Hare Krishna adalah sebuah gerakan bhakti atau amal yang didirikan di Amerika Serikat tahun 1965 oleh A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada dengan nama resmi “The International Society for Krishna Consciousness”. Sebagai sebuah gerakan amal, anggota Sekte Hare Krishna kerap berada di ruang publik, bandara atau stasiun kereta api. Seorang anggota sekte biasanya akan menyapa dengan seseorang dengan ramah sambil memberikan setangkai bunga kecil. Jika Anda seperti kebanyakan orang, Anda akan menerima bunga itu untuk menghindar dari kesan kasar dan tidak bersahabat. Namun, jika Anda berusaha menolak, Anda akan segera mendengar suara lembut, “Ambillah, ini hadiah dari kami untuk Anda.”
Jika Anda ingin membuang bunga itu ke tempat sampah terdekat, Anda akan melihat sudah ada beberapa tangkai di sana. Tapi itu bukan akhir. Tepat ketika perasaan tidak enak mulai menarik-narik hati Anda, seorang anggota sekte Hare Krishna yang lain akan segera mendekati Anda, kali ini jelas bukan untuk memberikan setangkai bunga lagi, melainkan proposal sumbangan! Sering kali permintaan ini berhasil, sangat sukses sehingga banyak bandara internasional melarang anggota sekte tersebut berada dalam wilayah mereka.
Seorang psikolog ternama, Robert Cialdini menjelaskan kesuksesan kampanye seperti ini dan yang sejenisnya. Cialdini mempelajari fenomena “timbal-balik” (reciprocity). Ia telah menemukan bahwa manusia akan mengalami kesulitan kalau berutang kepada orang lain. Maka tidaklah heran jika banyak LSM dan lembaga amal menggunakan Teknik yang percis sama: pertama, memberi, lalu mengambil. Apakah fenomena ini hanya berhenti pada LSM dan lembaga-lembaga amal saja? Rasanya tidak! Bahkan, kita dapat menjumpai dalam gereja pun terjadi. Atas nama pelayanan gereja berbagi amal, bakti sosial dan yang sejenisnya. Untuk apa? Ya, supaya gereja kita aman Pak! Perhatian dan doa-doa personal menjadi andalan agar cengkraman makin kuat, anggota jemaat tidak hengkang. Politik hutang budi membuat seseorang tidak bebas. Paisengki!
Lazarus telah mati dan dibangkitkan. Sekarang si Pembangkit itu berkunjung ke kampung Lazarus. Betania! Ini kesempatan baik untuk balas budi. Keluarga itu menyiapkan perjamuan. Perjamuan spektakuler. Betapa tidak, bukan hanya hidangan makan, minum. Narwastu murni setengah kati seharga 45 juta rupiah tumpah ruah di kaki Yesus. Jelas, ini menimbulkan bau semerbak harum di seluruh ruangan bahkan mungkin saja sampai keluar rumah. Harum narwastu pengganti bau anyir mayat yang telah dibangkitkan Yesus. Rasanya narwastu seharga 300 dinar menjadi tidak berarti dibanding nyawa saudara Maria yang kembali! Namun, bagi Yudas ini adalah bentuk pemborosan. Bukankah uang sebanyak itu dapat disumbangkan untuk para fakir miskin?
Reciprocity-kah Maria? Mengingat saudara yang dicintainya tidak jadi mati sehingga ia mau mengurbankan apa saja yang paling berharga untuk membalas kebaikan Sang Guru? Jika benar, kalau demikian apakah yang dilakukan oleh Yesus tidak ubahnya seperti banyak LSM, lembaga amal atau salah satu metode marketing?
Yesus mencintai dan menyatakan belas kasihan-Nya terhadap keluarga Maria itu nyata. Tidak dapat dibantah! Sebelumnya, Yesus bahkan menangis karena kepergian Lazarus. Sepertinya, untuk menggambarkan rasa belas kasihan mendalam, Alkitab hanya mencatat terjadi dalam keluarga ini. Cinta Yesus yang begitu besar ditangkap oleh saudara-bersaudara ini. Jelas, ini bukan reciprocity. Ini kasih yang tulus, kasih yang tanpa syarat, yang tidak mengharapkan balasan. Yesus tidak sedang menanam saham balas budi. Yesus tidak sedang mengikat Maria dan saudara-saudaranya sehingga memaksakan diri untuk melayani Yesus. Tidak!
Justru, kasih-Nya membebaskan mereka dari belenggu kematian. Mengarahkan Marta dan Maria agar memahami arti dari sebuah pelayanan! Dampak dari kasih yang membebaskan itu terlihat dari sikap Maria. Ia bebas, tidak terikat dengan harta kekayaan. Ia bebas, bahkan dengan rambutnya - mahkota seorang perempuan - ia menyeka bagian terendah dari tubuh Yesus. Kaki-Nya! Maria tidak menyayangkan untuk tindakan kasih yang ia nyatakan kepada Yesus. Hal yang serupa terjadi pada Paulus ketika ia mengalami perjumpaan dengan Yesus yang membebaskannya dari belenggu Taurat, Paulus merasakan dekapan kasih Yesus itu sehingga dalam bacaan kedua minggu ini (Filipi 3:4-14), membuat segala sesuatu yang dianggap berharga kini dilepaskannya, bahkan secara ekstrem ia memandangnya sebagai sampah. Mengapa? Yang berharga dan terbaik telah ia dapatkan di dalam Kristus!
Tindakan Maria diniatkan oleh kasih yang begitu mendalam terhadap Yesus tanpa disadarinya telah menjadi semacam persiapan dalam puncak pelayanan Yesus. Tindakan Maria yang mengurapi Yesus dengan minyak narwastu murni merupakan persiapan penguburan Yesus.
Tindakan menyeka kaki Yesus dengan rambutnya pada zaman itu, bahkan mungkin juga sekarang, merupakan tindakan berlebihan dan tidak elok dilihat banyak orang: menguraikan rambut, tentu saja membuka tudung kepala. Rambut bagi seorang perempuan adalah mahkota, kini ia gunakan untuk membasuh kaki, bagian tubuh paling bawah tentu saja merupakan pemandangan kontras. Namun, tanpa disadari Maria, inilah wujud dari kerendahan hati, yang nantinya akan diperagakan juga oleh Yesus ketika Ia membasuh kaki para murid dalam perjamuan malam terakhir. Yesus yang adalah Sang Guru dan Tuhan meminta para murid untuk meneladani-Nya.
Jika Maria, dalam peristiwa pembangkitan Lazarus dikenal dan dihormati dengan pengakuannya, “Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia” (Yohanes 11:27), sekarang Maria dihormati sebagai orang yang mengungkapkan kasihnya. Seorang yang patut diteladani oleh semua kaum beriman.
Sama seperti Maria, apakah buat kita perjumpaan dengan Yesus Kristus itu hanya sekedar pelajaran katekisasi? Atau, benar bahwa Dia adalah seorang Sahabat, Guru dan Tuhan, yang memahami kemelut hidup kita, mengerti dan mengampuni segala dosa dan penyesalan kita? Sekarang, apa yang dapat kita persembahkan kepada Kristus? Jika Maria telah memberikan yang terbaik, baik materi maupun “harga diri” meskipun harus menimbulkan protes dari seorang Yudas, lalu apa dapat kita persembahkan kepada-Nya? Masihkah kita memberi dan melayani-Nya dengan motif “timbal-balik”?
Seharusnya, kasih Kristus itu membebaskan kita dari segala ikatan yang membelenggu. Di dalam Kristus, kita adalah orang-orang yang merdeka. Merdeka untuk melayani-Nya dengan segenap hati, akal budi dan kekuatan kita. Sangat mungkin akan tampil orang-orang seperti Yudas yang mencibir dan menganggap “pemborosan” dalam kita melayani-Nya. Namun, ketika cinta-Nya merengkuh kita maka hanya ada satu kata “bersyukur!”
Jakarta, Minggu Pra-paskah ke-5 Tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar