Jumat, 07 Oktober 2022

KELUARGA YANG MEMILIKI UCAPAN SYUKUR

Bersyukur bukan perkara asing dalam budaya kita. Syukur dan terima kasih adalah dua kata yang tidak terpisahkan. Sejak dari kecil kita diajari untuk mengucapkan terima kasih atas sekecil apa pun bantuan dan pemberian yang diberikan kepada kita. “Ayo, bilang apa?” Itulah bimbingan orang tua atau pengasuh waktu kecil ketika kita ditolong atau diberi sesuatu. Tentu saja orang tua kita mengharapkan jawaban, “Terima kasih!”

 

Bersyukur! Kata itu selalu terdengar dalam setiap peristiwa yang kita alami. Jangankan peristiwa menggembirakan seperti mendapat rejeki, bonus, naik pangkat, menempati rumah baru, pernikahan, kelahiran dan seterusnya. Dalam, peristiwa bencana dan petaka pun kita diajari untuk bersyukur. Misalnya, dalam sebuah kecelakaan. “Syukur, kamu masih selamat walau kendaraanmu hancur!” Bagaimana kalau terluka dan mengalami cacat tubuh? “Syukur, nyawamu masih tertolong!” Kali ini, bagaimana kalau meninggal? “Syukur, Tuhan memanggilmu, sebab kalau tidak kamu akan sulit melanjutkan kehidupan dengan menanggung sakit dan derita seperti ini!”

 

Syukur dan terima kasih meski telah hidup dalam budaya dan keluarga kita, namun tidak mudah untuk kita melakukannya dengan penghayatan yang tulus. Ada kalanya kita bersyukur sebatas tradisi latah yang berhenti pada ucapan bibir. Bagaimana dengan kedalaman hati kita? Sungguh-sungguhkah syukur itu menggema? Bukankah, ada banyak orang yang tidak tahu berterima kasih dan mengucap syukur meski mereka telah menerima banyak kebaikan demi kebaikan? Bukankah ada lebih banyak orang yang tidak tahu diri dan tenggelam dalam kebanggaan diri lalu merasa segala keberhasilan yang diraihnya itu adalah hasil usahanya sendiri? 

 

Apa yang dikisahkan dalam Injil yang kita baca hari ini (Lukas 17:11-19) setidaknya mewakili gambaran umum manusia. Diceritakan Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta. Namun, yang kembali untuk mengucap syukur dan berterima kasih hanya satu orang saja. Dan, dia yang kembali ini adalah seorang Samaria. Samaria yang punya label negatif di mata orang Yahudi ternyata adalah orang yang tahu berterima kasih!

 

Kusta bukan melulu penyakit kulit yang menjijikkan sehingga ada sebutan lepra fobia. Siapa pun yang melihat si kusta akan buru-buru pergi menghindar. Butuh 116 ayat, 2 pasal untuk menguraikan panjang lebar tentang penyakit ini (Imamat 13 dan 14). Kusta bukan saja penyakit fisik, melainkan penyakit sosio – religius. Pada zaman itu, kusta dipandang sebagai kutukan. Oleh karena itu, penyakit kusta yang disebut Injil Lukas ini jangan dipahami dari sudut pandang medis kedokteran, melainkan lebih tepat dipandang dari sudut spiritualitas.

 

Kita dapat membayangkan, menderita penyakit yang punya stigma negatif secara komunal. Mereka yang menderitanya diasingkan, tidak boleh berbaur dan jika ada yang mendekat mereka sendiri harus memberi peringatan kepada orang lain bahwa diri mereka adalah seorang yang najis. Menyakitkan!

 

Dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem, langkah Yesus terhenti oleh teriakan kesepuluh orang kusta yang sedang diisolasi. Mereka berteriak memohon belas kasihan-Nya, “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” (Lukas 17:13). Cara para penderita kusta itu menyapa Yesus tidak biasa. Jarang sekali orang menyapa Yesus dengan langsung memanggil namanya. Dalam konteks ini bukan berarti bahwa mereka tidak sopan dan tidak tahu tata krama. Mereka percaya bahwa dalam nama Yesus itu ada kekuatan, ada kuasa dahsyat. Kuasa yang dapat mengatasi kesulitan mereka. Kuasa penyembuhan! 

 

Kasihanilah kami!” Inilah jeritan kesengsaraan yang ditujukan kepada orang yang dapat mengatasi penderitaannya. Dalam Injil Lukas, inilah jeritan si kusta dan si buta. “Ιησου, Επιστατα, ελεησον ημας!” Kata yang dipakai Lukas di sini berkaitan dengan kata Ibrani hanan  dan hesed kedua kata ini bermakna, “Allah yang penuh kemurahan hati dan belas kasihan. Kata hanan punya gambaran seperti setiap ibu yang mencintai anaknya. Ia membelai, melindungi, mendekap dengan mesra!

 

Yesus terhenti dan sejenak memandang mereka. Yesus memandang bukan seperti kita memandang. Ia mampu melihat kepada kedalaman hati mereka yang memohon belas kasihan-Nya. Ia memandang iman mereka! Atas belas kasihan itu, Yesus meminta kepada mereka, “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Mengapa mereka harus pergi kepada imam? Menurut peraturan yang berlaku dalam komunitas Yahudi, para penderita kusta harus menghadap kepada imam, supaya kesembuhan mereka dibenarkan dan mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat. Ingat, ini bukan perkara medis saja melainkan penyakit sosio – religius! Maka, yang punya otoritas bukanlah dokter atau tabib, melainkan imam.

 

Pada waktu Yesus memerintahkan mereka pergi kepada imam, mereka belum tahir, malah tampaknya Yesus belum melakukan mukjizat penyembuhan itu. Meski demikian perintah-Nya itu mengandung janji pemulihan. Menurut logika, Yesus seharusnya menyembuhkan terlebih dahulu, baru kemudian mereka pergi kepada imam untuk proses legitimasi ketahirannya. Dari apa yang dilakukan Yesus, kita dapat belajar bahwa Yesus ingin mengetahui kesungguhan kepercayaan mereka. Kepercayaan tanpa ketaatan adalah iman yang semu! Bukankah ini juga yang sering terjadi dalam kehidupan kita? Kita sering bernyanyi, “Percaya saja! Percaya saja!...” Namun giliran diminta menaati perintah-Nya, ogah!

 

Kasus serupa dapat kita lihat dalam bacaan pertama, 2 Raja-raja 5, yakni kisah penyembuhan seorang perwira, Naaman oleh Elisa. Dia pun tidak langsung disembuhkan, tetapi diminta untuk mandi tujuh kali di sungai Yordan. Seandainya ia tidak menuruti, maka pemulihan itu tidak pernah terjadi.

 

Dan, sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir.” Para penderita kusta ini menaati apa yang diperintahkan Yesus. Mereka memegang ucapan Yesus. “Seorang dari mereka,” Lukas belum menyebutkan identitas orang ini, sebab bukan itu yang penting tetapi apa yang diperbuatnya, yakni tindakan imannya jauh lebih penting. Ketika ia melihat dirinya telah sembuh, ia kembali kepada Yesus sambil memuliakan Allah.

 

Orang ini membuka mata, menyadari dirinya telah tahir: ia mengalami kesembuhan secara fisik. Kini, ia maju selangkah lagi, mata rohaninya terbuka oleh dorongan imannya. Oleh karena itu, ia tidak jadi menemui imam melainkan kembali kepada Yesus. Ia datang dan berjumpa dengan Yesus untuk kedua kalinya, tetapi sekarang ia datang sebagai orang yang tidak berpenyakit lagi, ia kembali dengan iman yang sudah dicerahkan! Baginya, Yesus itu siapa: seorang nabikah, mesiaskah, atau yang dinanti-nantikan itu? Tidak penting! Baginya, Yesus adalah orang yang mendengar seruan, “kasihanilah kami!” Yesus adalah perwujudan Allah yang nyata, Allah yang mendengar, mendekap, merangkul dan melindungi. Seperti seorang ibu yang memberikan kehangatan cintanya (hanan; hesed)! Bisa saja kesembilan temannya sedang mengikuti perintah Yesus, mereka melanjutkan perjalanan menuju para imam untuk proses pembuktian bahwa mereka telah tahir. Mereka butuh otoritas legitimasi. Namun, bagi orang Samaria ini, itu semua tidak penting. Yang penting sekarang adalah kembali kepada Yesus, Sang sumber pemulihan itu!

 

Si Samaria yang sering diberi label negatif ini datang dan memuliakan Allah di depan Yesus. Ia sujud tersungkur di depan kaki Yesus. Ia mengucap syukur! Tindakannya ini dibenarkan dan dijadikan contoh oleh Yesus sebagai orang yang tahu bersyukur dan berterima kasih tetapi juga sebagai orang yang memiliki iman yang benar. Iman orang Samaria ini sebelum dan sesudah ia disembuhkan berbeda. Imannya sudah diperdalam, sehingga hasilnya pun berbeda. Kesembilan orang kusta lainnya disembuhkan oleh Yesus, tetapi orang Samaria tidak hanya sembuh, melainkan diselamatkan. Inilah yang seharusnya terjadi pada setiap orang, sesuai permintaan para murid yang memohon agar iman itu ditambahkan. Iman orang Samaria ini ditambahkan dengan keselamatan. Biarlah itu juga yang terjadi dalam hidup kita, Tuhan menambahkan iman kita dengan keselamatan!

 

Mengajarkan syukur dan berterima kasih kepada anak dan anggota keluarga kita tidak cukup dengan mengucapkan saja, melainkan dengan memberi contoh nyata. Menampakkannya dalam perilaku ketaatan dan yang lebih utama adalah bersyukur dengan memuliakan Tuhan!

 

Jakarta, 07 Oktober 2022, Minggu Biasa Tahun C 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar