Pertengkaran hebat, konflik dan keretakan hidup rumah tangga yang berujung perceraian pada umumnya dimulai dari hal-hal kecil yang tidak diselesaikan. Perkara sepele! Perkara seperti menaruh pakaian kotor di meja makan, memencet odol di tengah-tengah tube, mengambil baju dari tumpukan tengah asal cabut saja, meninggalkan piring dan gelas kotor di atas meja makan, buang air tidak disiram, dan sejenisnya. Buat sebagian orang, daftar tersebut bukan masalah serius. Namun tidak untuk pasangan kita. Ini perkara besar!
Hal yang sama terjadi pada sakit yang mematikan. Sakit yang membahayakan jiwa tidak terjadi mendadak tetapi bermula dari gejala-gejala ringan. Sayangnya, meski sudah banyak informasi dan juga nasihat dokter kita mengabaikannya. “Gak apa-apa cuma demam; gak masalah ini benjolan kecil seperti jerawat!” Akhirnya ketika penyakit itu sudah kronis, kita kehilangan waktu untuk mencegahnya!
Bukankah perbuatan dosa besar itu juga dimulai dari hal sepele. Raja Daud contohnya. Ia melakukan pelanggaran besar dimulai dari hal sederhana. Seperti yang dicatat dalam 2 Samuel 11, kisahnya dimulai pada pergantian tahun, pada waktu raja-raja biasanya berperang. Daud mengutus panglimanya, Yoab memimpin peperangan, sementara dia leyeh-leyeh di istana. Tragedi besar dalam hidup Daud dimulai karena ia mengabaikan waktu dan tanggung jawab. Skandal dengan Batsyeba yang berujung pada pembunuhan Uria, suami Batsyeba dimulai dari perkara kecil. Tidak menggunakan waktu dengan baik!
Banyak kisah tragis, orang bisa membunuh, korupsi, menyakiti dan melakukan pelbagai bentuk kesadisan di luar nalar dimulai dari hal sepele: mengabaikan waktu, tersinggung, tidak diperhatikan, merasa diabaikan, merasa dihalangi keinginannya, dan sederet lagi daftar yang mestinya dapat dikendalikan.
Di tengah kecenderungan manusia yang sering mengabaikan hal-hal kecil, Yesus mengingatkan untuk serius, tidak main-main dengan perkara yang dianggap kecil, kata-Nya, “Siapa saja yang setia dalam hal-hal kecil, ia setia juga dalam hal-hal besar. Dan siapa saja tidak benar dalam hal-hal kecil, ia tidak benar juga dalam hal-hal besar.” (Lukas 16:10). Bisa saja apa yang dimaksudkan Yesus dengan perkara kecil adalah masalah harta duniawi dan perkara yang besar itu adalah menyangkut nilai-nilai Kerajaan Allah yang sebelumnya Ia sampaikan lewat perumpamaan bendahara yang tidak jujur. Namun, kita dapat mengartikannya secara menyeluruh dari semua tanggung jawab yang Tuhan percayakan kepada kita.
Yesus menggunakan perumpamaan bendahara yang tidak jujur untuk memberi perhatian kepada para pendengar-Nya tentang keseriusan memanfaatkan waktu dalam kehidupan mereka. Perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur ini sering menimbulkan polemik. Mengapa bendahara yang menghamburkan uang majikannya justru dipuji sebagai orang yang cerdik? Mengapa Yesus tidak mengutuk orang yang tidak jujur ini alih-alih memakainya sebagai contoh orang yang piawai memanfaatkan situasi genting?
Mengapa Yesus tidak mencela kecurangan bendahara itu? Sebab, yang hendak disampaikan Yesus bukan pada pelajaran moral. Ada sesuatu yang lebih penting dan genting untuk diperhatikan para pengikut-Nya. Hal yang sama terjadi ketika Yesus menerima laporan bahwa Pilatus mencampuradukkan darah sejumlah orang Galilea dengan darah hewan korban persembahan (Lukas 13:1). Di situ Yesus tidak mengutuk kebrutalan Pilatus. Namun, melalui peristiwa itu Yesus mau mengajar tentang perlunya pertobatan, bukan penghakiman.
Seperti bendahara dalam situasi kritis. Ia dipecat karena ketahuan menggelapkan uang. Dia sadar: mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu. Dia sadar hidupnya kini bermasalah. Kritis! Kini, ia harus mencari jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya. Bendahara itu mengeluarkan senjata pamungkas, ia memanggil orang-orang yang berhutang kepada tuannya. Lalu, memangkas hutang-hutang itu. Ia menjadi pahlawan bagi para debitur sehingga mereka akan membalas budi baiknya. Bendahara ini tidak akan terlunta-lunta dan mengemis karena para debitur itu akan menampungnya!
Waktu yang sangat singkat, di penghujung kariernya, sang bendahara ini berhasil membuat sesuatu untuk mengamankan hidupnya di masa mendatang. Cekatan! Jelas, ini bukan perbuatan baik. Bukan moralitasnya yang harus ditiru, tetapi kecerdikannya dalam memanfaatkan waktu tersisa yang mestinya menjadi inspirasi. Sekali lagi bukan inspirasi kecurangannya yang ditiru. Yesus dan karya-Nya berdimensi eskatologis, artinya mengacu kepada akhir zaman. Akhir zaman yang segera akan tiba itu harus ditanggapi dengan gesit. Dimensi inilah yang harus ditangkap oleh para pengikut Yesus.
Bagaimana cara gesit dan cerdik memanfaatkan situasi dalam kehidupan kita? Kita masih ingat akan pengajaran Yesus dalam Lukas 12:33 tentang harta di surga yang tidak akan menyusut dan habis. Kita dapat memahami bahwa apa yang diingatkan Yesus bahwa sering kali orang sibuk dengan urusan harta duniawi untuk menaruh rasa aman dan kepuasan diri. Orang kaya yang bodoh dalam perumpamaan Lukas 12:16-21 begitu sibuk menghimpun kekayaan, sehingga ia tidak memikirkan orang-orang miskin. Ia memandang kekayaan sebagai hal yang mutlak. Orang itu lupa bahwa dalam harta duniawi itu dapat digunakan untuk menabur kasih dan kepedulian kepada yang miskin. Ini setara dengan mengumpulkan harta di surga. Betapa baiknya apabila saat kematian, akhir zaman (eskatologi), manusia memiliki harta di surga.
Orang-orang Farisi sangat mencintai uang (Lukas 16:14). Mereka menertawakan ajaran Yesus yang menghimbau agar kekayaan dipakai secara benar. Yesus menanggapi sikap mereka itu dengan menceritakan perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh dan perumpamaan tentang Lazarus si miskin itu (Lukas 16:19-31). Baik orang kaya yang bodoh maupun orang kaya yang tidak peduli terhadap Lazarus si pengemis miskinitu, keduanya tidak cerdik. Sebab, mereka tidak menggunakan potensi yang ada pada diri mereka untuk kehidupan yang kekal.
Kekayaan yang kita miliki seharusnya tidak boleh dijadikan sarana untuk memenuhi kepentingan pribadi saja. Kekayaan itu harus juga berguna untuk kepentingan mereka yang membutuhkan. Si miskin! Satu-satunya cara yang jujur dalam perkara yang disebut “kecil” adalah mengelola harta kekayaan yang dipercayakan kepada kita agar dapat dinikmati juga oleh orang-orang miskin. Seorang Kristen yang baik tidak akan mengecewakan Allah yang telah memberi kepada mereka kekayaan untuk dibagikan di antara orang-orang yang membutuhkannya. Anak-anak Terang pastinya akan mengerti bahwa harta yang sesungguhnya itu bukan di dunia ini, tetapi dalam Kerajaan Allah. Manusia dijadikan demi Kerajaan itu. Tujuan hidup bukan kekayaan, melainkan ada bersama-sama dalam Kerajaan-Nya.
Tentu saja ini bukan naif. Membagi-bagikan begitu saja lalu membuat orang enggan menumbuhkan potensi diri. Bekerja! Bukan demikian. Setiap harta kekayaan di dalamnya mengandung potensi. Aset dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga kita dapat mengelolanya dengan baik. Memberi pekerjaan kepada mereka sehingga dapat menikmati kehidupan yang lebih layak. Tujuannya jelas, bukan mengeksploitasi sesama manusia, tetapi berbagi rejeki, mengelola bersama dan dinikmati bersama.
Dalam harta kekayaan yang Tuhan titipkan kepada kita, Ia ingin kita bertanggung jawab. Sehingga dari yang fana itu dapat menghantar kita kepada apa yang sesungguhnya mulia. Apabila, kita telah bertanggung jawab dan menggunakannya sesuai dengan maksud Tuhan, maka yakinlah bahwa Tuhan akan membuka jalan untuk kita dapat menerima tugas dan tanggung jawab yang lebih besar. Oleh karena itu, setialah dan jujurlah dalam perkara-perkara kecil, dan lihatlah Tuhan akan mempercayai kita dengan karunia yang lebih besar lagi!
Jakarta, 15 September 2022, Minggu Biasa, Tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar