Sepanjang zaman, tampaknya manusia selalu mencari celah untuk mendapat keuntungan. Terlebih para politisi. Setiap momen dan peristiwa sekecil apa pun yang dapat menguntungkan diri dan kelompoknya akan diekspose besar-besaran. Sebaliknya, sekecil apa pun kesalahan pihak lawan akan “digoreng” untuk menjatuhkannya. Dari zaman keemasan Yunani dan Romawi dulu para politisi memenuhi keinginan audiennya dengan janji dan cerita yang membuai mereka. Para politisi sudah terbiasa menghamburkan puji-pujian kepada kumpulan massa, kepada negeri mereka, kepada kemenangan-kemenangan militer masa lalu yang menginspirasi mereka. Bisa saja, beberapa kali Anda mendengar seorang kandidat politisi berkata, “Negeri ini adalah negeri paling hebat di dalam sejarah dunia, negeri paling di segani oleh bangsa-bangsa lain!”
Sebagaimana diutarakan oleh orator ulung Demosthenes, "kami akan dengan senang hati duduk berjam-jam menyimak seorang pembicara yang berdiri di depan tonggak sakral atau terkenal, memuji-muji leluhur kami, menguraikan kemenangan demi kemenangan dan membangga-banggakan piala-piala mereka.” Namun, apakah yang didapatkan dari puji-pujian itu? Nihil! Yang memperparah, kekaguman terhadap berbagai penghargaan yang berkilauan itu justru menjauhkan kita dari tujuan yang sebenarnya. Lebih lanjut,Demosthenes menjelaskan, hal itu justru menghianati para leluhur yang telah menginspirasi kita. Selanjutnya, Demosthenes menutup pidatonya di depan orang-orang Athena dengan kata-kata, “Oleh karena itu, renungkanlah bahwa leluhur kita memberikan piala-piala itu, bukan agar kalian menatapnya dengan kekaguman, tetapi agar kalian juga meniru kebajikan orang-orang yang telah mendapatkannya.”
Saya membayangkan orasi Demosthenes ini dengan situasi para murid ketika menyaksikan Guru mereka naik ke sorga. Mereka memandang bengong ke langit tempat Yesus terangkat dan raib di sana, sampai akhirnya mereka sadar setelah dua orang yang berpakaian putih menegur mereka (Kisah Para Rasul 1:10,11). Tidaklah cukup mereka memandang dan membayangkan sorga. Mereka harus menghadirkannya di bumi. Mereka harus menjadi saksi agar dunia percaya!
Orasi Demosthenes mengingatkan juga akan perkataan Yesus kepada para murid-Nya, “Sesungguhnya barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu.” (Yohanes 14:12). Perkataan ini diucapkan Yesus ketika Ia akan berpisah dengan para murid, kembali kepada Bapa-Nya. Mereka tidak cukup mengenang masa-masa indah bersama Sang Guru yang menghadirkan pelbagai mukjizat sehingga membuat orang terpana. Kini, merekalah yang harus melanjutkan pekerjaan yang dilakukan Yesus!
Para murid tidak boleh hanya sekedar bercerita tentang kehebatan Yesus dan apa yang dikerjakan-Nya. Yesus mengarahkan agar para murid melanjutkan pekerjaan-pekerjaan Yesus. Pekerjaan itu adalah memberi hidup, hidup bukan sekedar hidup, melainkan hidup abadi dengan menyatakan wajah dan hati Allah yang telah mereka lihat. Benar, Allah tidak mungkin dapat dilihat. Namun, bukankah Yesus sendiri mengatakan bahwa Dialah firman yang menjadi manusia, ini artinya: orang-orang yang melihat, mendengar, dan menyentuh Yesus; ia juga melihat, mendengar dan menyentuh Bapa. Yesus tidak hanya menjawab pertanyaan Filipus, melainkan semua murid yang menanyakan Bapa. Lengkap sudah, para murid telah belajar dan mengalami perjumpaan dengan Sang Firman yang hidup itu, kini mereka akan melanjutkan pekerjaan-pekerjaan Yesus!
Tentu saja, pekerjaan-pekerjaan itu bukan melulu mukjizat-mukjizat besar, pekerjaan-pekerjaan Allah akan terlihat dalam kebaikan hati yang sederhana yang dapat memberikan hidup dan membuat orang percaya kepada diri mereka sendiri dan kepada Allah. Tidak usah takut dan gentar, tantangan banyak seperti apa yang diterima oleh Yesus sendiri. Mereka akan disertai Roh Penolong, yaitu Roh Kudus. Roh itu dikenal juga dengan Roh Kebenaran yang akan tinggal dan menyatakan kebenaran dalam diri para murid. Mereka akan selalu diingatkan akan perkataan dan pekerjaan Yesus. Arah dan tujuan hidup mereka tidak lagi fokus kepada kepentingan diri sendiri. Roh itu, mengandaikan gerak: seperti angin, nafas, daya dan semangat batin akan menyingkirkan rasa cemas karena kesepian dan ancaman, Ia akan membawa rasa damai, tenteram. Ia akan memberi kemampuan para murid melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah yang tampaknya tidak dapat dikerjakan dengan kekuatan mereka sendiri, seperti kesaksian kepada orang-orang yang membenci Kristus, mengampuni dan menjadi kawan bagi mereka yang berbeda bangsa dan bahasa serta terbuka bagi mereka yang mempunyai cara pandan dan kerja yang berbeda.
Janji Yesus Kristus itu digenapi! Saat itu umat Yahudi merayakan Pentakosta. Pentakosta adalah suatu perayaan yang punya banyak makna, antara lain: Hari ucapan syukur atas hasil panen, Pentakosta adalah hari kelima puluh setelah Paskah. Dari pelbagai penjuru umat Yahudi membawa persembahan syukur atas panen yang mereka peroleh. Maka tidaklah mengherankan kalau pada hari raya ini banyak orang Yahudi dan simpatisannya dari pelbagai penjuru datang di Yerusalem. Sebagian dari mereka sudah tidak lagi bisa menggunakan bahasa Yahudi. Mereka menggunakan bahasa di mana mereka tinggal.
Pada peristiwa inilah Roh Kudus yang dijanjikan Yesus itu tercurah. Roh itu membuat para murid dapat berkata-kata dalam bahasa-bahasa yang dipahami oleh mereka yang datang dari pelbagai penjuru itu. Roh itu menolong para murid menyampaikan kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah kesaksian karya Allah di dalam Yesus Kristus yang mereka tolak dan bunuh. Mereka yang mendengarnya tercengang bahkan mengira para murid ini mabuk oleh anggur. Namun, Petrus tentunya dengan pertolongan Roh Kudus meluruskan pendapat yang miring itu. Petrus, dengan mengutip Nabi Yoel menyatakan bahwa mereka berbicara karena kuasa Roh Kudus!
Roh Kudus adalah Roh Kebenaran, karena itu mereka dapat menyaksikan kebenaran kepada dunia yang memusuhi kebenaran di dalam Kristus. Roh Kudus adalah Roh Pemersatu karena itu mereka yang berasal dari pelbagai daerah, suku, bangsa, kelompok, dan golongan dapat mendengar hal yang sama, yakni kebenaran dan karya kasih Allah di dalam Kristus dalam konteks mereka masing-masing. Mereka tidak perlu belajar bahasa Yahudi dan menjadi Yahudi, mereka tidak perlu berpola pikir Yahudi, mereka tetap menjadi orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea, Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pampilia, Mesir, Libia, Kirene, Roma, Kreta dan Arab, namun dalam Roh yang sama mereka mengenal tahu dan mengerti kebenaran.
Roh Kudus menyapa dan menyatakan kebenaran melalui bahasa dan rasa setiap orang. Ia menyatakan bahasa cinta yang dilakukan oleh Yesus Kristus. Ia menyatukan kita semua sehingga menyapa setiap orang menjadi saudara!
Sampai hari ini, Yesus Kristus menghendaki kita terus melakukan pekerjaan-Nya. Bukan dengan cara spektakuler dan dengan hal-hal yang aneh, cukup dengan hal yang sederhana. Milikilah hati seperti hati Yesus, pedulilah seperti Yesus menampilkan kepedulian-Nya, berbicaralah seperti Yesus berbicara. Percayalah, nanti apa yang kita perlukan pasti dilengkapi-Nya.
Janganlah seperti kebanyakan politisi busuk yang mengobral janji ketika musim pemilu, yang mengingatkan orang hanya pada kejayaan masa lalu, yang gemar menunjuk kesalahan orang lain dan menganggungkan prestasi sendiri meski minim. Jadikan diri dan kehidupan kita menginspirasi dan berdampak positif bagi orang lain.
Jakarta, Pentakosta tahun C 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar