Kamis, 03 Maret 2022

MENGAKRABI KESUSAHAN, MERANGKUL KEHIDUPAN

Warren MacKenzie adalah seorang keramikus (potter) ternama. Dia dibesarkan di Wilmette, Illinois, Amerika Serikat. Kecintaannya pada karya keramik membuatnya terus berkarya sampai akhir hidupnya yang mencapai 94 tahun. Karena kepakarannya, MacKenzie dikenal sebagai guru. Sejak 1953 ia mengajar di Universitas of Minnesota, di sini pula ia menjadi guru besar emeritus.

Awalnya MacKenzie dan istrinya yang juga seorang seniman mencoba berbagai hal: “Tahukah Anda, ketika masih muda Anda pikir Anda bisa melakukan apa saja, dan kami pikir, kami akan menjadi seorang keramikus, kami akan menjadi pelukis, desainer tekstik, perancang perhiasan, kami akan menjadi inilah, itulah. Kami akan menjadi orang-orang renaisans!”

Tidak lama kemudian MacKenzie berpikir bahwa melakukan satu hal dengan semakin mahir mungkin lebih memuaskan dari pada tetap menjadi amatiran untuk beberapa hal berbeda: “Akhirnya kami berdua memutuskan berkonsentrasi pada kerajinan keramik, karena bidang inilah yang benar-benar kami minati.”

“Seorang pengrajin keramik dapat menghasilkan empat puluh atau lima puluh karya dalam sehari. Beberapa di antara karya itu bagus, beberapa biasa saja, dan sebagiannya jelek. Hanya beberapa produk yang bisa dijual, dan yang bisa dijual itu hanya sedikit sekali.” Sampai hari tuanya, MacKenzie masih saja terus membuat karya keramik. Dunia mengakui karya-karyanya memang pantas dipajang di museum atau di rumah para kolektor. Nilai seni tinggi dan bentuk yang istimewa!

“Saya teringat kembali beberapa pot yang kami buat ketika kami memulai usaha ini. Karya-karya yang jelek. Saat itu kami pikir pot-pot itu bagus; itu pot terbagus yang pernah kami buat, tapi cara pikir kami begitu dangkal, sehingga kualitas karya kami juga demikian, dan karenanya tidak memberi kesan megah, sesuatu yang saya cari dalam kehidupan saya.” Kenang MacKenzie ketika merintis kehidupannya dalam dunia karya seni keramik.

“Sepuluh ribu pot pertama boleh dibilang sulit,” ujarnya, “setelah itu pekerjaan ini menjadi semakin mudah.” Seiiring semakin mudah karena MacKenzie telah akrab dengan tanah liat dan karakternya serta bagaimana memperlakukannya, maka semakin mahirlah dia. Ia mampu memproduksi karya tembikar itu lebih banyak dalam sehari. Pada waktu yang sama, jumlah karya yang bagus lebih banyak dan orang berlomba ingin memiliki karyanya itu.

Dengan upaya keras, MacKenzie menjadi semakin mahir. Dengan mengakrabi berbagai kesulitan ia berhasil menemukan keindahan dan kemegahan dalam setiap karyanya. “Hal-hal paling menarik dalam hidup saya adalah bahwa saya dapat membuat suatu karya yang cocok untuk dipajang di rumah orang.” Pada waktu yang sama, dengan upaya yang sama, MacKenzie menjadi seorang yang mahir!

Wareen MacKenzie hanyalah satu dari banyak orang yang tidak terhitung jumlahnya yang mencoba merangkul kesulitan dan tantangan. Ia dan orang-orang seperti dia tidak lari dari kesulitan, tidak juga menyesali atau menyalahkan pihak atau orang lain. Namun, menerima dan mengakrabinya: bergelu dan bergumul sehingga buah manis dari perjuangan itu dapat dinikmati. Orang masih akan terus bisa mengagumi keindahan karya-karya MacKenzie sampai kapan pun karna karya keramik tidak lekang dimakan waktu.

Setiap hari, tentu saja selain berkat Tuhan yang tersedia, kita akrab dengan kesusahan. Bahkan hari-hari belakangan ini kesusahan kita semakin bertambah. Pandemi alih-alih selesai, malah semakin banyak di antara kita yang terpapar varian baru, omicron meski katanya tidak seganas varian delta, tetap saja membuat was-was dan susah. Susah bergerak, harus isoman dan belum lagi menata hati serta pikiran. Kesusahan itu makin bertambah dengan kelangkaan minyak goreng, tempe, tahu, daging, harga gas naik yang otomatis semua akan mendongkrak harga-harga kebutuhan yang lainnya. Hidup semakin susah!

Lalu, apakah kehidupan akan berhenti karena kesusahan-kesusahan itu? Atau kita mengutuki, menyalahkan, berkelu-kesah, dan ujungnya menyerah? Mestinya tidak. Di sinilah kita membutuhkan daya tahan. Kita membutuhkan karakter yang tangguh sebagai anak-anak Tuhan yang memang tidak bebas dari masalah dan kesusahan. Ketangguhan bukan hanya bawaan dari lahir, melainkan juga dibangun melalui proses dalam kurun waktu tertentu. Semakin Anda sering berhadapan dengan kesusahan dan mengatasinya maka semakin besar ketangguhan itu tumbuh. Semakin Anda lari dari masalah dan menyalahkan orang lain, maka semakin kecillah ketangguhan yang Anda miliki.

Sebagai anak-anak Tuhan, kita yakin bahwa daya juang atau ketangguhan yang kita miliki dalam menghadapi masalah jelas bukan berasal dari kekuatan kita sendiri. Ada campur tangan Tuhan. Ada tangan yang tidak kelihatan yang menopang upaya daya juang kita sehingga kita tidak terhempas jatuh dan tidak berdaya. Dalam kehidupan umat Allah, Musa mengingatkan ketika nanti mereka masuk negeri perjanjian dan menikmati hasil buminya maka janganlah lupa memberikan hasil pertama tuaian itu sebagai persembahan kepada Allah (bacaan pertama Minggu ini, Ulangan 26:1-11). Persembahan syukur adalah tanda pengakuan bahwa di balik semua perjuangan menghadapi kesusahan sehingga sampai pada musim menuai ada tangan perkasa yang menolong. Allah!

Sebagai pengikut Kristus, kita selalu diingatkan bahwa Yesus Kristus juga tidak menghindar dari kesusahan. Ia tidak mencari jalan nyaman menuntaskan karya cinta kasih Allah. Keseluruhan hidup yang dijalani-Nya sangat akrab dengan kesusahan, tepatnya penderitaan. Selesai peristiwa pembaptisan dan Allah menyatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah yang berkenan kepada-Nya, ini tidak membebaskan-Nya dari kesusahan. Allah berkenan bukan berarti hidup tidak ada masalah, lancar tidak ada hambatan, sukses terus. Tidak demikian!

Setelah peristiwa pembaptisan itu justru Yesus yang penuh dengan Roh Kudus itu dibawa ke padang gurun. Untuk apa? Dicobai! Yesus dihadapkan dengan masalah, dengan kesusahan, bukan dibawa untuk berwisata! Padang gurun bukan tempat piknik, melainkan ruang spiritual di mana manusia berhadapan dengan dilema iman. Dulu pada zaman Musa, padang gurun adalah tempat ujian umat: apakah mereka setia atau berkelu-kesah dan bersungut-sungut. Dari kisah ini kita belajar ternyata tidak banyak orang yang lolos dari batu uji padang gurun. Hanya sebagian kecil yang melewatinya dan berhasil masuk tanah perjanjian.

Empat puluh hari di padang gurun, tentu bukan perkara mudah. Yesus harus berjuang mengatasi pelbagai kesulitan menyangkut kebutuhan dirinya dan juga tantangan alam yang ekstrim. Belum lagi Ia harus berhadapan dengan Iblis yang mencoba untuk menggagalkan misi-Nya. Tak pelak lagi, tawaran-tawaran yang diberikan Iblis merupakan solusi mudah untuk mengatasi kesusahan yang dihadapi Yesus dalam alam yang ekstrim dan misi-Nya ke depan.

Mengubah batu menjadi roti adalah jalan termudah dan Yesus punya kapasitas untuk itu. Namun, Yesus mengingatkan bahwa roti memang perlu tetapi ada yang jauh melebih itu, yakni firman Tuhan. Sebab, walaupun tersedia banyak makanan namun jika hati tidak dipenuhi cinta kasih yang bersumber dari Tuhan maka semua itu akan mubazir, alih-alih menjadi sumber konflik.

Iblis lihai, ia menawarkan kekuasaan. Bukankah dengan kekuasaan itu, Yesus tidak perlu melalui jalan derita dan salib? Kompromi! Bukankah hal ini yang sering terjadi. Kita masih bisa percaya dan beribadah, di sisi lain kita juga mencari solusi dengan cara-cara duniawi. Yesus bergeming bahwa manusia harus menyembah hanya pada Allah saja. Yesus bersih kukuh bahwa satu-satunya kuasa yang berbuah cinta hanya bersumber dari Allah.

Tampaknya Iblis belum menyerah. Pencobaan pamungkas versi Injil Lukas, Iblis menantang Yesus untuk menguji kasih dan perlindungan Allah. Yesus diminta menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah. Ini tantangan pembuktian iman. Tidak memenuhi permintaan itu berarti pengecut, namun melakukannya sama dengan mencobai Allah sendiri. Mungkin ini juga yang di diam-diam kita tanya: apakah benar Allah mengasihiku, sampai kapan Allah memelihara, mangapa Allah diam saja ketika beban hidup sudah mencekik leher, jika Allah pemurah mengapa harus menunggu banyak korban berjatuhan melalui perang, wabah, dan sebagainya?

Belajar dari Yesus, Ia juga dalam pergumulan berat. Yesus diperhadapkan pada keprihatinan. Dalam puasa empat puluh hari dalam kondisi alam ekstrim, Yesus memilih merangkul keprihatinan, Ia tetap mengakrabi jalan derita sambil terus fokus kepada Bapa-Nya. Setia dalam ketulusan dan inilah yang membuat Iblis frustasi dan mundur.

Akrabi apa yang sekarang terasa sulit. Jangan berhenti berjuang, yakin bahwa ada tangan yang tidak terlihat menopang kita. Sama seperti kisah Warren MacKenzie yang tidak gampang menyerah dan di ujungnya nanti kita akan merangkul atau tepatnya dirangkul oleh kehidupan yang kekal!

Jakarta, Minggu Prapaskah 1, Tahun C ,2022

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar