Kamis, 27 Oktober 2022

KELUARGA YANG MEMILIKI HIDUP YANG BERDAMPAK

Apa yang Anda bayangkan dengan istilah “hidup yang berdampak?” Tentu saja masing-masing kita punya persepsi tentang hidup yang berdampak. Namun, pada umumnya kita akan sepakat bahwa hidup yang berdampak itu adalah hidup yang membawa pengaruh positif bagi orang-orang yang ada di sekitar kita. Terang dan garam dunia, istilah Alkitabiahnya!

 

Jelas tidak mudah. Hidup yang berdampak tidak sekedar hidup, melainkan hidup yang bermakna. Ini gampang-gampang susah. Gampang untuk diomongin namun tidak mudah untuk dijalani. Mengapa? Karena yang sebenarnya kita hadapi adalah diri sendiri dengan segala keinginan dan ambisinya. Salahkah punya keinginan dan ambisi? Oh, jelas tidak. Justru kita sedang bermasalah apabila tidak punya keinginan dan ambisi. Menjadi keliru kalau keinginan dan ambisi itu terpusat pada diri sendiri, kita akan menjadi orang yang egois, selfish dan ambisius.

 

Jack Skeen, Greg Miller dan Aaron Hill dalam bukunya “The Circle Bluprint” mengambil dua figur sosok yang berdampak dalam dunia. Mereka adalah orang-orang biasa yang berjuang untuk kepentingannya, namun ketika mereka berhasil mengubah atau tepatnya memperluas lingkaran perjuangan mereka, dampaknya dahsyat! Sampai saat sekarang apa yang mereka perjuangkan terus menginspirasi, memotivasi dan menjadi sumber rujukan banyak orang. Perjuangan mereka tidak sia-sia, meski mereka mati terbunuh!

 

Mahatma Gandhi mulai hidup dewasanya sebagai pengacara, tetapi kariernya biasa-biasa saja. Ia sangat sadar dan malu bahwa ia tidak dapat berbicara dalam persidangan di pengadilan. Orang-orang menjadikannya lelucon sehingga membuatnya kesulitan mendapat pekerjaan. Ketika ia mendapatkan pekerjaan di Afrika, ia merasa terganggu dengan perlakuan pemerintah kulit putih terhadap orang-orang di sekitarnya. Perhatiannya terhadap sesama memicunya untuk tidak hanya berpikir tentang diri sendiri, ia memperluas dan menyeimbangkan lingkarannya menuju pilihan baru. Dibanding berpenampilan dan berperilaku seperti orang Inggris, ia mulai memakai busana asli tanah airnya. Ia sering mengunjungi orang sebangsanya di rumah sakit. 

 

Perlahan namun pasti, pikiran Gandhi tidak melulu mengenai hidup dan karyanya sendiri, melainkan bangsanya. Ia ingin memerdekakan India dari tangan penjajah Inggris. Ini yang sekarang menjadi perjuangannya, bukan bagaimana ia menjadi pengacara top. Apa yang terjadi kemudian? Pengacara yang kurang berkompeten ini sekarang memimpin sebuah negara dalam gerakan perlawanan tanpa kekerasan dan menjadi seorang panutan bagi banyak orang di seluruh dunia. Hidupnya berdampak!

 

Demikian pula dengan Martin Luther King Jr. yang merupakan seorang pengkhotbah di kotanya. Ia tidak hanya berpikir bagaimana menjadi seorang pendeta yang hebat. Bagaimana khotbah-khotbahnya dikagumi. Tidak! Ia memperluas lingkaran perjuangannya, bukan untuk diri sendiri dan keluarganya. Ia berjuang tentang hak-hak sipil untuk semua orang Afrika-Amerika, ia memperoleh tempat dalam sejarah Amerika Serikat bahkan dunia, sebagai orang yang berpengaruh. Orang yang berdampak bagi nilai-nilai kemanusiaan!

 

Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr. tidak sendirian – entah tak terbilang jumlahnya laki-laki dan perempuan yang mungkin dipandang dunia biasa-biasa saja, ketika mereka bersedia memerluas lingkaran perjuangan dan keprihatinannyabukan hanya untuk pemenuhan egoisme diri tetapi untuk kepentingan banyak orang – mereka telah menjadi garam dan terang dunia. Hidup mereka berdampak!

 

Hidup Anda dapat berdampak! Ya, benar Anda dan saya adalah orang-orang biasa, tidak lebih dari kebanyakan orang. Namun, bukankah Allah dapat memakai apa yang biasa menjadi luar biasa asalkan kita bersedia diubahkan.  Zakheus dalam bacaan Injil hari ini mengingatkan kita akan hal itu. Ya, benar kita tidak sekaya Zakheus dan kita juga bukan pemungut cukai. Begini yang saya maksud; Zakheus sebagaimana lazimnya banyak orang berusaha untuk memenuhi keinginan dan ambisinya. Ia memperkaya diri melalui posisi jabatannya. Ia memeras dan bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Hidupnya berdampak, iya! Sayangnya, dampak buruk: Ia punya reputasi sebagai pendosa dan penghianat bangsanya. 

 

Meskipun demikian Zakheus masih punya hati untuk bertemu dengan Yesus. Entah apa yang ada dalam bayangannya tentang Yesus, Alkitab bungkam mengenai hal ini. Kita dapat menduganya, bahwa keinginan kuatnya untuk berjumpa dengan Yesus bukan seperti keinginan Herodes yang bernafsu melihat tanda yang dilakukan Yesus (Lukas 22:11). Bagaimana pun juga perlu disadari posisi Zakheus adalah sosok yang sedang dibenci dan dikucilkan masyarakat Yahudi. Maka, keinginannya untuk melihat Yesus berangkat dari niat baik. Ia ingin berbicara dan diterima oleh Yesus.

 

Ternyata, Yesus memahami niat Zakheus itu. Alih-alih mengucilkan dan ikut melabeli sebagai orang berdosa, Yesus meminta Zakheus turun dan menyiapkan hidangan di rumahnya. Sontak, Zakheus bereaksi cepat. Meski ia menyadari ketidak-layakkannya untuk menerima seorang yang suci seperti Yesus ini, namun hatinya bergembira. Tentu apa saja yang paling lezat di rumahnya ia hidangkan untuk orang yang istimewa ini. Mungkin saja, di hati Zakheus bergumam, “Tepat apa yang dikatakan banyak orang bahwa Yesus mau menerima orang yang berdosa!” 

 

Zakheus menerima Yesus dengan sukacita. Sukacita itu menjadi tanda penyelamatan. Lukas tidak mencatat bahwa Zakheus beriman namun perbuatannya nyata menampakkan dan memancarkan iman seorang berdosa yang disambut Yesus Kristus. Namun sayang, sukacita ini tampaknya tidak menjadi bagian dari semua orang yang menyaksikan perjamuan itu. Mereka bersungut-sungut melihat Yesus mau memenuhi undangan perjamuan makan Zakheus. Mereka tidak rela apabila si pendosa itu duduk satu meja dengan Tuhan yang Mahakudus! Bukankah kita juga sering bersikap seperti orang banyak itu? Mencibir apabila ada orang  berdosa mendapat berkat!

 

Titik perubahan radikal terjadi. Zakheus tidak peduli apa kata orang tentang dirinya. Ia berdiri dan mengatakan bahwa setengah dari hartanya akan ia jual dan hasilnya diberikan untuk orang-orang miskin. Dan, sekiranya ada orang yang pernah ia peras, ia akan mengembalikannya empat kali lipat! Perubahan dahsyat! Hidup yang tadinya berorientasi pada kepuasan diri dengan memperkaya diri dengan cara memeras bangsanya sendiri dan bekerja sama dengan penjajah, kini berubah total. Zakheus rela melepaskan kekayaannya sebagai dampak dari perjumpaannya dengan Yesus. Ya, perjumpaan yang menghasilkan pertobatan dan pertobatan yang menghasilkan buah. Buahnya kehidupan yang berdampak bagi banyak orang.  Hidupnya kini bukan untuk dirinya, melainkan memberi dampak untuk kesejahteraan orang lain.

 

Bagaimana dengan kehidupan kita? Setelah sekian lama kita mengikut Yesus, apa memberi dampak yang positif dalam kehidupan sehari-hari? Jangan harap anak-anak akan tumbuh dan memberi dampak positif terhadap teman-temannya bila setiap hari mereka menyaksikan keegoisan dan superioritas orang tuanya. Jangan berharap keluarga-keluarga Kristen membawa dampak positif dalam masyarakat ketika setiap anggota-anggota keluarganya hanya sibuk dengan urusan diri sendiri dan tidak terbiasa melayani satu terhadap yang lainnya.

 

Keluarga yang memiliki hidup yang berdampak harus dimulai dari diri sendiri. Perjumpaan dengan Kristus seharusnya mengubahkan setiap anggota keluarga untuk tidak hanya mementingkan kepentingannya sendiri, melainkan mengutamakan kepentingan bersama dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Rela menanggalkan kepentingan sendiri demi menolong dan memberdayakan sesama yang sedang membutuhkan. Semoga ini bukan sekedar tema, melainkan menjadi motivasi kita hidup di dalam Kristus!

 

 

Jakarta, 27 Oktober 2022. Minggu Biasa Tahun C

Tidak ada komentar:

Posting Komentar