“Terlalu sedikit bagimu hanya untuk menjadi hamba-Ku, untuk menegakkan suku-suku Yakub dan untuk mengembalikan orang-orang Israel yang masih terpelihara. Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi.” (Yesaya 49:6)
Alkisah (EL-Shaddai FM), ada seorang pemburu menemukan seekor anak singa yang terluka. Pemburu itu membawanya pulang dan merawat anak singa tersebut. Pemburu itu membesarkan anak singa tersebut bersama-sama babi peliharaannya. Seiring berjalannya waktu, si anak singa tumbuh menjadi besar. Ia memiliki cakar dan gigi yang kuat. Namun, anehnya, memiliki kebiasaan-kebiasaan dan cara hidup layaknya babi-babi yang lain. Ia suka berkubang di lumpur, tidak bisa mengaum, bahkan tidak pernah menggunakan cakarnya.
Sampai suatu ketika sang pemburu itu membawa babi-babi peliharaannya, tentu saja termasuk anak singa yang sudah mulai besar itu untuk mencari air di sungai. Di tengah perjalanan tiba-tiba terdengar auman singa yang sangat keras. Kontan saja babi-babi itu berlarian untuk bersembunyi. Namun, si anak singa kebingungan. Ia memperhatikan bulu-bulu di tubuhnya dan cakar di kakinya: sama seperti hewan yang mengaum di depannya! Terlebih ketika ia melihat bayangan wajahnya di air, ia mendapati bahwa dirinya sama percis dengan singa itu.
Butuh waktu bagi si anak singa untuk menyadari bahwa dirinya bukanlah seekor babi seperti yang dipikirkannya selama ini dan bahwa ia dilahirkan sebagai raja hutan hebat yang ditakuti oleh semua penghuni hutan. Setelah menyadari identitas aslinya, anak singa itu pun mulai mengaum, berlari cepat, serta belajar menggunakan cakar dan giginya yang tajam untuk berburu mencari mangsa!
Israel ternyata buta dan tuli. Israel seperti anak singa di tengah kawanan babi. Alih-alih bangsa-bangsa melihat terang dalam diri mereka, justru umat Allah ini tenggelam dalam cara hidup mereka. Para nabi telah menghabiskan tenaga dan waktu mereka untuk menyampaikan terang Firman Allah kepada umat-Nya, namun mereka menolaknya bahkan memusuhi dan menganiaya para utusan Tuhan itu.
Butuh waktu untuk umat Israel menyadari jati diri mereka! Selam ini mereka hidup seperti anak singa di tengah babi-babi. Israel hidup di tengah-tengah peradaban yang tidak mengenal Allah, di tengah-tengah para penyembah Baal dan mereka hidup dengan cara itu. Tidak lebih! Padahal, keistimewaan umat Allah itu dimaksudkan untuk membawa perubahan, menghadirkan peradaban baru, peradaban yang mengenal cinta kasih Allah. Keistimewaan umat Allah bukan untuk kebanggaan atau previllage, hak istimewa. Bukan itu! Butuh waktu 70 tahun untuk menyadarkan identitas diri dan fungsi mereka. Allah membuang umat itu ke Babel bukan atas dasar benci. Namun Allah ingin menyadarkan kembali jati diri umat itu yang mempunyai kapasitas untuk menghadirkan terang!
Kini, Allah mengutus hamba-Nya untuk menjadi terang, untuk menghimpunkan kembali umat yang terserak itu, untuk mengembalikan mereka kepada Allah. Suku-sukunya hendak ditegakkan kembali. Mereka yang terbuang, tertindas akan dipulihkan dan mereka akan kembali ke tanah perjanjian. Namun, tampaknya tugas ini dikatakan ringan: Terlalu sedikit bagimu hanya untuk menjadi hamba-Ku, untuk menegakkan suku-suku Yakub dan untuk mengembalikan orang-orang Israel yang masih terpelihara….” Di mata Tuhan, tugas ini enteng, mudah, bukan karena tugasnya itu sendiri, melainkan karena kini dibandingkan dengan tugas baru terhadap bangsa-bangsa lainnya. Tugas lama, diingatkan kembali, yakni: membenahi kehidupan “di dalam” umat Tuhan. Tentu saja menyangkut peribadahan, kasih persaudaraan, dan nilai-nilai luhur dari Taurat yang tercermin dalam perilaku mereka. Tanggung jawab itu sekali-kali tidak dikesampingkan.
Kini, ada tugas lain yang sebetulnya mengembalikan jati diri umat Allah itu: melalui mereka semua bangsa melihat Terang, melalui mereka bangsa-bangsa mengenal cinta kasih Allah dan akibatnya, melalui mereka bangsa-bangsa mendapat berkat Allah! Berkat itu diperluas, yang tadinya hanya untuk umat Israel saja, kini terbuka untuk sekalian orang: “Padamu ada sumber hayat, di dalam Terang-Mu, kami melihat terang. Di dalam diri hamba itu “Terang Wajah TUHAN bersinar atas sekalian orang, seperti dahulu wajah Musa mencerminkan kemuliaan TUHAN dan bersinar bagi Israel. Demikian juga hamba TUHAN menerangi bangsa-bangsa, karena Ia sendirilah Terang dunia itu!
Yesus Kristus itulah Sang Terang sesungguhnya! Ia adalah Musa kedua yang memancarkan Terang tidak hanya untuk umat Israel, melainkan semua bangsa! Yesus Kristus adalah hidup dan hidup itu adalah terang manusia (Yohanes1:4). Ia hendak menerangi setiap orang. Kegelapan tidak menguasai terang. Tuhan senantiasa memanggil setiap orang, agar mereka membuka diri terhadap Terang dunia itu dan menjadi saksi-saksi-Nya, baik di dalam maupun di luar umat Kristen.
Dalam konteks inilah tema “Let Your Light Shine” bergema! Biarlah terangmu bercahaya! Ya, bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri. Sebagaimana umat Allah pada masa pembuangan tidak hanya ditugasi untuk menghimpunkan dan membangun bangsa mereka sendiri. Kalau itu sih perkara mudah, enteng. Sebab, sudah semestinya begitu. Membangun diri sendiri, membangun kepentingan sendiri, membangun rumah ibadah sendiri walau banyak rintangan itu bukan perkara yang sulit! Menjadi terang dalam lingkungan sendiri bukan perkara sulit. Bersaksi di dalam gereja sendiri, merupakan pekerjaan mudah. Melayani untuk kalangan sendiri, bukankah semua orang juga bisa?
Let Your light Shine! Merupakan perintah untuk memancarkan Terang di tengah kegelapan. Bukan memancarkan terang di tengah situasi yang sudah terang benderang. Jelas, ini bukan perkara mudah! Karena Anda dan saya akan berhadapan dengan kuasa-kuasa kegelapan yang tidak suka terang. Kuasa yang siap memadamkan terang! Anda dan saya akan berhadapan dengan orang-orang yang membenci, memusuhi terang sebagaimana Yesus juga telah dimusuhi.
Di tengah-tengah kesadaran inilah, kita menjawab panggilan. Menjadi murid Kristus bukan siap menikmati kenyamanan dan kesuksesan, melainkan bersiap untuk sebuah misi besar, membawa manusia kepada Terang itu. Dalam konteks inilah GKI telah lama berkiprah, salah satunya melalui badan pelayanan pendidikan UKRIDA. Liturgi hari ini disusun dalam rangka dies natalis UKRIDA yang ke-56. Badan pendidikan perguruan tinggi yang digagas dan didirikan oleh GKI.
Benar, bahwa semula badan pendidikan perguruan tinggi ini digagas dan didirikan untuk mengatasi kesulitan anggota jemaat atau orang-orang Kristen yang ingin mengenyam pendidikan tinggi. Tidak seperti sekarang, perguruan tinggi menjamur, ada di mana-mana. Dulu, konon katanya sangat sedikit kesempatan orang untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi, apalagi untuk orang Kristen, lebih sulit lagi Kristen yang Tionghoa! Benar, semula lembaga pendidikan ini lebih memikirkan kebutuhan anggota jemaat!
Namun, Firman Tuhan hari ini mengingatkan: Itu terlalu sedikit bagimu! Itu terlalu mudah, semua orang akan berpikir hal yang sama! Engkau harus menjadi terang bagi bangsa-bangsa agar keselamatan yang daripada-Ku sampai ke ujung bumi!
Memikirkan dan berjuang untuk kebutuhan orang lain yang akan memperjumpakan mereka dengan Sang Terang yang sesungguhnya itu tidak mudah. Ada banyak waktu, materi, tenaga yang terkuras untuk menanggapi panggilan ini. Saya kira UKRIDA tidak bisa berjuang sendiri. Ia membutuhkan kerja sama dengan kita untuk mewujudkan panggilan itu! Membutuhkan kerja sama Anda dan saya. Kini saatnya kita tidak hanya memikirkan kepentingan sendiri. Jauhkanlah pikiran bahwa UKRIDA adalah milik GKI, milik kita; maka kita yang adalah anggotanya berhak dan layak mendapatkan keringanan, kalau perlu gratis! Kita harus bersama-sama berpikir: kontribusi apa yang bisa saya lakukan agar melalui UKRIDA dunia mengenal Terang itu. Pelayanan apa yang dapat saya berikan agar melalui UKRIDA banyak orang mengenal TUHAN dan diselamatkan!
Dirgahayu UKRIDA, Teruslah bersinar dan pancarkan Terangmu agar orang mengenal kasih Kristus!
Jakarta, Diesnatalis UKRIDA ke-56, 20 Januari 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar