“Tentu saja, di kehidupan nanti dalam keabadian saya akan kembali bersamanya. Ia seorang yang sangat kurindukan. Kasih sayang dan perhatian tidak pernah kuragukan. Dia itu benar-benar belahan jiwa saya, tidak ada dan tidak mau yang lain”, demikian kurang lebih ungkapan hati seorang janda ketika mengenang dan merindukan mendiang suaminya yang sudah pergi sepuluh tahun yang lalu. Ya, saya kira setiap orang yang mengalami kebahagiaan dalam hidup pernikahan akan merindukan bahwa suatu saat di keabadian nanti akan kembali hidup bersama, bahkan dalam kehidupan kekal itu akan lebih mengukuhkan kebahagiaan yang mereka alami di dunia ini.
Bagaimana jika sebaliknya? Kehidupan pernikahan yang diwarnai dengan konflik berkepanjangan. Selalu terjadi salah paham dan tidak jarang perlakukan kekerasan dalam rumah tangga. Cerai tidak memungkinkan karena tidak diizinkan oleh aturan agama. Jika terus dipertahankan mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa! Lalu, pertanyaannya apakah dalam keabadian, kehidupan seperti ini akan diteruskan? Adilkah Tuhan, jika di dunia ini sudah kenyang dengan penderitaan kemudian dilanjutkan dengan episode berikutnya. Ya, episode yang tidak pernah berakhir!
Saya kira sikap kebanyakan orang menginginkan kebahagiaan itu langgeng, jangan pernah berakhir. Sebaliknya, penderitaan itu harus diputus. Tidak boleh berlama-lama! Tidak ada seorang pun yang bermimpi jika hidup perkawinan mereka saat ini berantakan penuh dengan konflik dan tidak menyenangkan lalu dilanjutkan di alam sesudah kematian.
Kelompok Saduki bertanya kepada Yesus tentang siapakah dari tujuh lelaki yang memperistri perempuan yang sama yang kelak akan menjadi suaminya di alam kebangkitan. Pertanyaan ini adalah pertanyaan jebakan. Ya, pertanyaan yang mengolok-olok karena pada dasarnya mereka tidak percaya akan kebangkitan. Mereka hanya percaya bahwa manusia hidup satu kali dan sesudah itu mati, titik! Pertanyaan ini mengandaikan bahwa kehidupan dalam kebangkitan adalah sama seperti yang sedang mereka jalani di dunia. Di alam kebangkitan itu, manusia meneruskan apa yang terjadi di dunia. Jika ia menikah dengan si A, maka di sana pun ia hidup sebagai suami-istri seperti di dunia.
Kelompok Saduki memilih tema konkret yang memang bisa terjadi dan ada legitimasinya tentang pernikahan hukum levirate (Ulangan 25:5-10). Tetapi sesungguhnya maksud mereka melampaui pernikahan itu sendiri. Mereka bertanya tentang bagaimana hidup sesudah kematian itu? Maka jawaban Yesus tentu saja bukan pemecahan tentang status pernikahan suami-istri atau pun perbedaan jenis kelamin dalam alam kebangkitan itu. Dari seluruh jawaban Yesus dapat disimpulkan bahwa hidup di bumi bukanlah model hidup di era kebangkitan. Hidup itu diubah sama sekali menjadi suatu kehidupan baru di dalam Allah.
Sebelum sampai pada kesimpulan bahwa hidup di dunia ini bukan model hidup dalam era kebangkitan, jawaban Yesus memuat dua hal. Pertama, cara hidup baru yang dialami oleh mereka yang dibangkitkan. Yesus memberikan kontras hidup orang-orang di dunia ini dan hidup mereka yang dibangkitkan. Dalam alam kebangkitan, cara hidup manusia diubah. Mereka tidak kawin dan dikawinkan. Lalu, seperti apakah hidup mereka yang dibangkitkan? Mereka sama seperti para malaikat. Mereka adalah anak-anak Allah. Anak-anak yang tentu saja bukan sekedar sebutan, melainkan memiliki relasi yang sangat baik dengan Allah. Anak-anak yang tunduk, menghormati dan beribadah total kepada-Nya.
Allah sanggup mengubahkan, Allah sanggup menciptakan segala sesuatu menjadi baru. Hidup manusia pun ada dalam kuasa Allah. Ia berkuasa untuk mengubahkan menjadi hidup yang baru. Menyangkal hal ini berarti menyangkal kemahakuasaan Allah!
Kedua, yang disampaikan Yesus adalah perihal kebangkitan itu sendiri. Kelompok Saduki adalah mereka yang hanya berpegang pada kitab Taurat Musa. Kitab lainnya bukan sumber otoritas buat mereka. Kali ini, Yesus menjawab dan mengutip apa yang disampaikan Musa – yang secara tradisi merupakan orang yang menulis Taurat. Tentang kebangkitan itu, Musa telah memberitahukannya. Allah menyatakan diri-Nya kepada Musa dalam semak berduri. Semak itu menyala tetapi tidak terbakar. Di dalam penampakan itu, Allah menyatakan diri sebagai “Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub” (Keluaran 3:6). Sampai di sini, iman kepada Allah yang hidup tentu dapat diterima oleh kelompok Saduki. Namun, bukankah Abraham, Ishak, dan Yakub sudah mati? Kutipan Taurat ini sepintas membenarkan apa yang menjadi keyakinan Saduki bahwa tidak ada kebangkitan. Allah memang hidup, tetapi nenek moyang mereka mati.
Dalam percakapan itu, Yesus memperjelas, “Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.” (Lukas 20:38). Maksudnya, Allah bukanlah Allah Abraham, Ishak, dan Yakub ketika mereka masih hidup. Namun, meskipun kini Abraham, Ishak, dan Yakub sudah mati, tetapi relasi Allah dengan mereka tidak terputus oleh kematian. Nama mereka tetap disebut, ini menandakan bahwa bagi Allah mereka eksis, mereka ada dan tidak mati. Mengapa? Sebab, Allah adalah Allah orang hidup dan bukan Allah orang-orang mati. Dengan jawaban itu maka jelaslah bahwa kebangkitan itu nyata!
Dengan mengutip Keluaran 3:6 itu, Yesus menunjukkan bahwa Taurat sendiri sudah berbicara tentang kebangkitan orang mati. Kalau Allah sampai pada zaman Musa masih menyatakan diri sebagai Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, itu berarti bahwa para bapa leluhur bangsa Israel tetaplah hidup.
Jawaban Yesus membungkam pertanyaan dan argumentasi jebakan dari kelompok Saduki. Dan, tentu saja kita meyakini apa yang disampaikan Yesus sebagai sebuah kebenaran bahwa tidak benar tidak ada kebangkitan, benar bahwa Allah adalah Allah yang hidup! Lalu, apakah kebenaran terhadap keyakinan ini hanya berhenti sebagai sebuah argumen sanggahan untuk mematahkan ketidakpercayaan akan kebangkitan? Mestinya, sebuah keyakinan akan teruji benar ketika tampak dalam kehidupan.
Allah yang hidup untuk orang-orang hidup merupakan sumber inspirasi bagi kita khususnya pada saat-saat sulit, saat badai menerpa, yang oleh kebanyakan orang ditanggapi dingin dan pesimis. Allah seolah mati: diam dan tidak berdaya! Keyakinan kepada Allah yang hidup berarti Allah tidak tinggal diam, bukankah ciri kehidupan itu tidak diam? Dia ada dan terus berkarya. Relasi kita yang terhubung baik dengan Allah tidak hanya merasakan, tetapi juga mengalami bahwa Dia selalu ada dan peduli!
Sentuhannya akan kita rasakan dan alami lewat orang-orang di sekitar kita, peristiwa demi peristiwa, dan bahkan di tengah kegetiran hidup itu kita masih meraih makna darinya. Andaikan saja tiba waktunya kita mengakhiri kehidupan ini, ingatlah seperti yang dinyatakan Yesus bahwa Allah adalah Allah Abraham, Ishak, dan Yakub. Mereka secara fisik telah mati namun, Allah tetap mengingat mereka. Allah adalah Allah yang hidup untuk mereka. Di hadapan Allah, mereka hidup.
Keyakinan bahwa Allah adalah Allah yang hidup akan menolong kita untuk berbagi kehidupan dengan sesama maupun semesta ciptaan-Nya. Karena di depan dia “semua orang hidup”, semua ciptaan diingat dan diindahkan-Nya. Allah yang hidup akan menghidupkan setiap potensi kita agar mampu menghadirkan menjadi menolong dan memberkati setiap citaan yang lain.
Jakarta, 4 November 2022, Minggu Biasa, tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar