Kamis, 31 Maret 2022

MAKNA PENGURAPAN YESUS

Hare Krishna adalah sebuah gerakan bhakti atau amal yang didirikan di Amerika Serikat tahun 1965 oleh A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada dengan nama resmi “The International Society for Krishna Consciousness”. Sebagai sebuah gerakan amal, anggota Sekte Hare Krishna kerap berada di ruang publik, bandara atau stasiun kereta api. Seorang anggota sekte biasanya akan menyapa dengan seseorang dengan ramah sambil memberikan setangkai bunga kecil. Jika Anda seperti kebanyakan orang, Anda akan menerima bunga itu untuk menghindar dari kesan kasar dan tidak bersahabat. Namun, jika Anda berusaha menolak, Anda akan segera mendengar suara lembut, “Ambillah, ini hadiah dari kami untuk Anda.”

Jika Anda ingin membuang bunga itu ke tempat sampah terdekat, Anda akan melihat sudah ada beberapa tangkai di sana. Tapi itu bukan akhir. Tepat ketika perasaan tidak enak mulai menarik-narik hati Anda, seorang anggota sekte Hare Krishna yang lain akan segera mendekati Anda, kali ini jelas bukan untuk memberikan setangkai bunga lagi, melainkan proposal sumbangan! Sering kali permintaan ini berhasil, sangat sukses sehingga banyak bandara internasional melarang anggota sekte tersebut berada dalam wilayah mereka.  

Seorang psikolog ternama, Robert Cialdini menjelaskan kesuksesan kampanye seperti ini dan yang sejenisnya. Cialdini mempelajari fenomena “timbal-balik” (reciprocity). Ia telah menemukan bahwa manusia akan mengalami kesulitan kalau berutang kepada orang lain. Maka tidaklah heran jika banyak LSM dan lembaga amal menggunakan Teknik yang percis sama: pertama, memberi, lalu mengambil. Apakah fenomena ini hanya berhenti pada LSM dan lembaga-lembaga amal saja? Rasanya tidak! Bahkan, kita dapat menjumpai dalam gereja pun terjadi. Atas nama pelayanan gereja berbagi amal, bakti sosial dan yang sejenisnya. Untuk apa? Ya, supaya gereja kita aman Pak! Perhatian dan doa-doa personal menjadi andalan agar cengkraman makin kuat, anggota jemaat tidak hengkang. Politik hutang budi membuat seseorang tidak bebas. Paisengki!

Lazarus telah mati dan dibangkitkan. Sekarang si Pembangkit itu berkunjung ke kampung Lazarus. Betania! Ini kesempatan baik untuk balas budi. Keluarga itu menyiapkan perjamuan. Perjamuan spektakuler. Betapa tidak, bukan hanya hidangan makan, minum. Narwastu murni setengah kati seharga 45 juta rupiah tumpah ruah di kaki Yesus. Jelas, ini menimbulkan bau semerbak harum di seluruh ruangan bahkan mungkin saja sampai keluar rumah. Harum narwastu pengganti bau anyir mayat yang telah dibangkitkan Yesus. Rasanya narwastu seharga 300 dinar menjadi tidak berarti dibanding nyawa saudara Maria yang kembali! Namun, bagi Yudas ini adalah bentuk pemborosan. Bukankah uang sebanyak itu dapat disumbangkan untuk para fakir miskin?

Reciprocity-kah Maria? Mengingat saudara yang dicintainya tidak jadi mati sehingga ia mau mengurbankan apa saja yang paling berharga untuk membalas kebaikan Sang Guru? Jika benar, kalau demikian apakah yang dilakukan oleh Yesus tidak ubahnya seperti banyak LSM, lembaga amal atau salah satu metode marketing?

Yesus mencintai dan menyatakan belas kasihan-Nya terhadap keluarga Maria itu nyata. Tidak dapat dibantah! Sebelumnya, Yesus bahkan menangis karena kepergian Lazarus. Sepertinya, untuk menggambarkan rasa belas kasihan mendalam, Alkitab hanya mencatat terjadi dalam keluarga ini. Cinta Yesus yang begitu besar ditangkap oleh saudara-bersaudara ini. Jelas, ini bukan reciprocity. Ini kasih yang tulus, kasih yang tanpa syarat, yang tidak mengharapkan balasan. Yesus tidak sedang menanam saham balas budi. Yesus tidak sedang mengikat Maria dan saudara-saudaranya sehingga memaksakan diri untuk melayani Yesus. Tidak!

Justru, kasih-Nya membebaskan mereka dari belenggu kematian. Mengarahkan Marta dan Maria agar memahami arti dari sebuah pelayanan! Dampak dari kasih yang membebaskan itu terlihat dari sikap Maria. Ia bebas, tidak terikat dengan harta kekayaan. Ia bebas, bahkan dengan rambutnya - mahkota seorang perempuan - ia menyeka bagian terendah dari tubuh Yesus. Kaki-Nya! Maria tidak menyayangkan untuk tindakan kasih yang ia nyatakan kepada Yesus. Hal yang serupa terjadi pada Paulus ketika ia mengalami perjumpaan dengan Yesus yang membebaskannya dari belenggu Taurat, Paulus merasakan dekapan kasih Yesus itu sehingga dalam bacaan kedua minggu ini (Filipi 3:4-14), membuat segala sesuatu yang dianggap berharga kini dilepaskannya, bahkan secara ekstrem ia memandangnya sebagai sampah. Mengapa? Yang berharga dan terbaik telah ia dapatkan di dalam Kristus!

Tindakan Maria diniatkan oleh kasih yang begitu mendalam terhadap Yesus tanpa disadarinya telah menjadi semacam persiapan dalam puncak pelayanan Yesus. Tindakan Maria yang mengurapi Yesus dengan minyak narwastu murni merupakan persiapan penguburan Yesus.

Tindakan menyeka kaki Yesus dengan rambutnya pada zaman itu, bahkan mungkin juga sekarang, merupakan tindakan berlebihan dan tidak elok dilihat banyak orang: menguraikan rambut, tentu saja membuka tudung kepala. Rambut bagi seorang perempuan adalah mahkota, kini ia gunakan untuk membasuh kaki, bagian tubuh paling bawah tentu saja merupakan pemandangan kontras. Namun, tanpa disadari Maria, inilah wujud dari kerendahan hati, yang nantinya akan diperagakan juga oleh Yesus ketika Ia membasuh kaki para murid dalam perjamuan malam terakhir. Yesus yang adalah Sang Guru dan Tuhan meminta para murid untuk meneladani-Nya.

Jika Maria, dalam peristiwa pembangkitan Lazarus dikenal dan dihormati dengan pengakuannya, “Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia” (Yohanes 11:27), sekarang Maria dihormati sebagai orang yang mengungkapkan kasihnya. Seorang yang patut diteladani oleh semua kaum beriman.

Sama seperti Maria, apakah buat kita perjumpaan dengan Yesus Kristus itu hanya sekedar pelajaran katekisasi? Atau, benar bahwa Dia adalah seorang Sahabat, Guru dan Tuhan, yang memahami kemelut hidup kita, mengerti dan mengampuni segala dosa dan penyesalan kita? Sekarang, apa yang dapat kita persembahkan kepada Kristus? Jika Maria telah memberikan yang terbaik, baik materi maupun “harga diri” meskipun harus menimbulkan protes dari seorang Yudas, lalu apa dapat kita persembahkan kepada-Nya? Masihkah kita memberi dan melayani-Nya dengan motif “timbal-balik”?

Seharusnya, kasih Kristus itu membebaskan kita dari segala ikatan yang membelenggu. Di dalam Kristus, kita adalah orang-orang yang merdeka. Merdeka untuk melayani-Nya dengan segenap hati, akal budi dan kekuatan kita. Sangat mungkin akan tampil orang-orang seperti Yudas yang mencibir dan menganggap “pemborosan” dalam kita melayani-Nya. Namun, ketika cinta-Nya merengkuh kita maka hanya ada satu kata “bersyukur!”

Jakarta, Minggu Pra-paskah ke-5 Tahun C

Kamis, 24 Maret 2022

MENERUSKAN KASIH BAPA YANG MENYAMBUT

Banyak orang mempercayai bahwa Tuhan adalah Allah yang Mahamurah dan Maha pengampun. Sayang, keyakinan ini sering terhambat oleh perasaan diri terlalu berdosa, terlalu kotor untuk diampuni dan diterima kembali dalam relasi yang baik dengan Allah. Akibatnya, alih-alih datang kepada-Nya malah punya pendirian: “kepalang basah!”

“Ingatlah, ini bukan sesuatu yang logis, namun sesuatu yang emosional dan spiritual. Cinta tulus mencintaimu bukan karena kamu melakukan hal tertentu. Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun. Untuk saat ini, kamu hanya perlu memahami, bahwa semuanya sudah dimaafkan. Ini adalah momen ah-hah untukku…” (Jackson Mackenzie, Whole Again). Kalimat ini memang tidak ditujukan kepada figur Sang Bapa, namun saya meminjamnya dan mengarahkan kepada Sang Bapa yang setiap saat menyambut siapa saja yang ingin kembali pada dekapan-Nya dengan tidak memperhitungkan berapa pun pelanggaran mereka (bnd. 2 Korintus 5:19).

Kita tidak perlu lagi bercerita, beralasan, membuat dalil atau menjawab, di hadapan-Nya. Itu tidak perlu dan tidak urgen. Yang mendesak diperlukan adalah tekad untuk kembali kepada-Nya. Bertobat! 

Tiga perumpamaan yang ada dalam Lukas 15 adalah bagian pengajaran Yesus selama perjalanan menuju Yerusalem. Kala itu Yesus berhadapan dengan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Lukas menampilkan keterbukaan Injil Yesus Kristus bagi orang-orang  yang tersisih dalam kehidupan masyarakat Yahudi. Pendosa! Tiga perumpamaan ini didahului dengan sebuh introduksi (Lukas 15:1-3). Setelah introduksi itu, dikisahkan tentang dua perumpamaan pendek yang paralel: domba yang hilang (Lukas 15:4-7) dan dirham yang hilang (15:8-10), kemudian disambung dengan perumpamaan panjang tentang anak yang hilang (Lukas 15:11-32). Ketiga perumpamaan ini bernada sama : happy ending! Kegembiraan yang ditunjukkan seseorang oleh karena “yang hilang” telah kembali.

Jika kita amati, dua perumpamaan pendek paralel, sang gembala dan si janda aktif mencari domba dan dirham mereka yang hilang. Sementara dalam perumpamaan terakhir, sang ayah tidak aktif mencari anaknya yang hilang atau pergi. Anak itu sendiri yang pulang kembali kepada ayahnya. Melihat sang anak bungsunya pulang, ia pun berlari menjemput, merangkul dan mencium anaknya itu.

Baik mencari dan menyambut, itulah wujud kasih Bapa di dalam Yesus Kristus. Namun, kali ini dengan membahas perumpamaan yang terakhir, kita fokus pada “kasih yang menyambut”. Tanpa mengesampingkan, bisa saja sang ayah mencari dengan cara lain, misalnya membayar orang untuk menemukan anaknya. Dalam rangkaian pertobatan di minggu-minggu pra-paskah ini, kita belajar merefleksikan sebuah tekad atau keberanian si anak bungsu yang telah berdosa terhadap ayahnya untuk pulang kembali ke rumah. Sebab, bisa saja ada orang berpikir untuk tetap bertahan dalam kondisi keberdosaannya (kepalang basah). Gengsi, malu atau apa juga namanya untuk kembali menata ulang kehidupannya yang berkenan kepada Allah.

Perumpamaan Lukas 15:11-32 dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, Lukas 15:11-24 berkisah tentang sang adik dan bagian kedua, Lukas 15:25-32 yang mengisahkan tentang sang abang. Kita terbiasa untuk menyebut yang hilang itu adalah si adik. Namun, banyak penafsir sepakat bahwa sebenarnya kedua anak sang bapa ini hilang. Si adik, hilang, pergi dengan harta waris yang dimintanya sebelum ayahnya meninggal, sedangkan si abang “hilang” di rumah ayahnya sendiri. Ia tidak merasakan kebahagiaan bersama-sama dengan sang ayah. Tafsiran pada saat ini akan fokus pada bagian kisah tentang si adik untuk dapat kita refleksikan sebagai pertobatan dan kembali kepada Bapa yang tangan-Nya selalu terbuka menyambut orang berdosa yang mau kembali.

Si adik tampaknya belum menikah dan usianya kira-kira 20 tahun. Sesuai dengan adat-istiadat Yahudi, seorang ayah dapat membagikan hartanya melalui semacam surat wasiat yang pelaksanaan sepenuhnya dilakukan setelah ia meninggal, atau bisa juga dibagikan sewaktu ia masih hidup. Bisa jadi ada banyak kasus, orang tua masih hidup, anak-anaknya meminta harta waris, maka dalam kitab Sirakh dicantumkan peringatan supaya hal tersebut tidak dilakukan (33:19-23).

Pembagian harta waris, biasanya diatur: anak tertua berhak menerima “dua bagian dari segala kepunyaan” ayah, yaitu dua kali lipat daripada harta yang diberikan kepada anak-anak lain. Namanya “hak kesulungan” (Ul.21:17). Dalam perumpamaan ini tampil dua anak saja, sehingga dapat dipastikan bahwa anak sulung diberi 2/3, sedangkan anak bungsu 1/3 dari kekayaan keluarga. Dengan menerima bagian itu, masing-masing anak disebut “pemilik”. Namun, hasil ea rahu tetap ada pada ayahnya sampai ia meninggal dunia. Bila anak menjual hartanya, maka si pembeli dapat mengambilnya baru sesudah ayah anak itu meninggal.

Dalam kisah ini, si anak bungsu menjual seluruh bagiannya, hasilnya penjualan itu ia bawa pergi ke negeri yang jauh. Di sana uang itu difoya-foyakannya.

Kelaparan terjadi di negeri rantau itu. Malapetaka, ia menjadi melarat! Sebagai orang Yahudi, si bungsu mungkin saja mengartikan bahwa kelaparan itu meupakan hukuman Allah terhadap dirinya. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan.

Si adik berasal dari keluarga Yahudi baik-baik, berkecukupan bahkan kaya. Tetapi kini ia terpaksa mengurusi kawanan babi yang dianggap najis (Im.11:7; Ul.14:8). Dengan menjadi penjaga babi, harkat martabat di adik turun ea rah. Semakin nelangsa, ia bahkan tidak bisa mengisi perutnya yang lapar dengan ampas kacang-kacangan makanan babi. Di titik nadir inilah si adik merindukan rumah ayahnya.

Refleksi rasional si adik mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa keadaannya yang lebih buruk ketimbang yang dialami oleh para upahan di rumah ayahnya, “mereka menikmati kelimpahan roti”.

Apakah di titik ini si adik bertobat? Kebanyakan para penafsir berpendapat bahwa niat si adik pulang kembali ke rumah ayahnya bukan karena bertobat, melainkan karena kehabisan uang sehingga menderita kelaparan. Juga karena kehilangan bagian warisannya. Seandainya ia tidak kehabisan uang, ia tidak akan pulang dan tidak akan pernah mengakui dirinya berdosa pula. Tetapi ia sadar bahwa dengan memboroskan uang, ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya berupa memelihara ayah di hari tuanya. Dalam arti inilah ia merasa berdosa terhadap ayahnya. Namun, meskipun demikian kesengsaraan merupakan pintu masuk si adik untuk mulai memikirkan kembali ke rumah ayahnya.

Si adik Menyusun sebuah rencana pengakuan dosa. Kini, ia menyadari bahwa setelah memboroskan harta waris yang dimintanya itu, ia tidak berhak lagi meminta apa pun dari ayahnya. Maka selanjutnya yang terpikir olehnya adalah, “Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa”, yaitu sebagai budak yang dibayar setiap hari setelah melakukan pekerjaan. Dengan tekad ini si adik memberanikan diri melangkah dan pulang!

Di luar dugaan, alih-alih sang ayah memutuskan relasi dengan anak yang meninggalkannya, kasihnya tidak pernah luntur, ia begitu rindu bertemu dengannya, sehingga ia mengubur masa lampau yang menyakitkan itu. Melupakan segala keburukkannya! Sebagai penduduk kampung, ayah itu sadar bahwa semua penduduk kampungnya akan mencela atau malah mengucilkan anak durhaka yang baru pulang ini. Maka sang ayah berbuat apa saja, supaya penduduk kampung itu tidak menghakimi anaknya ini. Ia berlari menyambut si adik untuk menjemputnya. Anaknya tidak boleh melintasi kampung halamannya sendirian, supaya orang banyak jangan mengoloknya. Daripada dihina oleh orang kampung, ayahnya menanggung kehinaan dengan lari ke arah anak yang telah menghabiskan warisan bagiannya itu.

Sang ayah mendapatkan si adik, merangkul, dan menciumnya. Kata yang sama dipakai oleh Lukas dalam Kisah Para Rasul 20:37. Adegan kasih yang serupa juga terjadi ketika pertemuan Yakub dan Esau (Kejadian 33:4), juga antara Benyamin dan Yusuf (Kejadian 45:14, dst). Cium, melambangkan kasih dan pengampunan, meski kemudian Yudas memakainya dengan maksud sebaliknya.

Di tengah-tengah kegembiraan sang ayah, si adik menyampaikan “doa” yang sudah disusun sebelumnya (ay.18), tetapi ayahnya memotong kata-katanya tepat sebelum si adik meminta untuk diterima sebagai orang upahan. Seolah mau menegaskan bahwa sang ayah mengerti hancurnya keadaan si adik. Ia tidak menuduh, menghakimi apalagi mengutuknya. Kehadirannya sendiri sudah cukup bagi sang ayah untuk menegaskan bahwa ia kembali kepadanya. Sang ayah dengan setegas-tegasnya menyatakan kepada hamba-hambanya, bahwa ia menyambut anaknya itu sebagai anaknya lagi, bahkan akan menghormati dia sebagaimana penghormatan diberikan kepada tamu agung: jubah ialah tanda kehormatan: cincin (cincin meterai) ialah tanda kedudukan yang tinggi dan kuasa yang diberikan. Sepatu menunjukkan bahwa ia seorang yang merdeka, bukan seorang budak yang biasanya berjalan tanpa alas kaki. Dengan demikian kemhormatan dan kedudukannya sebagai seorang anak dipulihkan kembali. Inilah kasih yang menyambut, kasih dan pengampunan yang mendahului pertobatan. Artinya, kasih itu tetap ada sebelum tindakan pertobatan itu terjadi. Pada pihak lain, si adik tidak sampai hati meneruskan rumusan yang disiapkannya. Hatinya melemas menyaksikan kasih ayahnya yang tidak pernah dibayangkannya.

Kasih Allah memang tak terhingga, tak terbayangkan. Kasih inilah yang sulit dipahami dan diterima oleh kalangan kaum Farisi dan ahli Taurat yang terus mempertahankan system ketahiran Yudaisme ketimbang menebarkan dan memperagakan kasih Allah itu. Kaum Farisi dan Ahli Taurat ini dapat digambarkan sebagai sang kakak, dalam perumpamaan ini. Sama seperti sikap mereka, si kakak dalam perumpamaan ini merasa terganggu dan marah dengan kedatangan si pendosa yang telah menghamburkan harta warisan bapaknya. Sama seperti mereka, si kakak menjadi marah atas sambutan dan jamuan pesta itu. Si kakak merasa telah berjeri lelah bekerja di ladang ayahnya, pun demikian kaum Farisi dan ahli Taurat itu telah berjerih lelah dengan menjalankan syareat keyahudian mereka.

Kembali ke kisah si adik. Tak terbayangkan kasih ayahnya yang begitu besar. Lidahnya menjadi kelu dan ia tak bisa melanjutkan kata-katanya lagi. Dalam hal inilah menjadi jelas buat kita. Ajaran kasih yang disampaikan Yesus itu, bahwa Bapa mengasihi orang berdosa bahkan sebelum pertobatan itu terjadi. Yang diperlukan dari kita (baca: orang berdosa) adalah keberanian untuk kembali. Datang kepada Bapa. Alasan, penjabaran pengakuan dosa secara detail bahkan tidak dibutuhkan lagi ketika kita dengan tulus datang kepada Bapa. Ia sangat tahu dan mengerti!

Kembali kepada Bapa itu mestinya dilakukan dengan tulus. Kebahagiaan akan tercermin dari orang-orang yang diampuni dosanya dan tidak berjiwa penipu (Mazmur 32). Jika Allah, Bapa kita sedemikian rupa memulihkan kita sebagai anak-anak-Nya, maka sudah semestinya kita berhenti untuk menghakimi diri sendiri sebagai orang yang berdosa, apalagi berprinsif, “sudah kepalang basah”. Kembalilah kepada Bapa, maka kita akan mengerti, mengalami, dan kagum akan kasih yang luar biasa itu

Jika Allah Bapa sedemikian rupa mengasihi, menyambut setiap kita yang berdosa maka sudah selayaknyalah kita meneruskan cinta kasih dan pengampunyan Bapa bagi semua orang. Kita wajib menerima dan menyambut semua orang dan membangun kembali relasi yang baik.

 

Jakarta, Pra-paskah ke-4 tahun C.

Jumat, 18 Maret 2022

PERTOBATAN SEBAGAI GAYA HIDUP

PERTOBATAN SEBAGAI GAYA HIDUP 

Siapa menyangka novel karya Kevin Kwan menjadi populer di tanah air? Ketenarannya bukan karena alur atau moral cerita. Namun, judul dan istilah dalam novel itu. Crazy Rich! “Crazy Rich Asian” berkisah tentang cinta beda kasta, antara seorang perempuan biasa dengan seorang pria konglomerat, ini kemudian menjadi pemantik jargon Crazy Rich yang viral.

Umumnya Crazy Rich memiliki arti orang super kaya, orang yang memiliki harta berlimpah ruah, memiliki berbagai macam bisnis, rumah dan mobil mewah, pesawat zet, kapal pesiar dan banyak lagi yang lainnya. Tidak hanya itu, Crazy Rich gemar memamerkan kekayaannya lewat platform media sosial. Semakin bumingnya istilah Crazy Rich, maka istilah ini dikaitkan dengan tempat domisili orang super kaya tersebut, misalnya Crazy Rich Surabaya, Crazy Rich Medan, Bandung, dan sebagainya. Fenomena ini kemudian menjadi gaya hidup. Gaya hidup semacam ini terus berkembang dan kini kita mendengar istilah baru: Flexing.

Flexing adalah tren yang digunakan untuk orang yang suka memamerkan kekayaan. Perkembangan media sosial yang semakin marak menjadi lahan subur flexing. Media sosial tempat orang memamerkan tidak hanya kekayaan, melainkan juga kepandaian, fisik, dan pelbagai macam “kelebihan”nya. Ada kenikmatan tersendiri jika yang dipamerkan itu mendapat acungan jempol dan pujian. Gaya hidup!

Tidak ada yang salah orang menjadi super kaya dan memperlihatkan kekayaannya. Malah membuat orang seperti Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjadi senang. Ia dan aparat pajaknya dapat dengan mudah menginventaris kekayaan mereka. Menjadi tidak elok apabila tujuannya dipakai untuk kesombongan diri, mengelabui dan menjebak orang lain dalam bisnis investasi ilegal. Menjadi jahat jika tujuannya untuk memanas-manasi orang bermimpi bahwa menjadi kaya itu mudah. Lebih buruk lagi menjadi racun apabila semua fenomena ini membuahkan gaya hidup hedonisme dan pemuja kekayaan.

Rembesan gaya hidup hedonis dan pemuja kekayaan ternyata mampu menembus kehidupan spiritual. Orang-orang dengan kekayaan berlimpah ruah dipandang sebagai orang-orang yang diberkati Tuhan. Sebaliknya, orang-orang miskin, sakit-sakitan, tertimpa bencana adalah orang-orang yang tidak diberkati alias orang-orang yang terkutuk. Pada zaman Yesus, malapetaka adalah tanda keberdosaan orang itu. Kecelakaan, malapetaka, kehidupan yang menderita adalah penegasan dari keberdosaan seseorang. Sebaliknya, orang-orang baik tidak pernah mengalami petaka. Hidup mereka sejahtera dan makmur.

Pemahaman ini mewarnai percakapan Yesus dengan beberapa orang yang datang kepada Yesus membawa berita petaka. Yesus menolak pendapat umum bahwa seolah-olah manusia mendapat azab dan bencana karena dosa-dosa yang mereka perbuat. Menurut Yesus, orang-orang Galilea yang dibunuh oleh Pilatus dan delapan belas orang yang tertimpa menara dekat Siloam itu tidaklah lebih berdosa dari orang-orang Galilea lainnya. Kecelakaan atau malapetaka tidak bisa dijadikan pembenaran bahwa seseorang sudah pasti berdosa! Yesus dengan tegas mengatakan, “Tidak!”. Selanjutnya, Yesus memperingatkan dengan keras: “Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara demikian.” Peringatan ini muncul dua kali dengan dua kasus berbeda namun senada.

Yesus mengingatkan para pendengar-Nya, jika mereka tidak bertobat, maka mereka akan mengalami kebinasaan. Bagaimana pun juga, tidak adanya pertobatan akan berbuah kematian atau kebinasaan. Tentu saja penyebabnya bukan berasal dari Allah, sebab Ia akan selalu memberi kehidupan dan bertindak baik. Lebih lanjut, Yesus memberi peringatan untuk bertobat dengan menggunakan perumpamaan pohon ara.

Injil Lukas menempatkan perumpamaan pohon ara ini dalam perjalanan Yesus menuju Yerusalem. Pada saat itu Yesus melihat kenyataan bahwa para pemimpin bangsa-Nya tidak menggunakan kesempatan yang Allah berikan untuk hidup dalam pertobatan. Akibatnya, penghukuman itu segera menimpa mereka. Peringatan yang Yesus sampaikan ini mestinya ditanggapi oleh orang Kristen agar dalam menjalani hidup ini selalu mencerminkan pertobatan dan buah dari pertobatan itu. Sama seperti pohon ara yang menghasilkan buah, demikian juga para pengikut Yesus. Orang yang bertobat itu adalah mereka yang mati bagi dirinya sendiri. Hanya manusia yang seperti inilah yang dapat menghasilkan buah.

Meski perumpamaan yang disampaikan Yesus ini bernada peringatan dan hukuman, namun Lukas menggambarkan sosok Allah adalah  Dia yang murah hati. Allah yang menunggu manusia untuk dapat menghasilkan apa yang baik. Allah itu sabar. Kesabaran itu digambarkan dari inisiatif tukang kebun yang memohon kepada tuannya untuk diberi waktu satu tahun lagi dia merawat pohon ara itu agar dapat berbuah. Yesus menghadirkan sosok Allah sebagai pribadi yang tidak mau menghukum, kalau belum melakukan sesuatu yang dapat menyentuh manusia agar bertobat. Jika Ia menunda penghukuman-Nya, itu agar manusia bertobat dan mampu berbuat belas kasih terhadap sesamanya. Agar manusia pun saling mengampuni.

Rangkaian minggu pra-paskah ke-3 ini hendaknya terus mengingatkan kita pada komitmen pertobatan sebagaimana sudah kita ikrarkan dalam Rabu Abu. Tanda abu di dahi kita mestinya bukan sekedar flexing pada dunia bahwa kita berasal dari debu dan berkomitmen untuk hidup dalam pertobatan. Pertobatan yang dimaksud jelas bukan sekali dan seremonial. Pertobatan itu harus nyata mewarnai hidup kita. Pertobatan menjadi gaya hidup.

Dalam Minggu ini, kita diingatkan untuk tidak sibuk melihat dan menghakimi orang lain: bencana dan penderitaan sebagai konfirmasi hukuman terhadap orang berdosa. Melainkan, memakai kesempatan yang Tuhan berikan untuk menanggapi dengan positif kesabaran Allah dengan hidup dalam pertobatan dan menghasilkan buah-buah pertobatan itu sendiri. Ingatlah kerahiman Allah tidak boleh kita permainkan dengan menunda-nunda melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Selagi ada waktu, hayatilah bahwa itu adalah kasih Allah dalam kesabaran-Nya.

Pertobatan sebagai gaya hidup jelas bukan untuk pamer kesalehan sehingga setiap perbuatan baik, kita unggah ke media sosial. Bukan demikian! Pertobatan sebagai gaya hidup artinya mengganti gaya hidup lama kita yang berorientasi pada kesenangan dan kepuasan diri sendiri menjadi kehidupan yang berpusat pada Kristus. Dengan sukacita dan alamiah kita menjiwai dan mempraktikkan kehendak-Nya.

Jika gaya hidup Crazy Rich, Flexing, hedonisme dan semacamnya telah memengaruhi dan membius dunia ini, dapatkah gaya hidup pertobatan kita di dalam Kristus itu memberikan alternatif lain yang lebih menjanjikan hidup damai sejahtera?  Tentu saja, tidak mudah untuk menjawabnya. Namun menjadi buah nyata bagi setiap orang yang benar-benar merasakan kasih, kesabaran dan pengampunan dari Allah.

Jakarta, Minggu Pra-paskah Ke-3, tahun C

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jumat, 11 Maret 2022

BERARAK MENUJU HIDUP SEJATI

Dalam karyanya, “Philosophy for life and Other Dangerous Situation”, Jules Evans berkisah tentang pengalaman heroik dramatis Rhonda Cornum. Rhonda Cornum bekerja sebagai dokter bedah penerbangan di Devisi Udara ke-101 selama Perang Teluk Pertama pada Februari 1991. Ia ditugaskan untuk menyelamatkan seorang pilot tempur yang tertembak. Nahas, helikopter yang ditungganginya kena tertembak, lalu jatuh di Gurun Pasir Arab dengan kecepatan 225 kilometer per jam, seketika menewaskan lima dari delapan kru.

Cornum selamat, walau kedua lengannya patah, ada ligament sobek di lututnya, dan sebutir peluru menancap di pundaknya. Para serdadu Irak mengerumuni helicopter yang jatuh itu, lalu menyeret Cornum keluart dengan menarik lengannya yang patah. Dia dan seorang anggota kru yang lain, Sersan Troy Dunlap dinaikkan ke belakang sebuah truk.

Sementara truk itu terbanting-banting sepanjang jalanan gurun, salah seorang tentara Irak mencopot seragam penerbangan Cornum dan melecehkannya. Dia tidak mampu melawan, dan berusaha tidak berteriak. Namun, setiap kali tangannya yang patah dipukul, tak ayal perempuan ini memekik. Akhirnya si tentara Irak itu meninggalkannya.

Sersan Dunlap dirantai disebelahnya, tak berdaya. “Bu”, katanya lirih, “Kau sangat tabah.”

“Kau kira aku akan menangis atau semacamnya?” tanya Cornum.

“Ya, aku kira begitu.”

“Tidak apa-apa, Sersan,” ujar Rondha beberapa saat kemudian. “Aku juga mengira kau akan menangis.”

Mereka disekap dalam tahanan militer Irak selama delapan hari. Cornum menyebut pengalaman itu, “Menjadi tahanan perang berarti mengalami pemerkosaan atas seluruh hidupmu. Tapi, aku belajar di bungker dan sel-sel Irak itu bahwa pengalaman ini tidak perlu menyengsarakan, itu bergantung kepada kita.” Lebih jauh Rhonda menyampaikan, “Ketika kita ditahan, para penyergap mengendalikan hampir segalanya seputar kita, kapan kita bangun, kapan kita tidur, apa yang kita makan, bolehkah kita makan. Aku sadar, satu-satunya yang dapat kukendalikan adalah cara pikirku. Aku punya kendali penuh atas hal itu, dan takkan kubiarkan mereka merampasnya juga. Kuputuskan, yah, dulu ada misi penyelamatan pilot tempur, dan kini situasi berubah, aku mengemban misi baru, untuk bertahan melewati ini.” Rhonda Cornum memang bertahan dan tidak membocorkan rahasia apa pun. Dia pun tidak merasa trauma permanen akibat pengalamannya.

Dari pengalamannya ini Rhoda Cornum dipercaya mengembangkan Kebugaran Komprehensif Serdadu. Tujuannya, mengajarkan resiliensi pada tentara yang berjumlah 1,1 juta orang dan bertugas di Pasukan Angkatan Darat Amerika.

Kisah ini menunjukkan kepada kita bahwa ada satu hal yang tidak bisa dikuasai, dirampas dan dikendalikan oleh orang lain meski dalam tekanan yang luar biasa hebat, satu hal itu adalah pikiran kita. Bayangkan, dalam ketidakberdayaan: kedua tangan patah, ligamen di lutut robek, diintimidasi dan dipelakukan buruk, Cornum tidak menyerahkan kendali pikirannya pada pihak lawan. Ia mampu bertahan dan tidak merasa dirinya sedang sengsara dan perlu dikasihani!

Yesus memperagakan satu hal yang teramat penting yang tidak bisa dikuasai dan dikendalikan oleh pihak atau orang lain, bahkan oleh situasi yang membahayakan diri-Nya sekali pun. Perjalanan ke Yerusalem sudah dimulai. Lukas mengisahkan perjalanan ini bukan sebuah tamasya atau ziarah ke kota suci. Melainkan di sana Yesus akan menuntaskan kehendak Sang Bapa. Jalan sengsara bahkan kematian, meski bukan tujuan melainkan konsekuensi dari sebuah ketaatan. Ada yang mencoba untuk menghalangi. Yesus dimintanya menghindar sebab jika diteruskan urusannya maut.

Adalah beberapa orang Farisi yang mungkin saja bersimpati terhadap Yesus. Mereka mencoba mengingatkan-Nya bahwa Herodes sedang berusaha membunuh Yesus, sebaiknya menghindar keluar dari wilayah kekuasaannya. Namun, sangat mungkin juga Herodes telah bersekongkol dengan beberapa orang Farisi, mereka tidak mau Yesus terus berkarya dan mempunyai pengaruh besar dalam wilayah kekuasaan Herodes. Oleh karena maksud mereka itulah Yesus kemudian menyuruh orang-orang Farisi itu untuk kembali kepada Herodes dan menyebutnya sebagai “si serigala” yang merupakan gambaran orang licik, tidak berani berhadapan muka dan tidak bermartabat. Di samping sebutan itu, Yesus meminta mereka menyampaikan pesan bahwa diri-Nya tidak takut digertak. Seolah Yesus mengatakan, “Aku tidak takut dan tidak akan pergi sebagaimana yang diminta kamu dan Herodes, tetapi Aku akan terus melakukan pekerjaan-Ku, mengusir setan dan menyembuhkan orang sakit. Bahwa nantinya Aku akan meninggalkan wilayah kekuasaan Herodes, itu bukan karena Aku takut kepada Herodes, tetapi karena sesuai dengan rencana Allah. Jadi, Aku akan melanjutkan perjalanan-Ku beberapa hari lagi, sampai pada waktu yang ditentukan Allah akan tiba di Yerusalem (yang bukan wilayah kekuasaan Herodes).”

Jelas, kendati ancaman itu segera menjadi kenyataan namun Yesus terus bergerak. Dengan cinta-Nya Yesus ingin memeluk mereka. Yesus telah menunjukkan bahwa diri-Nya rela menerima dan menghibur orang-orang berdosa yang datang dalam lindungan-Nya, “berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya.” Ia tetap melakukan pekerjaan-Nya. Ia tidak peduli dengan ancaman. Yesus terus berjalan menuju Yerusalem kendatipun kota itu jauh dari ramah. Kota yang disebut-Nya tempat pembunuhan para nabi dengan cara keji.

Yesus tahu akhir hidup-Nya ditentukan di Yerusalem. Kota yang mengaku penduduknya lebih beragama dibanding dengan tempat-tempat lain. Pergerakan Yesus ke Yerusalem bukanlah pergerakan menantang maut atau bunuh diri. Karena cinta-Nya Ia terus bergerak, berarak menuju Yerusalem. Kematian bukan tujuan-Nya, melainkan Ia sedang menebarkan kehidupan yang sejati.

Setiap pengikut Yesus mestinya menyadari bahwa iman di dalam Kristus tidak membuat kita betah dalam kehidupan serba nyaman dan tidak peduli terhadap situasi yang terjadi di sekitar kita. Karena cinta-Nya, Yesus terus bergerak. Ia terus mengerjakan dan menghadirkan Injil Kerajaan Allah. Jika cinta kasih Kristus itu mengalir dalam tubuh kita, maka kita pun akan mengerjakan apa yang Yesus kerjakan, yakni: mewujudkan Kerajaan Allah. Terus bergerak dengan talenta yang Tuhan percayakan kepada kita menebarkan cinta kasih-Nya meski bisa saja dengan melakukan hal itu kita terbentur dengan persoalan atau penderitaan dan penganiayaan.

Penganiayaan, kesulitan dan penderitaan jelas bukan tujuan orang percaya. Namun, jika hal itu harus terjadi, maka tetaplah terarah kepada Kristus. Sama seperti Rhonda Cornum, ada bagian yang tetap bisa kita pengang sehingga kesulitan dan penderitaan itu, tidak menyengsarakan kita. Bukan hanya pikiran yang terarah kepada Kristus, tetapi juga iman yang meyakini bahwa di dalam Kristus tidak ada yang dapat memisahkan kita. Sebaliknya, janganlah demi kemudahan dan kenyamanan lantas membuat kita akhirnya menjadi seteru Kristus. Camkanlah, seperti yang Paulus nasihatkan, “Karena kewargaan kita adalah di dalam surga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat.” (Filipi 3:20)

Jakarta, Minggu Pra-paskah ke-2 Tahun C

 

Kamis, 03 Maret 2022

MENGAKRABI KESUSAHAN, MERANGKUL KEHIDUPAN

Warren MacKenzie adalah seorang keramikus (potter) ternama. Dia dibesarkan di Wilmette, Illinois, Amerika Serikat. Kecintaannya pada karya keramik membuatnya terus berkarya sampai akhir hidupnya yang mencapai 94 tahun. Karena kepakarannya, MacKenzie dikenal sebagai guru. Sejak 1953 ia mengajar di Universitas of Minnesota, di sini pula ia menjadi guru besar emeritus.

Awalnya MacKenzie dan istrinya yang juga seorang seniman mencoba berbagai hal: “Tahukah Anda, ketika masih muda Anda pikir Anda bisa melakukan apa saja, dan kami pikir, kami akan menjadi seorang keramikus, kami akan menjadi pelukis, desainer tekstik, perancang perhiasan, kami akan menjadi inilah, itulah. Kami akan menjadi orang-orang renaisans!”

Tidak lama kemudian MacKenzie berpikir bahwa melakukan satu hal dengan semakin mahir mungkin lebih memuaskan dari pada tetap menjadi amatiran untuk beberapa hal berbeda: “Akhirnya kami berdua memutuskan berkonsentrasi pada kerajinan keramik, karena bidang inilah yang benar-benar kami minati.”

“Seorang pengrajin keramik dapat menghasilkan empat puluh atau lima puluh karya dalam sehari. Beberapa di antara karya itu bagus, beberapa biasa saja, dan sebagiannya jelek. Hanya beberapa produk yang bisa dijual, dan yang bisa dijual itu hanya sedikit sekali.” Sampai hari tuanya, MacKenzie masih saja terus membuat karya keramik. Dunia mengakui karya-karyanya memang pantas dipajang di museum atau di rumah para kolektor. Nilai seni tinggi dan bentuk yang istimewa!

“Saya teringat kembali beberapa pot yang kami buat ketika kami memulai usaha ini. Karya-karya yang jelek. Saat itu kami pikir pot-pot itu bagus; itu pot terbagus yang pernah kami buat, tapi cara pikir kami begitu dangkal, sehingga kualitas karya kami juga demikian, dan karenanya tidak memberi kesan megah, sesuatu yang saya cari dalam kehidupan saya.” Kenang MacKenzie ketika merintis kehidupannya dalam dunia karya seni keramik.

“Sepuluh ribu pot pertama boleh dibilang sulit,” ujarnya, “setelah itu pekerjaan ini menjadi semakin mudah.” Seiiring semakin mudah karena MacKenzie telah akrab dengan tanah liat dan karakternya serta bagaimana memperlakukannya, maka semakin mahirlah dia. Ia mampu memproduksi karya tembikar itu lebih banyak dalam sehari. Pada waktu yang sama, jumlah karya yang bagus lebih banyak dan orang berlomba ingin memiliki karyanya itu.

Dengan upaya keras, MacKenzie menjadi semakin mahir. Dengan mengakrabi berbagai kesulitan ia berhasil menemukan keindahan dan kemegahan dalam setiap karyanya. “Hal-hal paling menarik dalam hidup saya adalah bahwa saya dapat membuat suatu karya yang cocok untuk dipajang di rumah orang.” Pada waktu yang sama, dengan upaya yang sama, MacKenzie menjadi seorang yang mahir!

Wareen MacKenzie hanyalah satu dari banyak orang yang tidak terhitung jumlahnya yang mencoba merangkul kesulitan dan tantangan. Ia dan orang-orang seperti dia tidak lari dari kesulitan, tidak juga menyesali atau menyalahkan pihak atau orang lain. Namun, menerima dan mengakrabinya: bergelu dan bergumul sehingga buah manis dari perjuangan itu dapat dinikmati. Orang masih akan terus bisa mengagumi keindahan karya-karya MacKenzie sampai kapan pun karna karya keramik tidak lekang dimakan waktu.

Setiap hari, tentu saja selain berkat Tuhan yang tersedia, kita akrab dengan kesusahan. Bahkan hari-hari belakangan ini kesusahan kita semakin bertambah. Pandemi alih-alih selesai, malah semakin banyak di antara kita yang terpapar varian baru, omicron meski katanya tidak seganas varian delta, tetap saja membuat was-was dan susah. Susah bergerak, harus isoman dan belum lagi menata hati serta pikiran. Kesusahan itu makin bertambah dengan kelangkaan minyak goreng, tempe, tahu, daging, harga gas naik yang otomatis semua akan mendongkrak harga-harga kebutuhan yang lainnya. Hidup semakin susah!

Lalu, apakah kehidupan akan berhenti karena kesusahan-kesusahan itu? Atau kita mengutuki, menyalahkan, berkelu-kesah, dan ujungnya menyerah? Mestinya tidak. Di sinilah kita membutuhkan daya tahan. Kita membutuhkan karakter yang tangguh sebagai anak-anak Tuhan yang memang tidak bebas dari masalah dan kesusahan. Ketangguhan bukan hanya bawaan dari lahir, melainkan juga dibangun melalui proses dalam kurun waktu tertentu. Semakin Anda sering berhadapan dengan kesusahan dan mengatasinya maka semakin besar ketangguhan itu tumbuh. Semakin Anda lari dari masalah dan menyalahkan orang lain, maka semakin kecillah ketangguhan yang Anda miliki.

Sebagai anak-anak Tuhan, kita yakin bahwa daya juang atau ketangguhan yang kita miliki dalam menghadapi masalah jelas bukan berasal dari kekuatan kita sendiri. Ada campur tangan Tuhan. Ada tangan yang tidak kelihatan yang menopang upaya daya juang kita sehingga kita tidak terhempas jatuh dan tidak berdaya. Dalam kehidupan umat Allah, Musa mengingatkan ketika nanti mereka masuk negeri perjanjian dan menikmati hasil buminya maka janganlah lupa memberikan hasil pertama tuaian itu sebagai persembahan kepada Allah (bacaan pertama Minggu ini, Ulangan 26:1-11). Persembahan syukur adalah tanda pengakuan bahwa di balik semua perjuangan menghadapi kesusahan sehingga sampai pada musim menuai ada tangan perkasa yang menolong. Allah!

Sebagai pengikut Kristus, kita selalu diingatkan bahwa Yesus Kristus juga tidak menghindar dari kesusahan. Ia tidak mencari jalan nyaman menuntaskan karya cinta kasih Allah. Keseluruhan hidup yang dijalani-Nya sangat akrab dengan kesusahan, tepatnya penderitaan. Selesai peristiwa pembaptisan dan Allah menyatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah yang berkenan kepada-Nya, ini tidak membebaskan-Nya dari kesusahan. Allah berkenan bukan berarti hidup tidak ada masalah, lancar tidak ada hambatan, sukses terus. Tidak demikian!

Setelah peristiwa pembaptisan itu justru Yesus yang penuh dengan Roh Kudus itu dibawa ke padang gurun. Untuk apa? Dicobai! Yesus dihadapkan dengan masalah, dengan kesusahan, bukan dibawa untuk berwisata! Padang gurun bukan tempat piknik, melainkan ruang spiritual di mana manusia berhadapan dengan dilema iman. Dulu pada zaman Musa, padang gurun adalah tempat ujian umat: apakah mereka setia atau berkelu-kesah dan bersungut-sungut. Dari kisah ini kita belajar ternyata tidak banyak orang yang lolos dari batu uji padang gurun. Hanya sebagian kecil yang melewatinya dan berhasil masuk tanah perjanjian.

Empat puluh hari di padang gurun, tentu bukan perkara mudah. Yesus harus berjuang mengatasi pelbagai kesulitan menyangkut kebutuhan dirinya dan juga tantangan alam yang ekstrim. Belum lagi Ia harus berhadapan dengan Iblis yang mencoba untuk menggagalkan misi-Nya. Tak pelak lagi, tawaran-tawaran yang diberikan Iblis merupakan solusi mudah untuk mengatasi kesusahan yang dihadapi Yesus dalam alam yang ekstrim dan misi-Nya ke depan.

Mengubah batu menjadi roti adalah jalan termudah dan Yesus punya kapasitas untuk itu. Namun, Yesus mengingatkan bahwa roti memang perlu tetapi ada yang jauh melebih itu, yakni firman Tuhan. Sebab, walaupun tersedia banyak makanan namun jika hati tidak dipenuhi cinta kasih yang bersumber dari Tuhan maka semua itu akan mubazir, alih-alih menjadi sumber konflik.

Iblis lihai, ia menawarkan kekuasaan. Bukankah dengan kekuasaan itu, Yesus tidak perlu melalui jalan derita dan salib? Kompromi! Bukankah hal ini yang sering terjadi. Kita masih bisa percaya dan beribadah, di sisi lain kita juga mencari solusi dengan cara-cara duniawi. Yesus bergeming bahwa manusia harus menyembah hanya pada Allah saja. Yesus bersih kukuh bahwa satu-satunya kuasa yang berbuah cinta hanya bersumber dari Allah.

Tampaknya Iblis belum menyerah. Pencobaan pamungkas versi Injil Lukas, Iblis menantang Yesus untuk menguji kasih dan perlindungan Allah. Yesus diminta menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah. Ini tantangan pembuktian iman. Tidak memenuhi permintaan itu berarti pengecut, namun melakukannya sama dengan mencobai Allah sendiri. Mungkin ini juga yang di diam-diam kita tanya: apakah benar Allah mengasihiku, sampai kapan Allah memelihara, mangapa Allah diam saja ketika beban hidup sudah mencekik leher, jika Allah pemurah mengapa harus menunggu banyak korban berjatuhan melalui perang, wabah, dan sebagainya?

Belajar dari Yesus, Ia juga dalam pergumulan berat. Yesus diperhadapkan pada keprihatinan. Dalam puasa empat puluh hari dalam kondisi alam ekstrim, Yesus memilih merangkul keprihatinan, Ia tetap mengakrabi jalan derita sambil terus fokus kepada Bapa-Nya. Setia dalam ketulusan dan inilah yang membuat Iblis frustasi dan mundur.

Akrabi apa yang sekarang terasa sulit. Jangan berhenti berjuang, yakin bahwa ada tangan yang tidak terlihat menopang kita. Sama seperti kisah Warren MacKenzie yang tidak gampang menyerah dan di ujungnya nanti kita akan merangkul atau tepatnya dirangkul oleh kehidupan yang kekal!

Jakarta, Minggu Prapaskah 1, Tahun C ,2022

 

Selasa, 01 Maret 2022

MENOLAK SALEH YANG SALAH

Sadara tau tidak, keinginan untuk diakui, bahkan dianggap hebat berasal dari latar belakang masa kecil kita. Coba ingat, ketika kita melakukan kebaikan, maka segera akan mendapat pujian. Sebaliknya, kalau melakukan kesalah, pasti hukuman akan kita terima. Sampai di sini tentu saja tidak ada yang keliru.

Selanjutnya, ritme kehidupan kita berlangsung seperti itu. Mulai dari sekolah, olahraga, pekerjaan bahkan pelayanan dan ibadah. Lakukan hal besar, berprestasilah, maka nilai dirimu akan bertambah. Orang akan mengagumimu! Lagi-lagi, sampai di sini tidak ada yang salah. Seiring berjalannya waktu, kita mulai lapar atau tepatnya ketagihan dengan pengakuan orang lain karena dari merekalah nilai diri kita ditentukan. Akibatnya, pujian lebih penting ketimbang melakukan perbuatan baik atau berprestasi itu!

Dunia ini menilai kita berdasarkan penampilan. Nilai diri kita oleh apa yang orang lain lihat. Jika orang lain mengatakan bahwa kita baik, maka kita menjadi baik. Begitu pula sebaliknya. Dunia ini melihat rupa. Geloranya menghantam kita sehingga kita merasa butuh untuk dihargai, dihormati, dipuji, dan diakui atas apa yang kita lakukan. Kebutuhan untuk dicintai bisa diperoleh melalui kekaguman orang lain. Sayangnya, kekaguman dan pengakuan atas penampilan begitu fana dan rapuh. Kita hanya sebaik apa yang kita tampilkan setiap hari.

Di luar Kerajaan Allah, nilai diri kita ditentukan oleh orang lain. Maka, jika kita melakukan sesuatu tanpa ada yang orang yang mengetahuinya, kita menjadi gelisah karena tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Ini serupa ketika kita mengunggah status, foto atau video, lalu tidak ada orang yang memberi tanda jempol dan berkomentar kita menjadi gelisah!

Sangat mudah bagi kita juga untuk mengalami kegelisahan ini dalam kehidupan rohani. Kebanyakan orang akan memuji orang yang “rohani”. Orang-orang yang dewasa secara rohani itu ditunjukkan dengan rajin berdoa, membaca Alkitab dan berpuasa. Tentu hal ini perbuatan yang mulia, baik dan terpuji. Ini adalah buah dari kesalehan. Setiap agama dan ajaran spiritual menghendaki para pengikutnya untuk menjadi orang-orang yang saleh. 

Kesalehan adalah wujud atau buah dari iman. Iman itu terpancar melalui praktik kehidupan sehari-hari. Namun, ketika orang-orang mulai berdecak kagum atas penampilan kesalehan dan kemudian kita mengerjakan kesalehan itu demi tuntutan pengakuan mereka, di sinilah kesalehan menjadi kesalahan fatal. Meski dibungkus oleh apa yang namanya demi “kesaksian”, namun tetap saja dengan melakukan itu berarti kita sedang pamer kesalehan atau kita menjadi orang yang sombong rohani. Kesombongan adalah racun bagi orang-orang saleh!

Kesombongan adalah dosa yang paling tidak terlihat. Kesombongan tersembunyi di balik kesalehan. James Bryan Smith mengatakan, “Penyakit ini menyerang tepat di dalam kebaikan manusia. Kesombongan adalah satu-satunya dosa yang memerlukan kebaikan agar bisa terlihat keberadaannya. Kesombongan bersembunyi di balik kebaikan, dan inilah mengapa ia sulit untuk disadari.” Andrew Murray menuliskan, “Tidak ada kebanggaan yang lebih membahayakan, tersembunyi dan busuk, dari pada kebanggaan akan kekudusan diri.”

Yesus membongkar kesombongan rohani semacam ini. Dalam Khotbah di Bukit, Yesus memberikan tiga contoh mengenai orang-orang yang melakukan kebaikan agar dipuji orang lain. Tidak hanya dulu, sekarang pun orang akan memuji tiga kesalehan ini: memberi sedekah, berdoa dan bepuasa. Ketiganya, tentu saja dikehendaki Allah agar kebaikan Allah itu dapat tercermin dalam kehidupan kita. Sayangnya, ketiga perbuatan saleh ini dilakukan malah dengan cara merusak diri.

Yesus memperlihatkan pemahaman mendalam tentang hati manusia, “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga.”

Yesus mengkritik pemberian sedekah kepada orang-orang miskin. Sinagoga pada abad pertama memiliki system untuk membantu orang-orang miskin. Banyak orang memberikan uang ke sinagoga, kemudian uang tersebut disalurkan kepada orang-orang miskin. Ketika seseorang memberikan uang dalam jumlah banyak, maka semua orang akan mengetahuinya (Sirakh 31:11). Tidak ada yang salah memberi uang kepada orang miskin. Ini sangat baik! Tidak ada yang salah juga bahwa pada akhirnya orang akan mengetahui pemberian Anda. Namun, Yesus mempertanyakan, apakah pemberian itu bertujuan untuk mendapat pujian orang lain? Jika iya, maka sesungguhnya kita sudah mendapat upanya. Pujian mereka, bukan dari Allah!

Yesus mengkritik budaya umum saat itu: berdoa di sinagoge dan tikungan jalan raya. Orang Yahudi saleh berdoa tiga kali sehari - ini bukan doa makan ya -. Terkadang mereka berdoa di tempat-tempat umum. Pada jam Sembilan, orang Yahudi akan pergi ke sinagoge untuk berdoa, dan mereka akan berdoa dengan berdiri dan bersuara keras. Semua orang tahu bahwa dia sedang berdoa. Yesus mempertanyakan, apa motivasi berdoa itu. Apakah kita berdoa supaya orang lain tahu bahwa kita berdoa? Apakah supaya orang lain memuji kesalehan kita dengan meninggalkan aktivitas lain dan memilih berdoa? Doa tidak salah, malah perbuatan saleh. Komitmen dalam jam tertentu juga baik melatihcdisiplin rohani kita. Namun, Yesus mempertanyakanL: apakah motovasi berdoa itu supaya orang lain melihat lalu berdecak kagum akan kesalehan kita? Tentu saja esensi doa bukan itu!

Terakhir Yesus mengkritik kesalehan orang berpuasa. Mengapa? Yesus tidak pernah melarang orang berpuasa. Yang Yesus tidak kehendaki adalah berpuasa supaya dilihat orang. Lagi-lagi Yesus mengingatkan bahwa kesalehan itu bukan tontonan dan bukan sarana orang mendapatkan nilai diri lebih tinggi. Bukan! Yesus berkata, jika mereka ingin membuat orang lain terkesan, maka mereka telah mendapatkannya. Kata Yunani untuk “upah” berada dalam bentuk singular, yang menunjukkan bahwa upah ini hanya diberi satu kali saja. Mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Allah sama sekali tidak terkait dengan mereka karena Allah tidak mendapatkan tempat di hati orang-orang yang sombong rohani. Mereka menginginkan pujian, bukan keintiman dengan Allah! Tujuan mereka bukanlah meringankan beban orang miskin, atau mencari keintiman persekutuan dengan Allah melalui doa, atau melatih dan membersihkan diri serta bertobat melalui puasa. Melainkan, mereka butuh pengakuan dan kekaguman orang lain!

Hari ini Rabu Abu. Tradisi gereja menorehkan abu di kening kita. Kita diingatkan tentang kefanaan: “dari debu akan kembali kepada debu, bertobatlah!” Ritual ini sangat mudah bagi kita untuk terjerumus pada kesombongan rohani yang Yesus kritik dulu. Banyak umat justru berswafoto dan memajang di flatform medsos masing-masing. Euforia, menunjukkan diri bertobat dan siap memasuki minggu-minggu pra-paskah. Saya merenung, mungkinkah Tuhan Yesus tersenyum bangga dengan umat-Nya yang memajang abu di jidat dan memamerkannya? Ataukah Dia akan mengernyitkan dahi-Nya lalu geleng-geleng kepala dan bergumam, “Ternyata telah dua ribu tahun lalu Aku mengecam kemunafikan kesalehan yang salah, namun sampai hari ini pun tetap digemari!”

Lakukanlah kesalehan dengan motivasi tulus. Masukilah hidup pertobatan dengan sesungguhnya.  Selamat memasuki masa raya Paskah!

Jakarta, Rabu Abu 2022