Dua minggu lalu, Melody masih ke gereja, ia aktif jalan ke sana ke mari. Kini, ia telah tiada! Melody sempat demam dan diberi obat syrup penurun demam. Tidak kunjung membaik sehingga ia dibawa ke dokter. Tiga hari ia ditangani tetapi tidak ada tanda-tanda perubahan dan akhirnya semua pemberian obat pun dihentikan. Dokter melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap Melody hingga akhirnya anak dua tahun, tujuh bulan itu diketahui menderita gagal ginjal akut misterius.
Curie Mamonto Loho, tidak sendirian. Masih ada ratusan ibu yang meratapi anak-anaknya yang meninggal karena gagal ginjal akut yang mulai merebak di tanah air sekitar enam bulan lalu. Penyakit ini diberi nama gagal ginjal akut misterius oleh karena para ahli kesehatan belum tahu secara akurat apa yang menjadi penyebabnya. Ada dugaan zat berbahaya etilen glikol (ED) dan dietilen glikol (DEG) di atas ambang batas dalam syrup obat penurun demam yang menjadi pemicu gagal ginjal. Ini pun masih dalam penyelidikan.
Pilu keluarga Curie dan ratusan ibu lainnya, menjadi duka bagi keluarga dan bangsa ini. Anak-anak seharusnya tumbuh dengan ceria, mereka sedang “lucu-lucunya” dan, dalam waktu sekejap mereka layu dan tidak ada lagi! Salah siapa?
Sangat mungkin para orang tua menjaga dengan sebaik-baiknya buah hati kesayangan mereka. Tim medis dan para dokter sudah pasti menangani anak-anak yang sakit ini dengan serius sesuai dengan SOP yang berlaku. Demikian pula dengan industri farmasi, pasti tidak akan gegabah mencampur bahan-bahan tertentu sehingga menjadi obat-obatan yang diedarkan di masyarakat. Tampaknya masih membutuhkan kerja keras untuk mengungkap misteri dari penyakit ini.
Pilu dapat menimpa keluarga siapa pun. Sakit, apalagi sampai kehilangan buah hati meninggalkan luka dan trauma mendalam. Setiap manusia tidak ada yang steril dari duka dan air mata. Tidak peduli apakah orang tersebut taat beragama atau tidak. Apakah ia rajin melayani di gereja atau seorang yang tidak peduli dengan ibadah, penderitaan tidak bisa dielakkan. Kalau demikian, apa gunanya hidup beribadah dan melayani jika pada akhirnya sama saja: manusia dapat mengalami penderitaan?
Ada satu hal lebih yang didapat dalam kehidupan orang-orang percaya ketika mereka mengalami musibah dan penderitaan. Hal tersebut adalah makna! Penderitaan mempunyai makna, artinya dalam penderitaan itu kita masih mampu melihat hal-hal yang baik yang sudah, sedang dan akan Tuhan kerjakan. Kesulitan hidup itu menjadi bermakna oleh karena ketika melewatinya kita merasakan bahwa ada tangan perkasa yang menolong dan menopang kita, tangan Tuhan yang tidak terlihat itu. Duka pilu itu menjadi bermakna untuk ke depannya kita lebih menghargai lagi tentang kehidupan dan kebersamaan.
Contoh penderitaan yang mempunyai makna: Paulus merefleksikan penderitaannya sebagai sesuatu yang bermakna. Ibarat pertandingan, ia telah menyelesaikannya. Kesulitan yang dialaminya bagaikan memurnikan iman yang ia pegang teguh dan kini, ia bisa mengatakan bahwa hidupnya merupakan persembahan bagi Tuhan yang ia percayai. Kekuatan untuk menyelesaikan “pertandingan” itu adalah dari Tuhan sendiri, “…tetapi Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku,…” (2 Timotius 4:16)
Untuk dapat memaknai penderitaan secara benar tentu saja tidak mudah. Tidak semudah kita menganggap bahwa penderitaan itu adalah hukuman Tuhan dan untuk menghentikannya maka pertobatan adalah obat yang manjur! Benar, ada banyak penderitaan yang disebabkan karena dosa dan kesalahan manusia. Namun, ada juga penderitaan oleh karena unsur-unsur alamiah seperti tubuh yang semakin menua dan jompo. Tidak sedikit orang menderita karena mempertahankan iman dan kebenaran yang ia pegangi. Untuk alasan apa pun, kita membutuhkan pertolongan Tuhan dalam menghadapi pergumulan dan penderitaan. Kita memerlukan keyakinan bahwa Allah tidak tinggal diam, Dia adalah Allah yang peduli. Sehingga di badai yang mengamuk sekali pun, kita percaya bahwa Allah sanggup menolong.
Hal yang positif, tentang Allah yang sanggup menolong sering kali kita ragukan ketika badai itu menerpa. Ini seperti pengalaman umat Israel di masa-masa sulit mereka, “Mengapa Engkau seperti orang yang bingung, seperti pahlawan yang tidak sanggup menolong?” (Yeremia 14:9). Kita hanya fokus pada masalah dan penderitaan yang sedang kita alami. Kita lupa bahwa Allah jauh melampaui kesesakan apa pun yang kita alami. Untunglah, narasi Yeremia tidak berhenti dalam meragukan kuasa Allah yang dapat menolong. Di tengah derita karena kekeringan yang berkepanjangan itu, suatu pengharapan muncul, “Adakah yang dapat menurunkan hujan di antara dewa kesia-siaan bangsa-bangsa itu? Atau dapatkah langit sendiri memberi hujan lebat? Bukankah hanya Engkau saja, ya TUHAN Allah kami, Pengharapan kami, yang membuat semuanya itu?” (Yeremia 14:22).
Adalah sangat mungkin kita seperti bangsa Israel yang fokus pada kering-kerontang. Derita! Kita lupa bahwa ada penguasa di balik ganasnya kegersangan itu. Ya, Dia Sang Pencipta hujan, bukan langit, meskipun hujan itu datangnya dari langit! Jangan melulu fokus pada jantung derita, fokuslah kepada Sang pemberi pengharapan. Allah!
Untuk dapat memahami kemurahan Allah yang memberi pengharapan kita membutuhkan kerendahan hati, tepatnya merendahkan dan menyangkal diri di hadapan Tuhan. Sikap merendahkan diri di hadapan Tuhan tercermin dalam sikap religius seseorang. Yesus memberi gambaran tentang dua sikap religius dalam sebuah perumpamaan. Sikap religius orang Farisi dan pemungut cukai.
Orang Farisi dan pemungut cukai yang diperkenalkan dalam perumpamaan ini (Lukas 14:9-14) boleh saja dipandang sebagai wakil dua jenis sikap religius Yahudi pada zaman itu. Tetapi tentu saja, mereka bukan wakil mutlak, sebab tidak semua orang Farisi dan tidak semua pemungut cukai sama seperti kedua tokoh yang digambarkan melalui perumpamaan Yesus itu. Sangat mungkin ditemukan ada banyak orang Farisi yang jauh lebih baik daripada yang digambarkan dalam perumpamaan itu. Sebaliknya, sangat mungkin ada banyak pemungut cukai yang tidak bertobat seperti dalam gambaran perumpamaan ini.
Jenis religius pertama yang ditampilkan orang Farisi adalah mereka yang selalu menganggap dirinya benar dan memandang orang lain salah, apalagi pemungut cukai. Pembenaran itu ia tunjukkan dengan doa yang berbentuk laporan yang isinya memaparkan dirinya sebagai orang saleh. Kita bisa menduga apa selanjutnya? Dari laporan kesalehan itulah mereka merasa punya hak untuk sebuah upah. Mereka merasa punya alasan kalau Tuhan harus mengganjar mereka dengan pelbagai berkat. Mereka akan sangat sulit dan bahkan menolak lalu marah kalau hidup mereka tidak diberkati bahkan harus menerima penderitaan. Seperti tipe religius ini, ketika kita merasa sudah melakukan ini dan itu, melayani ini dan itu, hidup saleh menurut aturan agama, maka kita tidak mudah menerima kalau hidup kita tidak diberkati. Kita merasa berhak untuk menerima berkat berkelimpahan dan menolak penderitaan.
Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh tipe religius kedua, yang ditampilkan sosok yang dipandang pendosa, seorang pemungut cukai. Ia tidak berani maju dan berdiri di depan. Bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, ia memukul diri dan katanya, “Ya Allah, kasihanilah aku orang yang berdosa ini.”(Lukas 18:13). Yesus menegaskan bahwa orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah.
Kerendahan hati dan penyangkalan diri merupakan kunci masuk kita merasakan berkat dan pertolongan Tuhan. Sebab, siapakah kita ini di hadapan Dia yang Mahakudus dan Mahakuasa. Di hadapan-Nya kita hanya mengharapkan belas kasihan, tidak ada jasa apa pun yang dengan itu Allah harus membayar kita. Dengan sikap rendah hati dan merendahkan diri di hadapan Allah, kita akan banyak menemukan makna kehidupan bahkan di balik penderitaan sekali pun.
Jakarta, 21 Oktober 2022, Minggu Biasa Tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar