Populasi orang Finlandia hanya sedikit di atas lima juta. Itu berarti separuh penduduk Jakarta. Negara Nordik mungil ini terletak jauh di sebelah utara sehingga jika musim dingin mereka hanya merasakan kehangatan sinar mentari cuma enam jam saja. Negara mungil ini sering kali diserbu oleh tetangganya. Selain negara dengan indeks korupsi paling baik, penduduknya tergolong paling bahagia, Finlandia juga dikenal sebagai salah satu bangsa yang paling tabah.
Kata “Sisu” dalam bahasa Finlandia memiliki arti “ketabahan”, ini bukan terjemahan sempurna. Ketabahan di sini memiliki pengertian Hasrat untuk mencapai cita-cita level puncak tertentu dan kegigihan untuk terus berjuang. Sisu, di lain pihak merujuk pada sumber kekuatan batin – semacam modal psikologis – yang diyakini oleh bangsa Finlandia sebagai pembawaan lahir mereka yang diwarisi dari nenek moyangnya. Sisu, secara harfiah, dapat berarti pembawaan lahir seseorang dengan nyali besar.
Sejarah mencatat sisu yang bersemayam dalam setiap batin orang Finlandia mampu bertahan melawan negara adidaya, Soviet. Perang musim dingin itu Finlandia mampu bertahan beberapa bulan – jauh lebih lama dari perkiraan Soviet atau siapa pun. Maka pada 1940, majalah Time mengulas tentang sisu : “Ini adalah gabungan antara unjuk kegagahan dan keberanian, kegarangan dan keuletan, kemampuan untuk terus bertempur dengan tekad untuk menang…”. Seorang penduduk Finlandia menjelaskan kepada wartawan New York Times, katanya: “Ciri khas orang Finlandia adalah sejenis orang yang keras kepala dan percaya bahwa ia bisa membalikkan nasib buruk dengan membuktikan bahwa ia sanggup bertahan meski dalam keadaan lebih buruk.”
Bukankah semangat seperti ini yang kita lihat pada Yakub. Padanya tergambar sosok yang tidak kenal menyerah untuk mendapatkan berkat, istri, dan apa yang diingininya. Hari ini, dalam bacaan pertama, Kejadian 32:22-31 kita menyaksikan episode menarik. Yakub bergumul dalam pergulatan di sungai Yabok dengan durasi yang panjang. Sampai fajar merekah! Siapakah yang bergumul dengan Yakub? Ada yang mengatakan itu malaikat Tuhan. Namun, ada yang menyebutnya bahwa Yakub bergulat dengan Allah sendiri. Yakub bergulat mati-matian dengan Allah untuk memperoleh berkat yang dijanjikan. Yakub menang! Apakah Allah kalah? Yakub menang bukan berarti Allah dapat dikalahkan. Allah mengizinkannya menang dengan pangkal paha yang terpelecok.
Kegigihan dan ketabahan Yakub akhirnya mendapat apa yang ia inginkan. Berkat! Ya, berkat sebagai bekal untuk dia dan keluarganya dapat kembali rujuk dengan sang kakak, Esau yang pernah dia khianati dua puluh tahun yang lalu. Sejelek-jeleknya Yakub, toh ia masih mempunyai kerinduan untuk berdamai dengan sang kakak. Ia menyadari bahwa pengembaraannya sekian puluh tahun itu selalu membawa kegelisahan, hati yang tidak damai.
Semangat juang, ketabahan dan kegigihan serupa tergambar dalam cerita perumpamaan Yesus. Sang Janda yang berjuang untuk haknya. Kini, janda itu berhadapan dengan seorang hakim yang tidak takut kepada siapa pun, bahkan kepada Allah. Janda itu berbuat apa saja supaya keluhannya didengarkan dan haknya dibela oleh sang hakim. Barang kali si janda ini dirugikan oleh seseorang yang merampas uang yang menjadi haknya, oleh karenanya ia tidak lagi mempunyai uang untuk menyogok si hakim. Padahal, mungkin saja lawan si janda ini adalah orang yang lebih kuat, berkuasa dan punya uang. Janda ini tidak meminta agar lawannya dihukum, tetapi supaya ia sendiri diperlakukan dengan adil.
Hakim menolak. Alasannya tidak disebutkan, bisa saja ia tidak suka pada janda itu yang begitu yakin akan dirinya. Namun, di pihak lain hakim ini tampaknya seorang Yahudi yang tahu bahwa keluhan para janda harus didengar. Hakim ini berpikir, bisa saja si janda itu nekad dan terus tidak berhenti mengganggunya, lalu mempermalukannya. Dengan perjuangan si janda ini kita melihat bahwa ketidak-peduliannya terhadap manusia dapat dipatahkan oleh ketahanan mental, kegigihan dan ketabahan si janda itu.
Perumpamaan ini dipakai Yesus untuk mengajar betapa pentingnya kegigihan dan ketabahan di dalam doa. Yesus tidak bicara tentang doa “non stop”, Ia tidak mengajarkan tentang berdoa yang tanpa berhenti, tetapi selalu berdoa dalam keadaan baik maupun buruk, tanpa peduli apakah ada yang merasa senang atau tidak, apakah doa terasa kering, monoton, dan tampaknya tidak berkembang. Tetapi doa seharusnya menjadi ciri khas dari pengikut Yesus. Bila sisu menjadi ciri khas bangsa Finlandia, maka kehidupan doa yang tekun dan serius seharusnya menjadi ciri dari setiap orang Kristen. Tidak dikatakan isi doa yang dipanjatkan. Tetapi dari konteks perumpamaan ini mudah diterka bahwa yang harus selalu didoakan ialah apa yang diajarkan Yesus sebelumnya, yakni kedatangan Anak Manusia dan Kerajaan Allah.
Yesus mengajarkan tentang ketekunan dan ketabahan di dalam doa bagaikan si janda tadi. Hakim yang tidak takut akan Allah saja dapat luluh oleh daya juang yang tidak kenal lelah, apalagi Allah. Ia jauh lebih mendengar dan mengindahkan setiap doa dari anak-anak-Nya. Dari seluruh konteks perjalanan Yesus menuju ke Yerusalem dan kelak apa yang terjadi pada murid-murid-Nya: penderitaan, aniaya dan kesengsaraan. Jelas, ketekunan doa yang dimaksud bukan berdoa untuk pemuasan keinginan diri. Bukan doa merengek minta mobil, rumah mewah, jabatan tinggi, handphone canggih dan sebagainya. Bukan itu!
“… μη αποκαμνωσι” dalam Lukas 18:1, bagian akhir diterjemahkan “tanpa jemu-jemu”, atau “putus asa”, biar pun tampaknya belum terkabul, para pengikut Yesus harus terus berdoa. Dari konteks pembicaraan dan ajaran Yesus dapat disimpulkan bahwa yang dituju dalam perumpamaan ini adalah mereka yang sudah yakin akan perlunya berdoa, tetapi menderita aniaya atau kesengsaraan yang berkepanjangan, sehingga semangat doa mereka mulai melemah. Mereka seharusnya punya sikap seperti janda dalam perumpamaan ini. Kalau janda itu berhasil, apalagi para pengikut Yesus! Mereka tidak berurusan dengan hakim yang tidak peduli, tetapi mereka berhadapan dengan Allah, Bapa yang peduli!
Yesus tidak ragu-ragu membandingkan Allah dengan hakim yang tidak adil. Bagaimana mungkin Allah tidak menanggapi seruan orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berdoa kepada-Nya. Ia tidak akan pernah mengulur-ulur waktu. Terkadang kitalah yang selalu tergesa-gesa ingin apa yang kita mau terpenuhi. Sekarang, yang dibutuhkan dari kita adalah kesediaan untuk terus bertekun, tabah dan tidak jemu-jemu berdoa. Itulah tanda bahwa kita beriman kepada-Nya.
Di akhir pengajaran melalui perumpamaan ini, Yesus bertanya, “Adakah iman di bumi?” Maksudnya adalah iman yang menjadi kekuatan doa yang tetap. Kalimat tanya ini berhubungan dengan ayat pembuka tentang perlunya berdoa. Dalam sastra apokaliptik Yahudi, sering dikatakan bahwa pada akhir zaman banyak orang akan murtad. Bagaimana dengan kita? Apakah iman kita cukup kuat untuk menjadi penopang dalam doa-doa kita. Sehingga, walau tampaknya tidak ada tanda-tanda jawaban doa itu, kita tetap terus berdoa? Ataukah kita mudah sekali putus asa dan meninggalkan kehidupan doa kita? Ajaklah seluruh keluarga kita untuk memiliki semangat juang dalam berdoa. Ajaklah seisi rumah kita untuk terus-menerus bertekun, bergumul bersama-sama dengan Allah.
Sama seperti Yakub yang gigih bergulat untuk berdamai kembali dengan Esau, sama seperti janda yang memperjuangkan haknya, begitulah kiranya kita mempunyai semangat dan ketabahan dalam kehidupan iman dan doa kita!
Jakarta, 13 Oktober 2022, Minggu Biasa Tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar