Kamis, 09 Juni 2022

BERHIKMAT DALAM KASIH ALLAH TRINITAS

Allah adalah Sang Engkau Abadi (Toi absolu) kata Gabriel Honoré Marcel, filsuf eksistensialisme Kristen Prancis (1889-1973). Dalam hubungan Aku-Engkau, semestinya adalah perbedaan – bahkan perlawanan – yang saling melengkapi, perhubungan yang hakiki, yang tak tercabut dari kenyataan ada “aku”, sebab memang “engkau” itulah yang melahirkan “aku”, tetapi bisa juga dikatakan “aku” melahirkan “engkau”. Dalam hal ini, bisa dipertanyakan: Siapakah yang dominan, “aku” atau “engkau”? Secara ontologis, tampaknya harus diterima bahwa “aku” dan engkau memang “sejajar”, saling mengadakan (menghadirkan). Akan tetapi secara moral, dominasi “aku” terhadap “engkau” menjadi egoisme, sedangkan dominasi “engkau” terhadap “aku” menjadi altruism. Kalau demikian “engkau” bukan lagi “engkau” melainkan menjadi “dia” yang asing, yang lain. Dan terhadap yang lain ini kita mempunyai dua macam sikap: takut, karena yang lain itu lebih besar dan menuntut dari saya kewajiban-kewajiban untuk aku jalankan, atau benci, karena yang lain menjadi asing, tak kukenal dan tidak memperkaya diriku. Alangkah indahnya kalau hubungan kita dengan Tuhan adalah relasi akrab, jauh dari tekanan dan kebencian. Melainkan hormat, takjub dan cinta! Hal ini menjadi mungkin kalau “engkau” bertahan tetap sebagai “engkau” dan tidak menjadi “dia” yang asing.

 

Tentu saja Allah tidak menghendaki menjadi “yang asing” bagi umat-Nya. Pelbagai cara Ia lakukan untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia. Kita mengertinya bukan semata lewat pewahyuan kata, melainkan menyatakan diri-Nya sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Tindakan dan peran yang dilakukan-Nya itu bukan membuat-Nya menjadi rumit dan asing, melainkan menjadi akrab dan tentu saja dapat membawa kita dalam relasi yang benar. Sehingga, tanggapan dan ibadah kita bukan dilandaskan keterasingan yang membuat kita tertekan dan benci. Melainkan penuh hormat, takjub dan cinta.

 

Tidak disangkal, pemahaman dan minimnya pengalaman perjumpaan dengan Allah yang menyatakan diri sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus, alih-alih menolong kita mengalami relasi utuh yang indah justru kebanyakan kita tergagap mana kala diminta menerangkan hakikat Trinitas itu. Kita terjebak untuk menjelaskan bahwa Allah itu satu atau tunggal secara bilangan (eka), padahal Dia justru hadir sebagai Allah yang esa. Esa berbeda dari eka. Esa menunjukkan makna kesatuan setara yang relasional. Iman Kristen menegaskan bahwa Allah adalah esa dalam persekutuan kasih yang sehakekat dalam diri Bapa-Anak-Roh Kudus. Makna sehakekat menunjukkan Bapa dan Firman (Anak) dan Roh Kudus adalah setara dalam keesaan dan keilahian-Nya. Setara berarti tidak bertingkat (subordinasi). Kristus selaku Sang Anak dan Firman Allah memiliki kemuliaan dan keilahian sejak kekal bersama dengan Bapa dan Roh Kudus. Ini ditegaskan dalam prolog Yohanes bahwa pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah, Firman itu menjadi Manusia dan diam bersama dengan kita dan Yesus menyatakan bahwa Allah adalah Roh, “Allah adalah Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran” (Yohanes 4:24).

 

Relasi persekutuan kasih Bapa-Anak-Roh Kudus tercermin dalam pesan terakhir Yesus sebelum disalibkan. Yesus berbicara kembali tentang peran Roh Kebenaran yang akan diutus oleh Bapa dalam Nama-Nya. Yesus sudah mengatakan banyak hal kepada para murid dalam wasiat terakhir-Nya. Nyatanya, Ia masih mempunyai banyak hal lain lagi yang harus dikatakan kepada para murid-Nya. Namun, mereka belum dapat menanggungnya sekarang. Itu berarti ada saatnya mereka akan mendengar dan dapat menanggungnya. Apa sebenarnya yang belum dapat mereka tanggung? Apakah ada lagi pewahyuan yang menyusul setelah kematian Yesus? Beberapa orang berpikir seperti itu, tetapi Yesus sendiri menyatakan bahwa Ia telah menyampaikan kepada para murid segala sesuatu yang telah didengar-Nya dari Bapa. Yesus sendiri adalah kesempurnaan pewahyuan Allah.

 

Salah satu hal yang sampai saat itu belum disampaikan Yesus adalah bagaimana Ia akan kembali kepada Bapa di sorga. Yesus tahu bahwa jalan kembali itu harus melalui salib, cara paling hina yang biasanya hanya dialami oleh pendosa dan penjahat besar. Jika kita bandingkan pemberitahuan Yesus dalam Injil-injil sinoptik, pemberitahuan dalam Injil Yohanes tidak menyebut kematian Yesus. Di dalam Injil-injil sinoptik dengan sangat jelas dinyatakan, “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari” (Markus 8:31). Derita dan kematian Yesus disebut sangat jelas. Sementara Injil Yohanes menyebutnya bahwa Anak Manusia akan ditinggikan dan dimuliakan untuk kembali kepada Bapa. Kalau para murid dalam Injil sinoptik gagal menangkap maksud pemberitahuan tersebut, Injil Yohanes menyebutnya mereka sekarang belum sanggup menanggung pemberitahuan itu. Kalau pemberitahuan kepergian Yesus sudah membuat mereka berdukacita, sanggupkah mereka mendengar kabar bahwa Yesus akan mati disalib? Akan tiba saatnya apa yang dikatakan Yesus itu terjadi. Kematian dan kebangkitan Yesus akan menyatakan kebenaran perkataan-Nya. Pada saat itulah Roh Kebenaran akan mengajar para murid dan memimpin mereka ke dalam seluruh kebenaran yang telah dinyatakan oleh Yesus.

 

Bimbingan Roh Kudus itu bukan hanya bimbingan intelektual, sesuatu yang selalu harus masuk akal untuk mengerti apa yang dikatakan Yesus. Bimbingan Roh Kudus itu juga nyata di dalam cara hidup yang sesuai dengan apa yang dikatakan dan dicontohkan oleh Yesus. Cara hidup seperti apa? Cara hidup yang dibimbing oleh Roh Kudus adalah cara hidup seorang saksi yang memberi kesaksian akan Yesus sendiri. Sebagaimana Yesus bersaksi tentang Allah, Roh Kudus dan para murid juga bersaksi tentang Yesus. Dalam pemahaman ini, iman yang dimiliki oleh para murid bukan hanya soal intelektual atau soal batiniah belaka, melainkan juga perkara bagaimana harus hidup. Iman menjadi nyata dalam kesaksian termasuk ketika mengalami penderitaan, sebagaimana yang dinyatakan Paulus dalam bacaan kedua minggu ini (Roma 5:1-5). Roh Kudus membimbing para murid kepada seluruh kebenaran yang dinyatakan oleh Yesus.

 

Roh Kebenaran itu tidak berkata-kata dalam diri-Nya sendiri. Kata-kata Roh Kudus bukanlah kata-kata baru dibandingkan dengan apa yang pernah dikatakan Yesus. Kata-kata Roh Kudus menyatakan kembali apa yang dikatakan Yesus, Ia hanya mengatakan apa yang didengar-Nya dari Yesus. Ia juga akan memberitahukan kepada para murid hal-hal yang akan datang yang didengar-Nya dari Yesus. Hal-hal akan datang itu juga bukan hal baru. Kalau Roh Kudus hanya menyatakan apa yang dikatakan Roh Kudus, hal-hal yang akan datang yang sudah dikenali oleh Yesus pun dinyatakan-Nya kepada Roh Kudus itu. 

 

Dengan menyatakan seluruh kebenaran yang diterima-Nya dari Yesus, Roh Kudus memuliakan Yesus. Hal yang sama terjadi dengan apa yang dilakukan Yesus. Yesus menyatakan seluruh yang didengar-Nya dari Bapa dan melakukan apa yang dikehendaki Bapa dengan demikian Ia memuliakan Bapa dalam diri-Nya. Kini, Roh Kudus menyatakan apa yang dikatakan oleh Yesus, maka Yesus pun dipermuliakan di dalam Dia. 

 

Wejangan tentang peran Roh Kudus dalam Yohanes 16:15 diakhiri dalam hubungan Bapa-Anak-Roh Kudus. Yesus menyatakan bahwa segala sesuatu yang dipunyai Bapa adalah kepunyaan-Nya. Apa yang dipunyai oleh Anak disampaikan-Nya kepada Roh Kudus. Roh Kudus pun menyampaikan kepada para murid apa yang diterima-Nya dari Anak. Apakah dengan demikian Roh Kudus hanya mengulang-ulang apa yang dikatakan Yesus? Tentu saja tidak! Roh Kudus yang adalah Roh Kebenaran itu membimbing para murid untuk mengerti kebenaran perkataan dan tindakan Yesus sebagai Dia yang diutus Allah.

 

Itulah relasi cinta kasih Bapa-Anak-Roh Kudus yang menyapa kita. Allah Yang Esa dengan cara berelasi saling mengisi, saling memberi ruang, dan saling memuliakan mengajak kita masuk di dalamnya. Bukan untuk bertambah bingung, melainkan untuk memudahkan kita mengenal cara-Nya menyapa, bersahabat dan mengasihi kita. Kini, tinggal tanggapan kita, apakah menyambut-Nya? Menyambut-Nya berarti kita masuk dalam tarian cinta kasih yang tidak hanya membuat kita mampu menikmati cinta-Nya, melainkan juga menjadikan kita sebagai saksi-Nya yang utuh di dunia ini.

 

 

Jakarta, Minggu Trinitas tahun C 2022.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar