Kamis, 29 September 2022

KELUARGA YANG MEMILIKI IMAN SEORANG HAMBA

Pelayan dan hamba adalah dua subyek yang sejajar. Begitu pula dengan kata kerja melayani dan menghamba. Subyek dan predikat ini biasa kita dengar, apalagi di gereja. Di ruang-ruang yang kita anggap kudus. Saking biasanya kita mendengar, kata-kata ini menjadi semakin kehilangan makna dan dangkal. Ya, tentu saja bukan hilang makna pada dirinya, melainkan kedangkalan makna itu terjadi pada orang-orang yang sering menggunakan kata-kata tersebut. Sumir!

 

Sejatinya pelayan dan hamba; melayani dan menghamba adalah kata-kata luhur. Mengalami degradasi karena kita meminjamnya untuk pencitraan diri melalui pamer kesalehan seperti kaum Farisi. Pada umumnya manusia punya naluri untuk menaklukkan, menguasai, memerintah, dilayani dan diperhatikan. Sebaliknya, kita menolak untuk diperintah, dikuasai dan ditaklukkan. Tak seorang pun mau menjadi pelayan atau jongos. Namun, mungkinkah hal itu terjadi bahwa seseorang terpanggil dengan rela atau sukacita melayani dan menjadikan diri hamba bagi kepentingan orang lain? Mungkin!

 

Seseorang dapat melayani dengan tulus, bukan terpaksa dan tanpa pamrih pertama-tama ketika ia berhasil menaklukkan diri sendiri. Ya, memang benar tidak mudah sebab musuh utama dalam kehidupan kita adalah diri kita sendiri dalam hal ini adalah ambisi dan egoisme diri. Kedua, ketika kita menyadari bahwa dengan melakukan pelayanan dan menghamba, ada kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan diri sendiri, terakhir dan tentunya tidak boleh tidak harus mendasari keseluruhannya adalah adanya cinta kasih di dalam diri.

 

Ketiga hal inilah yang diajarkan dan dicontohkan oleh Yesus. Yesus telah mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba menjadi sama dengan manusia. Ia mati secara tragis demi ketaatan-Nya kepada Bapa. Yesus menyadari jalan yang ditempuh-Nya itu adalah jalan ketaatan seorang hamba demi menebus umat manusia dari dosa. Ada kepentingan besar yang Ia perjuangkan, bahwa dunia yang akan binasa kini beroleh jalan keselamatan. Tentu saja, di atas semuanya itu Yesus sangat mengasihi Bapa-Nya dan juga dunia ini. Nilai-nilai seperti inilah yang seharusnya terus tumbuh dalam setiap diri umat Tuhan.

 

Pertumbuhan nilai-nilai iman dalam wujud melayani dan menghamba tidak terjadi dalam ruang hampa. Selain gereja, keluarga adalah wahana paling mumpuni untuk menanamkan karakter seorang pelayan atau hamba. Tentu saja ini dilakukan bukan karena tekanan atau paksaan. Orang tua: ayah atau ibu menanamkan karakter melayani bukan dengan cara menyuruh-nyuruh, memerintah disertai ancaman untuk menghentikan pemberian uang jajan apabila anaknya tidak menurut. Bukan begini! Cara seperti ini akan memperpanjang budaya memerintah dan menekan.

 

Lois dan Eunike yang disebut oleh Paulus (2 Timotius 1:5) barang kali dapat menjadi contoh pengajaran iman dalam mata rantai keluarga. Lois adalah nenek dari Timotius, ia lahir dalam tradisi dan iman Yahudi dan kemudian menerima Kristus bersama dengan putrinya Eunike. Kedua figur perempuan ini punya pengaruh kuat dalam karakter Timotius sehingga Paulus tidak mengalami kesulitan ketika ia mengajarkan tentang tugas panggilan di dalam Kristus. Tugas panggilan itu bukan sekedar memberitakan keselamatan di dalam nama Yesus. Namun, kita dapat membaca bagaimana Paulus mengajarkan tentang karakter Kristus yang harus hidup di dalam diri Timotius. Karakter tersebut adalah kerendahan hati namun di dalam ketegasan, melayani dan menghamba namun tidak rendah diri, dan siap berkorban untuk tujuan yang jelas.

 

Iman yang menumbuhkan karakter yang baik tidak datang dengan tiba-tiba. Ibarat sebuah pohon, ia mulai tumbuh sejak benih itu ditabur. Benih yang ditabur tentu harus dipelihara, dirawat, dijaga dengan baik. Yesus mengajarkan bahwa iman itu bukan terkait dengan kuantitas. Ketika para murid mendengar pernyataan Yesus bahwa akan ada banyak penyesatan, spontan mereka meminta kepada-Nya untuk ditambahkan iman. Bagi Yesus iman adalah suatu proses dinamis. Yesus menggambarkan bukan seberapa banyak tetapi menunjuk pada biji sesawi. Biji sesawi yang sering dipakai kiasan untuk biji yang paling kecil (ini bukan berarti biji sesawi adalah biji terkecil, masih ada biji yang lain yang lebih kecil. Ini dipakai menjadi sebuah kiasan dari yang kecil menjadi sebuah pohon yang besar).

 

Iman itu dinamis, ia akan tumbuh dalam lingkungan yang baik. Keluarga mestinya merupakan ekosistem yang terbaik dalam menyemai dan menumbuhkan iman. Dalam urutan pertama narasi Injil Lukas, setelah berbicara tentang iman yang dinamis, Yesus mengajarkan pentingnya para murid untuk menempatkan diri sebagai hamba. Apa yang diajarkan Yesus bukan merupakan pertentangan ketika Ia mengatakan, “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, …” (Yohanes 15:15) di sini Yesus mengajarkan tentang relasi yang dibangun antara diri-Nya dan para pengikut-Nya. Dalam pengajaran tentang mentalitas seorang hamba (Lukas 17:7-10) Yesus hendak menekankan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh para murid hendaknya dilakukan dengan tulus dan tanpa pamrih.

 

Yesus ingin mengatakan bahwa sesudah seorang hamba melakukan pekerjaannya, ia tidak boleh mengharapkan upah atau imbalannya. Karya para murid tentu saja sangat berguna dalam membangun komunitas umat percaya, membangun peradaban baru, tetapi janganlah kemudian mereka berpikir, bahwa karena pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan itu, mereka menilai diri sebagai orang yang penting, hebat, dan paling berguna. Seolah-olah tanpa mereka pekerjaan Tuhan tidak akan terlaksana dengan baik. Yesus tidak ingin para pengikut-Nya punya mental seperti ini. 

 

Yesus telah memberi bukan hanya pengajaran tentang kerendahan hati dalam melayani, bahkan hidup-Nya sendiri memperagakan apa yang diajarkan-Nya itu. Pamrih merupakan noda yang dapat mengganggu apa yang disebut pelayanan. Murid-murid Kristus harus menjauhkan diri dari “ragi” Farisi. Ragi itu adalah imbalan. Berbuat baik, melakukan hukum Taurat dan segala bentuk kesalehan adalah investasi yang akan dibayar dengan segala anugerah Allah. Di dalam Kristus, perbuatan baik, kesalehan, dan melayani jelas tidak diabaikan. Penting! Namun, bukan sebagai transaksi dan merasa berhak mendapat imbalan. Di dalam Kristus, orang mengenal dan merasakan anugerah dan kasih Allah. Anugerah dan kasih itulah yang membuat manusia melakukan tindakan kesalehan.

 

Mari, saat ini kita melihat kembali kehidupan keluarga kita. Apakah cukup baik menjadi tempat persemaian “biji sesawi” yang memberi ruang kepada setiap anggotanya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik? Setiap orang tua memberikan contoh dari tindakan kasih. Tidak hanya berbicara tentang kerendahan hati namun memperagakan dengan sungguh tanpa disertai omelan dan sumpah serapah. Anak-anak, dengan sukacita menyambut didikan orang tua tanpa sungut-sungut, seperti Timotius dalam rumahnya. Saudara-bersaudara mau melayani tanpa merasa tertekan seperti syair yang sering kita nyanyikan setiap Bulan Keluarga: PKJ 288 “ Inilah Rumah Kami”

 

1.     Inilah rumah kami, rumah yang damai dan senang:

Siapa yang menjamin? Tak lain, Tuhan sajalah.

 

            Reff:

                        Alangkah baik dan indah, jikalau Tuhan beserta;

                        Sejahtera semua sekeluarga bahagia

 

2.     Betapa mesranya, ayah dan ibu contohnya;

Semua anak-anak ikut teladan tindaknya

 

3.     Di dalam kesusahan kami berdoa tak segan;

Pun dalam kesenangan ucapan syukur bergema.

 

4.     Buatlah rumah kami menjadi taman yang sejuk.

Sehingga hidup kami berbau harum dan lembut. 

 

 

Jakarta, 29 September 2022. Minggu Biasa Tahun C , Bulan Keluarga 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar