Bila seseorang divonis melanggar aturan, konsekuensinya dia menerima ganjaran. Dihukum! Tolok ukurnya adalah benar atau salah, pengadilan harus membuktikan secara terang-benderang mengenai pelanggaran yang dia lakukan dan pasal-pasal yang dilanggar. Seorang yang divonis melakukan pembunuhan berencana, jelas kepadanya dikenakan pasal 340, dengan ancaman hukuman mati, seumur hidup atau dua puluh tahun penjara. Keadilan diterapkan melalui hukum pidana. Setiap pelanggaran hukum ada sanksinya!
Bila umat melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan, jelas ada sanksinya. Benar atau salah diukur melalui firman yang mereka telah dengar. Kitab Amos berulang kali menegaskan hukum yang akan mereka terima. Sebab, berulang kali umat Allah itu melanggar kehendak-Nya. Mereka memeras, menindas, melecehkan hak-hak orang miskin. Mereka berpesta pora di atas penderitaan kaum papa. Mereka bersenang-senang dengan harta kekayaan dan kuasa. Mereka menciptakan rasa nyaman palsu dengan merayakan ibadah-ibadah semu. Seolah menyembah dan mengagungkan Tuhan mereka. Namun nyatanya, memunggungi Allah mereka dengan pelbagai ketidakadilan.
Bila umat berlaku demikian, Allah memberikan hukuman, “Sebab itu sekarang, mereka akan pergi sebagai orang buangan di kepala barisan, dan berlalulah keriuhan pesta orang-orang yang duduk berjuntai itu.” (Amos 6:7, dan masih banyak lagi peringatan yang lainnya). Mereka akan menerima imbalan sesuai dengan ketidakadilan yang dilakukannya. Bila seseorang bersalah, umat melanggar, maka jelas hukuman itu akan menjadi bagian dari akibat yang mereka lakukan. Adil!
Lalu, apakah cukup keadilan itu ditegakkan berdasarkan kaidah benar atau salah; melanggar aturan atau tidak? Mungkin iya bagi sebagian besar orang yang mengacu pada hukum positif. Namun, di hadapan Tuhan tidak cukup! Masih ada kaidah yang lain: tepat atau tidak tepat; pantas atau tidak pantas. Contoh perumpamaan yang kita baca hari ini (Lukas 16:19-31) Yesus mengajarkan kepada para pendengar-Nya, khususnya orang Farisi. Setelah berbicara kepada murid-murid-Nya tentang sikap yang tepat terhadap kekayaan (Lukas 16:1-13), alih-alih menghargai ajaran Yesus, orang-orang Farisi mencemooh-Nya. Mengapa? Mereka sangat mencintai uang!
Dalam perumpamaan-Nya, Yesus menceritakan ada orang kaya, crazy rich dan Lazarus, crazy poor. Kontras yang dahsyat! Tidak diceritakan bagaimana orang kaya tersebut mendapatkan kekayaannya. Yang jelas ia adalah super kaya: berpakaian jubah ungu dan kain halus, setiap hari bersukaria dalam kemewahan. Tidak tergambar bahwa orang kaya itu berkelakuan buruk: mabuk-mabukan dan bermain perempuan atau judi. Tidak disebutkan pula bahwa ia berbisnis barang haram atau seorang koruptor kelas kakap. Ia tidak melakukan pelanggaran hukum!
Kontras. Lazarus, si super miskin itu ada di depan matanya. Nama “Lazarus” adalah bentuk Yunani dari sebuah nama Ibrani atau Aram: El’ azar (E-leazar : Keluaran 6:23), yang cukup populer pada zaman itu, jadi orang ini bukan Lazarus saudaranya Marta dan Maria, dan bukan juga Barada Eliazer. El’azar mempunyai makna: Allah telah menolong. Selama hidupnya, Lazarus tidak ditolong oleh sesamanya, bahkan oleh si crazy rich itu.
Dalam kisah ini kondisi Lazarus begitu tragis! Badannya penuh dengan borok, anjing-anjing datang untuk menjilat borok-borok itu. Ia berbaring dekat pintu orang kaya itu. Ia berbaring bukan sedang leyeh-leyeh. Ia sakit, sepertinya lumpuh dan tidak berdaya. Lazarus begitu tidak berdaya, bahkan untuk memungut remah-remah yang jatuh pun, ia tidak mampu. Tidak ada seorang pun yang memberinya makan. Tidak ada yang peduli!
Crazy rich dan crazy poor mati. Apa yang terjadi di balik kematian? Kematian mengubah jungkir balik posisi mereka. Si kaya menderita dan si miskin bahagia. Pembalasankah? Tidak semudah itu kita menyimpulkannya. Kebahagiaan atau penderitaan di alam baka tidak sama sekali tergantung pada kesenangan atau penderitaan di dunia; tidak tergantung dari kekayaan dan kemiskinan selama hidup di bumi. Tidak benar kalau kita menyimpulkan bahwa orang kaya akan mendapat siksa neraka karena telah kenyang dengan kenikmatan dunia dan orang miskin akan bahagia, bersenang-senang di surga sebab ia sudah kenyang dengan penderitaan di dunia. Keliru! Keselamatan atau kebahagiaan kekal merupakan anugerah Allah semata dan respon manusia terhadap anugerah itu, yakni ditunjukkan dengan perbuatan-perbuatan manusia itu sendiri.
Perumpamaan pengajaran ini tidak bermaksud menyajikan suatu pengajaran tentang kehidupan di akhirat nanti. Lazarus yang dibawa kepada pangkuan Abraham hanya mau menggambarkan perubahan situasi yang dialami sesudah meninggal. Hal ini mau menegaskan bahwa Allah meninggikan orang-orang jelata, tentu saja si jelata ini tidak menggunakan kemiskinannya sebagai legitimasi untuk melakukan tindakan kriminal. Lazarus hanya meminta belas kasihan. Sesuai dengan namanya, Lazarus = El-azar, yang mengharapkan pertolongannya datang dari Tuhan.
Nama Lazarus yang dipakai oleh Yesus jelas bukan kebetulan. Si miskin ini selalu mengandalkan pertolongannya dari Tuhan. Bukankah memang benar kenyataannya demikian. Orang-orang miskin yang bersahaja selalu mempercayakan dan mengutamakan Tuhan sebagai penolong yang sesungguhnya. Orang-orang miskin pada umumnya akan lebih bersyukur ketika menerima berkat sekecil apa pun. Benar, tidak semua orang miskin seperti itu. Ada juga yang jahat dan brutal.
Sebaliknya, banyak orang kaya yang mengandalkan kekayaannya sebagai sandaran hidupnya. Uang dan kekayaan menjadi tujuan kesenangan dan kebahagiaan. Lebih mudah membayar segala urusan dengan uang. Adalah benar juga bahwa tidak semua orang kaya demikian. Nah, inilah sebenarnya yang ingin dikatakan oleh Yesus. Jangan menjadi orang kaya seperti itu. Jangan memakai kekayaan hanya untuk kesenangan sendiri, meski itu didapat dengan cara yang halal.
Ajaran yang disampaikan Yesus melalui perumpamaan ini mengingatkan kepada kita bahwa keadilan bukan semata-mata saya tidak melakukan kekerasan, tindakan kejahatan dan melanggar hukum. Orang kaya itu tidak disebutkan melanggar hukum. Namun, dalam penghakiman ia berada dalam penghukuman. Ia menderita bukan karena melakukan tindakan kejahatan. Ia berada dalam penghukuman oleh karena tidak peduli dan hidup hanya untuk kesenangan sendiri. Egois!
Bisa saja kita mengatakan, saya tidak melanggar hukum. Saya taat hukum, saya membayar pajak, saya bukan koruptor, bisnis saya legal! Kalau pun saya mempunyai kekayaan, uang, perusahaan, itu karena kerja keras saya. Sejak dari kecil saya diajar untuk bekerja keras!
Yesus mengatakan, “Itu tidak cukup!” Tidak cukup untuk kita mengatakan bahwa, saya tidak melanggar hukum. Namun, seberapa jauh Anda dan saya peduli terhadap penderitaan sesama. Seberapa jauh hati kita tersentuh oleh penderitaan orang-orang di sekeliling kita? Apakah karena merasa berhak atas harta dan kekayaan karena itu usaha dan jeri lelah sendiri, kemudian kita menutup hati pada penderitaan orang lain?
“… Ada yang menangis luka hatinya…
Ada yang merintih enakkah tidurmu..”
Ini sepenggal syair dalam lirik lagu “Ewada” karya Franky Sahilatua. Apakah hati kita tegar melihat dan mendengar rintihan dan kelu kesah sesama kita? Sementara kita mengharapkan Tuhan mendengar doa-doa kita? Mumpung belum terlambat, bukalah hati kita, tampilkan kepedulian yang benar sehingga kita pantas disebut anak-anak Tuhan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar