Kamis, 15 Desember 2022

MENANTI SANG IMANUEL DENGAN PERCAYA DAN BERSYUKUR

Havi Carel mendapatkan segalanya. Pada usia 35 tahun, ia baru bertemu dengan cinta sejatinya, meluncurkan buku perdana, dan hendak memulai pekerjaan yang menjadi impiannya: mengajar filsafat di University of the West of  England di Bristol. Masa depan yang menjanjikan. 

 

Jules Evans dalam bukunya Philosophy for Life and Other Dangerous Situation selanjutnya menuturkan kisah Havi. Havi menyadari dirinya sangat mudah merasa sesak. Padahal, dia sangat bugar dan sehat. Sekarang, dia tidak tahan lagi berlama-lama ikut aerobic atau mendaki bukit sambil berbicara di ponselnya. Sesak! Havi mengira dirinya  terjangkit asma. Ketika ia mengunjungi orang tuanya di Israel pada 2006, sang ayah yang adalah seorang dokter menyarankannya untuk melakukan CT Scan pada paru-paru Havi. Petang itu setelah melakukan pemeriksaan, Havi dan ayahnya mampir ke klinik radiologi untuk mengambil hasilnya. Havi kemudian bercerita:

 

“Aku duduk di mobil dan menunggunya kembali. Setengah jam kemudian, aku tahu ada yang tidak beres, jadi aku masuk ke klinik. Aku memasuki lab, tempat ayahku dan petugas lab itu menatap hasil CT Scan paru-paruku. Ayahku tampak terpukul. Radiolog itu tampak kaget dan gugup melihat kehadiranku. Katanya, ‘Kamu tahu penyakitmu apa?’

 

Aku menjawab, ‘Tidak tahu!’

‘Bacalah’, katanya, lalu ia menyerahkan manual diagnosis yang sangat besar, menjelaskan suatu penyakit Bernama Lumphangioleiomyomatosis (LAM).

Lembaran itu penuh istilah rumit, tetapi di bawahnya tertulis, ‘Kemungkinan sisa umur sepuluh tahun.’ Sungguh guncangan fisik  yang hebat dan aku terus berpikir aku akan mati dalam usia 45 tahun!”

 

Semula Havi mengira diagnose itu salah. Kemudian dia mengamuk, tidak terima. Havi yang seorang ateis, tetapi toh ia masih memaki bahwa nasib yang ia terima tidak adil!

 

“Aku tidak merokok, aku bukan peminum, aku tidak mengonsumsi narkoba, aku selalu bersikap baik, dan sekarang aku terkena penyakit yang sangat langka ini? Tampaknya sungguh tidak adil. Kenapa aku? Lalu, aku bertanya-tanya, apakah ini hukuman. Aku baru saja menulis buku pertamaku tentang maut. Aku bertanya-tanya apakah menulis soal itu sudah menyebabkan datangnya penyakit?”

 

“Kenapa aku?” mungkin itu juga pertanyaan dalam diri Yusuf ketika menerima kenyataan bahwa Maria, tunangannya itu sedang mengandung, “bukankah selama ini aku hidup baik, taat beribadah dan memelihara Taurat Tuhan?” Ya, Yusuf seorang pemuda saleh sama seperti kebanyakan orang, sama seperti Havi yang melihat masa depan cerah dan indah bersama dengan kekasih yang dicintai sepenuh hati.

 

Yusuf dan Maria sudah bertunangan, dalam tradisi Yahudi tahap ini sama seperti orang yang sudah menikah, hanya saja keduanya masih tinggal di rumah orang tua masing-masing. Sebelum diboyong ke rumah Yusuf, Maria kedapatan telah mengandung. Dalam kasus seperti ini, Yusuf dapat menyeret Maria ke pengadilan untuk proses pemeriksaan pasal perzinahan (Ulangan 22:23-27). Sampai di sini mari kita berempati terhadap Yusuf. Yusuf jelas punya mimpi: membangun keluarga kecilnya dengan sang kekasih. Ia akan mencintainya sepenuh hati. Merawat, mendidik, mengajar dan membesarkan buah hatinya yang lahir dari rahim Maria. Ia akan mengajarinya tentang takut akan Tuhan, menghormati hukum-hukumnya. Keluarganya akan dibangun dengan landasan cinta dan takut akan Tuhan. Indahnya!

 

Namun, impian itu segera buyar. Kekasih hatinya hamil, bukan benih dari dirinya! Sangat mungkin saat itu Yusuf bagai disambar gledek. Dunia terasa runtuh, harapannya hilang dalam sekejap. Ia tidak menyangka, Maria tega menghempaskan mimpi-mimpi indahnya. Pada pihak lain, Yusuf terlanjur sayang. Ia tidak ingin kekasih belahan jiwanya itu menjadi bulan-bulanan rajaman batu dari orang-orang sekampungnya. Ia tidak ingin perempuan pujaan hatinya itu dipermalukan. Yusuf yang dikatakan sebagai seorang yang benar (dikaios), tidak menempuh jalan hukum yang sadis itu. Ia pun tidak mau mencemarkan nama tunangan dan keluarganya. Yusuf sebagai orang benar tampil dengan mengutamakan belas kasihan seperti yang dikehendaki Tuhan. Yusuf memilih jalan menceraikan Maria secara diam-diam.

 

Dalam kegalauan itulah Malaikat Tuhan datang melalui mimpi. Sang Malaikat menyampaikan pesan Ilahi, katanya: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka. Semuanya itu terjadi supaya digenapi yang difirmankan Tuhan melalui nabi, ‘Sesungguhnya anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel.’ Yang berarti: Allah menyertai kita.” (Matius 1:20-23)

 

Lagi-lagi kesalehan Yusuf diperlihatkan. Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan Malaikat Tuhan itu kepadanya. Tanpa ragu ia mengambil Maria sebagai isterinya! Yusuf mau mengesampingkan mimpi-mimpinya. Ia memberi ruang kepada karya agung Allah untuk penebusan manusia. Bahkan bukan saja memberi ruang, Yusuf mempersilahkan Tuhan memakai semua prioritas utama di dalam hidupnya untuk kelahiran Sang Imanuel itu.

 

Beberapa bulan setelah itu, Havi Carel, memutuskan sumber daya dan kepandaian yang ia miliki, yakni filsafat. “Aku berpikir bagaimana filsafat dapat menolongku sekarang? Kalau tidak apa gunanya aku mempelajari itu semua? Aku tahu, masa depan sangat terbatas, tetapi aku masih bisa menemukan kebahagiaan saat sakit sekalipun dengan menggunakan ilmu yang telah kupelajari.” Kini, ia dapat berdamai meski itu terasa berat. Untunglah pada 2007, ada penemuan obat baru yang dapat menstabilkan kondisinya. Awan hitam mulai tersibak, prediksi umurnya menjadi jauh lebih positif. Havi mengaku sangat lega dirinya mengalami semuanya itu. Namun, dia juga berkata, “Kita kira, kita akan selalu ingat untuk tidak merisaukan masalah sepele dan menikmati setiap saat seolah itu yang terakhir…” Dengan pemahaman ini Havi menghitung hari-hari itu sangat berharga. Betapa tidak, hidupnya telah diprediksikan sepuluh tahun lagi!

 

Havi berubah karena pengalaman itu, lebih dari itu konsep filosofi hidupnya juga berubah. Dia tidak lagi tertarik pada filsafat yang ia banggakan sebagai topik “akademis dan sangat khusus”, yang terpenggal dari masalah kehidupan praktis. Kini, ia Menyusun program baru untuk memberikan “perangkat filosofis” di Layanan Kesehatan Nasional bagi orang-orang yang terjangkit penyakit berat.

 

Yusuf, Havi, dan masih banyak lagi orang-orang lain – sangat mungkin juga Anda yang merelakan prioritas hidupnya untuk berubah. Mimpi-mimpinya diganti dengan memberi ruang bagi karya yang lebih besar. Karya yang bukan untuk kepentingan dan pengembangan diri sendiri meskipun hal itu adalah tindakan yang mulia. Ketika kita berani memberikan prioritas pribadi untuk dipakai bagi karya agung Tuhan untuk kebaikan sesama pasti Tuhan akan menyertai kita. Imanuel!

 

Jalan yang dilalui Yusuf, Maria, Havi dan banyak lagi yang lainnya bukan jalan mulus. Terjal dan kadang akrobatik. Namun, Allah yang memakai jalan-jalan itu ternyata tidak tinggal diam. Ia terus memberi kemampuan kepada mereka yang bersedia menyambutnya, hingga pada akhirnya mereka akan menemukan makna hidup yang lebih besar ketimbang memperjuangkan diri, keluarga dan kelompoknya saja.

 

Minggu ini adalah penantian terakhir. Adven ke-4 yang mendorong kita semakin setia untuk menantikan kedatangan-Nya. Menantikan Sang Imanuel dengan percaya dan bersyukur berarti juga mau memberi ruang kepada karya Tuhan dalam hidup kita meskipun ruang yang kita berikan itu mengusik rasa nyaman dan aman kita. Ruang yang kita berikan itu bisa saja menggeser prioritas hidup kita, namun percayalah hal itu tidak akan mencelakakan kita, alih-alih akan membuat kita terpesona dengan karya Allah yang dahsyat itu. Jadi, bersyukurlah!

 

 

Jakarta, Minggu Adven ke-4, Tahun A 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar