Rabu, 30 November 2022

MENANTI TUHAN UNTUK SIAP DITAMPI

Sebagian besar generasi Z apalagi generasi Alpha mungkin tidak mengenal kata kerja “menampi”, apalagi yang tinggal di kota besar dengan hiruk-pikuk aktivitas metropolis yang erat kaitannya dengan perangkat-perangkat modern. 

 

Penampian merupakan metode atau cara memisahkan gandum, beras, biji-bijian dari kulitnya atau sekam. Cara kerja ini dikembangkan dalam peradaban kuno. Kegiatan menampi dilakukan dengan cara melemparkan hasil panen yang sudah dikeringkan ke udara, memberi kesempatan kepada angin untuk meniup sekam yang ringan sehingga yang tersisa adalah bulir yang berisi. Selain tenaga untuk melempar hasil panen dalam tampi atau nyiru, angin merupakan unsur yang penting. 

 

Menampi adalah kegiatan memisahkan bulir padi, gandum atau hasil panen yang lain dari sekam dan kotoran yang tidak diperlukan agar dapat dimanfaatkan atau dikonsumsi. Kegiatan menampi adalah proses menyeleksi antara yang bermanfaat dan sampah tidak berguna. Tentu saja ada konsekuensi dari hasil proses seleksi itu: bulir yang berisi dimanfaatkan sebagai bahan konsumsi dan sebagiannya digunakan sebagai benih untuk musim tanam mendatang. Sedangkan sekam dalam tradisi kuno biasanya dibakar. Beruntunglah sekam dalam era modern dapat digunakan sebagai pupuk organik atau diolah menjadi campuran bahan makanan ternak.

 

Metafor alat penampi dipakai Yohanes Pembaptis untuk mengajak umat Tuhan serius dalam perilaku kehidupan mereka ketika ia meyakini sebagai orang yang dipersiapkan Allah membuka jalan bagi kedatangan Sang Mesias, “Alat penampi sudah di tangan-Nya. Ia akan membersihkan tempat pengirikan-Nya dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung, tetapi debu Jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan.” (Matius 3:12).

 

Ada proses selektif, pemilahan antara orang-orang yang serius hidup dalam kesalehan dengan orang-orang yang sembrono dalam hidup mereka. Tampaknya antara kedua kategori ini: bulir dan sekam sepintas sama, mereka bercampur dengan pekerjaan lahiriah yang sama serta tampaknya menghidupi tradisi yang sama. Akan tiba harinya Allah akan memisahkan bulir gandum dari sekam. Orang-orang yang setia hidup dalam kesalehan dan takut akan Tuhan digambarkan seperti bulir gandum yang berisi, berguna dan berharga. Bulir gandum yang berisi itu akan ditempatkan dalam lumbung milik-Nya. Lumbung itu tidak melulu harus digambarkan dengan tempat, melainkan persekutuan dengan orang-orang percaya dengan Allah.

 

Siapa pun tidak pada masa penampian itu tidak menginginkan berada pada posisi sekam dan jerami yang berujung pada api pembakaran. Mengerikan! Untuk itu, Yohanes Pembaptis menyerukan pertobatan. Hanya melalui pertobatanlah umat akan terhindar dari malapetaka di hari penghakiman itu. 

 

Lalu, pertobatan seperti apa? Jelas, pertobatan yang dimaksud bukan sekedar wacana dan berhenti pada niatan saja. Melainkan, harus diteruskan dalam perilaku dan tindakan nyata. Sia-sia saja kalau pertobatan itu hanya sekedar pura-pura. Tidak ada yang dapat berpura-pura di hadapan Tuhan. Proses pertobatan yang sesungguhnya dimulai dengan kesediaan meninggalkan dosa atau perilaku yang tidak berkenan di hadapan Allah, meskipun itu menyenangkan. Tidak ada gunanya seseorang bertobat tetapi masih saja senang melakukan perilaku yang salah.

 

Pertobatan bukan sekedar perasaan dan sikap emosional. Orang bisa saja tersentuh dan menyadari keselahannya ketika mendengar firman Tuhan diberitakan. Ia bisa menangis dan menyesal pada saat beribadah. Namun, bagaimana setelah itu? Apakah ia bertekad untuk benar-benar mewujudkan pertobatannya itu? Apakah ia tidak lagi menggunakan alasan-alasan pembenaran ketika ia tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan? Setiap pertobatan itu akan bermuara pada perilaku yang berubah. Berubah ke arah yang lebih baik. Tidak hanya sekedar “stop”, berhenti melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, tetapi menata ulang, memperbaiki apa yang salah dan berjuang menaati apa yang dikehendaki Allah, meskipun tidak mudah!

 

Pertobatan itu, ditandai dengan buah-buah pertobatan. Sebagaimana buah dari suatu pohon, ia dapat dilihat, dirasakan dan manfaatnya diserap oleh tubuh. Maka, pertobatan itu bukan hanya sedap dilihat, enak didengar, tetapi lebih jauh dari itu: punya manfaat bagi tubuh yang memakannya. Jadi, jika Anda sebagai seorang pekerja, lakukanlah tugas pekerjaan dengan baik. Jangan hanya melakukan pekerjaan ketika ada atasan atau bos. Jangan mengambil apa yang bukan hak Anda, cukupkanlah dengan gajimu. Berusaha membantu teman-teman Anda yang sedang membutuhkan pertolongan. Berhemat bukan dalam arti pelit, namun sebagai pertanggungjawaban terhadap berkat yang Tuhan titipkan.

 

Sebagai pedagang dan pebisnis, lakukanlah usaha Anda dengan jujur. Jangan melakukan markup dan segala macam bentuk kecurangan demi mengejar keuntungan. Jual dan hasilkan produk-produk yang berguna untuk orang lain. Jangan mempromosikan barang-barang yang tidak bermutu dengan janji-janji selangit. 

 

Sebagai dokter, lakukanlah pekerjaan pemulihan. Benar, untuk menjadi dokter perlu biaya mahal. Namun, adalah lebih mulia ketika kompetensi, waktu, dan tenaga Anda dipakai untuk benar-benar menjadi alat di tangan Tuhan memulihkan orang-orang yang terluka dan sakit. Rawatlah dan obatilah mereka layaknya Anda merawat Yesus Kristus yang terluka dan sakit.

 

Sebagai guru, penegak hukum, politisi, dan apa pun juga profesi Anda, lakukanlah dengan sungguh-sungguh sama seperti untuk Tuhan. Jauhkanlah dari keinginan-keinginan untuk memperkaya diri dan menjadikan orang lain obyek. 

 

Sebagaimana buah, ia akan muncul dari sebuah proses, demikian juga dengan buah pertobatan. Buah pertobatan bukanlah dipahami sebagai syarat seseorang terseleksi dan ditempatkan dalam “lumbung” Allah. Bukan syarat! Melainkan, dampak dari seseorang yang sungguh-sungguh bertobat. Perubahan hidup yang lebih baik dan menghasilkan buah pertobatan bukanlah sesuatu yang membebani hidup kita, yang membuat kita kelelahan dan tidak sanggup menanggungnya. Bukan! Ini tidak memberatkan karena akan terjadi dengan sendirinya. Pada akhirnya, yang menentukan kita menghasilkan buah pertobatan atau tidak adalah komitmen dan konsistensi kita dalam pertobatan!

 

Dalam bayangan Yohanes Pembaptis ketika ia menyerukan pertobatan, waktunya tidak banyak. Mendesak! Demikian juga ketika suara Yohanes ini sampai kepada kita, waktu kita tidak banyak. Waktunya sangat mendesak untuk kita segera berbenah diri. Sebab, selalu diingatkan kepada kita bahwa kedatangan Tuhan terjadi tiba-tiba, seperti pencuri yang datang di malam hari. Maka, setiap saat kita harus berbenah diri. 

 

Pakailah waktu yang masih Tuhan percayakan kepada kita untuk berbenah. Mumpung masih ada waktu, jadilah bulir gandum yang berisi dan bukan yang hampa. Dengan demikian kapan pun waktunya kita siap ditampi. Nantikanlah Tuhan dengan persiapan diri, bersukacitalah dan bukan dengan takut.

 

 

 

Jakarta, Minggu Adven ke-2 Tahun A 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar