Mewartakan kelahiran dan kehadiran Tuhan dalam kegembiraan atau bahasa alkitabiahnya dengan sukacita, mungkinkah? Mungkinkah mereka menyambut kabar baik itu dengan gembira, kalau perut mereka lapar, rumah tempat tinggal menunggu digusur, penyakit yang mengancam jiwa?
Kemiskinan menjadi salah satu masalah terbesar dunia. Kian hari, alih-alih berkurang, intensitasnya semakin meningkat. Resesi dan krisis ekonomi sudah di depan mata. Mau tidak mau akan menambah komunitas orang miskin! Akan ada banyak orang hidup dengan pendapatan minim, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sebagai manusia. Apa dampaknya? Kemiskinan tidak hanya merusak raga manusia tetapi juga mengancam jiwa. Insting bertahan hidup dari manusia bisa mendorongnya untuk melakukan apa pun, termasuk tindakan paling ganas dan merusak demi untuk bertahan hidup.
Kemiskinan memiliki beragam bentuk. Yang paling mendasar adalah kemiskinan ragawi, yakni ketika orang, walaupun sudah bekerja keras, tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia yang memiliki martabat. Yang lain adalah kemiskinan cara berpikir, yakni ketika orang tidak mampu menemukan cara-cara yang baik dan tepat, guna memperoleh sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kemiskinan mendorong meningkatnya tindakan kriminal. Ia bisa merusak rajutan kehidupan sosial dan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ia bisa menciptakan musuh, dan mengubah kawan menjadi lawan. Lebih dari itu, kemiskinan dapat merusak harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan yang segambar dengan penciptanya.
Banyak orang mengira, akar kemiskinan adalah kemalasan pribadi. Artinya, orang menjadi miskin karena ia malas bekerja, karena ia tidak cerdas, dan sebagainya. Pandangan ini belum sepenuhnya benar. Kemalasan dan kebodohan pribadi hanya sebagian kecil dari akar masalah yang melahirkan kemiskinan dalam berbagai bentuknya. Sebab lain yang memiliki pengaruh kuat adalah kemiskinan struktural. Artinya, tata sosial, politik, dan ekonomi yang membuat orang, mau tidak mau hidup dalam kemiskinan. Orang bisa bekerja keras, membanting tulang, dan menabung, namun ia tetap hidup dalam kemiskinan. Seolah kemiskinan adalah takdir yang tidak bisa ditolak.
Sekeras apa pun seorang bekerja dengan gaji UMR di ibu kota negara ini tidak akan mampu membeli rumah, sekeras apa pun petani tradisional mencangkul dan menggarap sawahnya tetap saja ia akan berhutang. Jika tidak ada intervensi dari pihak-pihak pemegang kebijakan dan kekuasaan. Dibutuhkan empati dan keberpihakan dari penguasa terhadap rakyatnya yang menderita.
Nawa, dan anaknya Bashar yang masih berumur 11 tahun, berasal dari Maroko dan tinggal di München, Jerman. Nawa sudah sekitar 15 tahun tinggal di Jerman. Ia pindah ke Jerman karena harus bekerja menghidupi dirinya sendiri. Di Jerman, ia berjumpa dengan seorang pria, menikah dan akhirnya punya anak. Namun, hubungan mereka tidak lancar. Akhirnya, mereka bercerai. Nawa harus bekerja lebih keras untuk menghidupi diri dan anaknya. Pemerintah Jerman tahu kisah ini. Mereka kemudian membantunya dengan memberikan keringanan biaya sewa rumah.
Nawa tahu, bahwa ia harus berterima kasih pada pemerintah Jerman. Maka, ia pun bekerja dengan rajin dan tidak lupa membayar pajak. Ia bisa berbahasa Jerman dengan amat baik. Kini, ia membangun usaha kecil, guna memberikan pekerjaan pada para pendatang lainnya di Jerman. Usahanya berkembang pesat. Pemerintah Jerman melihat kesulitan Nawa, dan kemudian membantunya. Inilah wujud empati sebuah pemerintahan pada orang yang dipimpinnya. Tanpa empati, mustahil mengangkat derajat si miskin!
Empati berasal dari kata Yunani empatheia, yang berarti kemampuan untuk merasakan. Arti itu kemudian berkembang menjadi kemampuan manusia untuk merasakan penderitaan orang lain. Arti lainnya adalah kemampuan untuk melihat dan mengambilalih sudut pandang orang lain. Krisis empati kini melanda dan menjadi penyakit kita!
Krisis empati ditunjukkan dengan wajah orang-orang yang tidak mau peduli. Tidak mau, walaupun ia mampu, untuk mencoba melihat dunia sungguh dari sudut pandang orang lain yang punya cerita hidup berbeda dengannya. Akhirnya, orang hidup dengan prasangka buruk pada orang lain yang berbeda dengannya. Prasangka semacam ini dapat berkembang dari konflik menjadi perang yang menciptakan penderitaan besar.
Empati berarti mencoba memahami orang lain sebagai “yang sungguh lain”. Cukupkah? Tentu saja tidak. Empati akan bergulir terus: merasakan apa yang orang lain rasakan. Di sini dibutuhkan apa yang disebut Gefühlsübernahme, yakni mengambilalih perasaan orang lain, dan berusaha merasakan apa yang sesungguhnya dirasakan oleh orang lain, yang memiliki latar belakang berbeda dari kita. Setelah itu, orang perlu juga masuk lebih dalam ke tingkat berikutnya, bersikap aktif dengan berpijak pada pengetahuan akan perasaan dan sudut pandang orang lain tersebut. Artinya, setelah tahu apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain kemudian bertindak secara aktif menunjukkan kepeduliannya, tidak diam saja!
Para gembala Yahudi tidak dihormati oleh pemimpin Yahudi. Sebab, mereka tidak mempraktikkan syariat agama, di antaranya tidak berziarah ke Yerusalem. Injil Lukas bungkam tentang pandangan negatif ini. Lukas juga tidak bercerita tentang daerah kerja mereka yang dekat dengan Yerusalem atau Betlehem. Perhatian Lukas mengajak kita menerawang melihat bahwa Mesias akan menjadi seorang Gembala sejati.
Lukas yang sangat dekat dengan orang-orang miskin dan marjinal mencatat perkataan Yohanes Pembaptis yang menegaskan nubuat Nabi Yesaya, bahwa Sang Mesias itu akan memberitakan kabar baik kepada orang-orang miskin. Si miskin bukan menjadi kendaraan politik agar pamor naik. Tidak! Dari awal si miskin menjadi subyek dari Allah yang berempati kepada penderitaan manusia. Maka bukan perkara sulit untuk Lukas menuturkan bahwa, kelahiran Sang Mesias itu mula-mula diberitakan kepada para gembala. Ini adalah tanda bahwa mereka yang sering dipandang sebelah mata, di hadapan Allah, mereka adalah tokoh-tokoh utama. Mereka itu “kaum miskin”, orang-orang rendahan, namun justru mereka mau mendengar pesan surgawi dan menjadi pemeran utama tentang kepedulian dan empati Allah!
Empati Allah itu, mula-mula disampaikan oleh malaikat Tuhan, “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa:” (Lukas 2:10).
Jangan takut! Rasa takut adalah reaksi normal ketika seseorang berhadapan dengan ancaman. Si miskin jelas sangat akrab dengan pelbagai rasa takut. Empati dimulai dari turut merasakan apa yang mereka takuti, empati mengenali apa yang menjadi ancaman mereka. Dan, empati menyediakan ruang aman. Rasa takut adalah juga reaksi normal ketika seseorang berhadapan dan mengalami manifestasi Allah. Para gembala ketakutan, sebab mereka sedang menghadapi misteri Allah yang pasti mau memberi anugerah-Nya, namun sekaligus juga menuntut sesuatu dari mereka. Para gembala disapa, “Jangan takut”, sebab amanat yang disampaikan kepada mereka adalah kabar baik.
Malaikat itu sendiri bukan Sang Kabar Baik itu. Ia hanya menunjukkannya kepada para gembala itu. Mereka sendiri harus mencari dan menemukan-Nya. Tepat sekali seperti yang disampaikan Malaikat Tuhan itu. Seorang bayi yang dibungkus kain lampin dan di baringkan dalam palungan. Sang Mesias hadir di tengah kesederhanaan. Bukan di istana atau rumah mewah. Di tempat si miskin dan musafir biasa berteduh dan mencari kehangatan di situlah Ia lahir!
“Jangan takut!” ternyata bukan sekedar isapan jempol. SI miskin dan yang terpinggirkan kini beroleh empati: kasih karunia Allah! Kini, si miskin itulah yang menjadi saksi peristiwa ajaib itu. Ya, sebuah peristiwa ajaib di mana Allah sendiri datang melawat umat-Nya. Ia turut merasakan dan mengambilalih penderitaan manusia. Maka sejak hari itu Allah yang tidak terbatas menjadi terbatas. Ia yang berkuasa penuh menjadi rapuh, ringkih dan banyak menanggung penderitaan.
Itulah empati Allah, Ia mengambilalih bukan hanya cara pandang dan perasaan manusia tetapi juga mengambilalih penderitaan manusia karena dosa. Ia yang tidak mengenal dosa mulai hari itu akan memikul dosa dunia!
Para gembala menjadi saksi: melihat dan mengalami sendiri kasih dan anugerah Allah. Mereka memberitakan kabar itu dengan sukacita! Kepedulian Allah tidak berhenti pada para gembala. Ia pun sangat peduli dengan diri Anda. Ia berempati dan mengerti kecemasan dan ketakutanmu. Ia mengetuk pintu hatimu dan ingin tinggal denganmu untuk memberi kehangatan dan keberanian menghadapi hidup dan sejuta pergumulannya. Maukah Dia lahir di hatimu?
Jakarta, Natal 25 Desember 2022, tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar