka Tuhan akan menimpa mereka! Baptisan adalah tanda bahwa orang yang datang mendengarkan itu siap untuk kaul pertobatannya. Baptisan itu sendiri bukan obat ajaib yang dengan sekejap mencuci bersih dosa manusia. Ia hanyalah tanda! Ya, tanda bahwa seseorang mau berhenti dari berbuat jahat, lalu kembali kepada jalan yang dikehendaki Allah. Baptisan adalah awal dari sebuah komitmen yang harus segera diteruskan dengan perubahan sikap dan perilaku yang baik.
Hari itu, Yesus berada bersama-sama rombongan orang banyak yang menanggapi seruan sang nabi padang gurun yang nyentrik itu. Matius jelas-jelas mengatakan bahwa Yesus yang menempuh perjalanan dari Galilea ke Yordan dengan tujuan untuk dibaptis oleh Yohanes (Matius 3:13). Tentu saja banyak orang saleh menjadi gusar. Mengapa Yesus, Anak Allah yang tidak berdosa (Ibrani 4:15), harus dibaptis oleh Yohanes?
Bukankah kita juga menjumpai dalam 1 Yohanes 3:5 dan 1 Petrus 2:22 menyatakan bahwa Yesus tidak pernah berbuat dosa? Jadi, apa yang memicu Yesus untuk ikut berada dalam barisan orang berdosa? Ya, ketika Yesus berada bersama-sama orang berdosa dan meminta dibaptiskan, rupanya Ia memperkenalkan diri-Nya sebagai orang berdosa. Ia menyamakan diri dengan manusia pada umumnya yang berdosa dan terkena akibat-akibat dosa. Dengan pembaptisan di sungai Yordan itu, Yesus tampil sebagai manusia yang sungguh-sungguh, tidak lebih dan tidak kurang. Ia adalah salah satu dari manusia. Mengenal Yesus berarti mengenal manusia. Di sini kita melihat Yesus sebagai hamba Allah seperti yang dilukiskan oleh Yesaya 42. Ia tidak berteriak dan menyaringkan suaranya di jalan. Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya (Yesaya 42:2,3)
Yesus yang menyamakan diri-Nya dengan orang-orang yang berdosa itu bisa dihubungkan pula dengan nubuat Nabi Yesaya, “… karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang…” (Yesaya 53:12). Di sungai Yordan itu Yesus tampil dengan kemanusiaan yang utuh dan otentik. Manusia yang lemah lembut dan rendah hati; manusia yang solider dengan nasib sesamanya; manusia yang menampilkan diri dalam kerapuhan, dan bukan dalam kekuatan; manusia yang rela berkorban, dan bukan mencari keuntungan diri sendiri!
Kendati demikian, Yohanes menolak permintaan Yesus untuk dibaptiskan. Yohanes mencegah Dia, katanya, “Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, namun Engkau yang datang kepada-Ku!” Keberatan Yohanes sangat logis. Sebelumnya Yohanes mewartakan bahwa Dia yang akan datang itu, yakni Yesus lebih berkuasa. Ia akan membaptis dengan Roh Kudus dan api! Yohanes tahu diri, ia hanya membaptis dengan air saja. Ia sama sekali tidak memiliki kuasa, maka ia tunduk kepada Sang Mesias yang mendatanginya itu!
Keberatan Yohanes ditampik oleh Yesus dengan alasan, “Biarlah hal itu terjadi sekarang, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kebenaran (dikaiousunè).” Di sinilah untuk pertama kalinya Yesus menggunakan kata dikaiousunè yang kemudian akan menjadi pokok tema khotbah di bukit. Dalam tulisan sastra Yahudi zaman Yesus dikaiousunè atau (s’daqā) biasanya mengacu kepada tindakan manusia yang sesuai atau selaras dengan kehendak Allah. Demikian juga yang dicatat dalam Injil Matius ini: kebenaran adalah hidup sesuai dengan kehendak Allah. Kehendak-Nya sepatutnyalah dilakukan oleh para murid, oleh orang-orang yang menyembah-Nya, dilakukan dengan sepenuh hati, bukan setengah hati!
Dengan menampik alasan Yohanes untuk tidak membaptis diri-Nya, Yesus mengajak Yohanes menjadi contoh, teladan dalam hal menggenapi seluruh kehendak Allah. Yesus mengajar bukan hanya dengan kata, melainkan dengan kerendahan hati memperagakan apa artinya taat dan menggenapi seluruh kehendak Bapa. Mungkin, buat sebagian besar orang sulit menggenapi kehendak Allah. Namun, Yesus memberi contoh: tidak ada yang sulit atau tidak mungkin. Kesulitan dan ketidakmungkinan itu sebenarnya berangkat dari egoisme dan pementingan diri sendiri.
Ketimbang energi kita habis terkuras hanya untuk memperdebatkan baptisan mana yang paling shahih: celup atau percik, mestinya ada yang lebih utama lagi kita perjuangkan. Apakah peristiwa baptisan kita benar-benar menjadi momentum untuk melakukan perubahan dalam hidup? Apakah baptisan kita menjadi titik awal untuk hidup dalam kehendak Allah. Hidup yang memenuhi kehendak-Nya dengan membuang jauh-jauh egoisme dan kesombongan diri?
Peristiwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes membuka ruang untuk pernyataan Suara Langit: “Inilah Anak-Ku yang terkasih, kepada-Nyalah Aku berkenan!” Dengan ketaatan untuk menggenapi seluruh kehendak Allah, Suara Langit itu memprolamirkan bahwa Yesus menjadi Anak yang terkasih dan yang berkenan kepada-Nya. Peristiwa pembaptisan ini mengajarkan kepada kita bahwa untuk menjadi orang-orang yang dikasihi Allah, hidup kita harus sesuai dan selaras dengan kehendak Allah. Mengerjakannya dengan sepenuh hati dan bukan setengah-setengah.
Yesus telah menjadi kesaksian utuh dari maksud dan kehendak Allah. Yesus mengerjakannya dengan sepenuh hati. Kesaksian bukan soal fasih bercerita tentang bagaimana Tuhan berkarya. Kesaksian yang itu justru terjadi ketika hidup kita sesuai dan selaras dengan kehendak Allah. Hidup yang menghidupi firman yang keluar dari mulut Allah. Mumpung masih ada waktu, marilah kita menggenapi kehendak Allah!
Jakarta, Minggu pertama setelah Epifania tahun A, 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar