Sadara tau tidak, keinginan untuk diakui, bahkan dianggap hebat berasal dari latar belakang masa kecil kita. Coba ingat, ketika kita melakukan kebaikan, maka segera akan mendapat pujian. Sebaliknya, kalau melakukan kesalah, pasti hukuman akan kita terima. Sampai di sini tentu saja tidak ada yang keliru.
Selanjutnya, ritme kehidupan kita berlangsung seperti itu. Mulai dari sekolah, olahraga, pekerjaan bahkan pelayanan dan ibadah. Lakukan hal besar, berprestasilah, maka nilai dirimu akan bertambah. Orang akan mengagumimu! Lagi-lagi, sampai di sini tidak ada yang salah. Seiring berjalannya waktu, kita mulai lapar atau tepatnya ketagihan dengan pengakuan orang lain karena dari merekalah nilai diri kita ditentukan. Akibatnya, pujian lebih penting ketimbang melakukan perbuatan baik atau berprestasi itu!
Dunia ini menilai kita berdasarkan penampilan. Nilai diri kita oleh apa yang orang lain lihat. Jika orang lain mengatakan bahwa kita baik, maka kita menjadi baik. Begitu pula sebaliknya. Dunia ini melihat rupa. Geloranya menghantam kita sehingga kita merasa butuh untuk dihargai, dihormati, dipuji, dan diakui atas apa yang kita lakukan. Kebutuhan untuk dicintai bisa diperoleh melalui kekaguman orang lain. Sayangnya, kekaguman dan pengakuan atas penampilan begitu fana dan rapuh. Kita hanya sebaik apa yang kita tampilkan setiap hari.
Di luar Kerajaan Allah, nilai diri kita ditentukan oleh orang lain. Maka, jika kita melakukan sesuatu tanpa ada yang orang yang mengetahuinya, kita menjadi gelisah karena tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Ini serupa ketika kita mengunggah status, foto atau video, lalu tidak ada orang yang memberi tanda jempol dan berkomentar kita menjadi gelisah!
Sangat mudah bagi kita juga untuk mengalami kegelisahan ini dalam kehidupan rohani. Kebanyakan orang akan memuji orang yang “rohani”. Orang-orang yang dewasa secara rohani itu ditunjukkan dengan rajin berdoa, membaca Alkitab dan berpuasa. Tentu hal ini perbuatan yang mulia, baik dan terpuji. Ini adalah buah dari kesalehan. Setiap agama dan ajaran spiritual menghendaki para pengikutnya untuk menjadi orang-orang yang saleh.
Kesalehan adalah wujud atau buah dari iman. Iman itu terpancar melalui praktik kehidupan sehari-hari. Namun, ketika orang-orang mulai berdecak kagum atas penampilan kesalehan dan kemudian kita mengerjakan kesalehan itu demi tuntutan pengakuan mereka, di sinilah kesalehan menjadi kesalahan fatal. Meski dibungkus oleh apa yang namanya demi “kesaksian”, namun tetap saja dengan melakukan itu berarti kita sedang pamer kesalehan atau kita menjadi orang yang sombong rohani. Kesombongan adalah racun bagi orang-orang saleh!
Kesombongan adalah dosa yang
paling tidak terlihat. Kesombongan tersembunyi di balik kesalehan. James Bryan
Smith mengatakan, “Penyakit ini menyerang tepat di dalam kebaikan manusia.
Kesombongan adalah satu-satunya dosa yang memerlukan kebaikan agar bisa
terlihat keberadaannya. Kesombongan bersembunyi di balik kebaikan, dan inilah
mengapa ia sulit untuk disadari.” Andrew Murray menuliskan, “Tidak ada
kebanggaan yang lebih membahayakan, tersembunyi dan busuk, dari pada kebanggaan
akan kekudusan diri.”
Yesus membongkar kesombongan rohani semacam ini. Dalam Khotbah di Bukit, Yesus memberikan tiga contoh mengenai orang-orang yang melakukan kebaikan agar dipuji orang lain. Tidak hanya dulu, sekarang pun orang akan memuji tiga kesalehan ini: memberi sedekah, berdoa dan bepuasa. Ketiganya, tentu saja dikehendaki Allah agar kebaikan Allah itu dapat tercermin dalam kehidupan kita. Sayangnya, ketiga perbuatan saleh ini dilakukan malah dengan cara merusak diri.
Yesus memperlihatkan pemahaman mendalam tentang hati manusia, “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga.”
Yesus mengkritik pemberian sedekah kepada orang-orang miskin. Sinagoga pada abad pertama memiliki system untuk membantu orang-orang miskin. Banyak orang memberikan uang ke sinagoga, kemudian uang tersebut disalurkan kepada orang-orang miskin. Ketika seseorang memberikan uang dalam jumlah banyak, maka semua orang akan mengetahuinya (Sirakh 31:11). Tidak ada yang salah memberi uang kepada orang miskin. Ini sangat baik! Tidak ada yang salah juga bahwa pada akhirnya orang akan mengetahui pemberian Anda. Namun, Yesus mempertanyakan, apakah pemberian itu bertujuan untuk mendapat pujian orang lain? Jika iya, maka sesungguhnya kita sudah mendapat upanya. Pujian mereka, bukan dari Allah!
Yesus mengkritik budaya umum saat itu: berdoa di sinagoge dan tikungan jalan raya. Orang Yahudi saleh berdoa tiga kali sehari - ini bukan doa makan ya -. Terkadang mereka berdoa di tempat-tempat umum. Pada jam Sembilan, orang Yahudi akan pergi ke sinagoge untuk berdoa, dan mereka akan berdoa dengan berdiri dan bersuara keras. Semua orang tahu bahwa dia sedang berdoa. Yesus mempertanyakan, apa motivasi berdoa itu. Apakah kita berdoa supaya orang lain tahu bahwa kita berdoa? Apakah supaya orang lain memuji kesalehan kita dengan meninggalkan aktivitas lain dan memilih berdoa? Doa tidak salah, malah perbuatan saleh. Komitmen dalam jam tertentu juga baik melatihcdisiplin rohani kita. Namun, Yesus mempertanyakanL: apakah motovasi berdoa itu supaya orang lain melihat lalu berdecak kagum akan kesalehan kita? Tentu saja esensi doa bukan itu!
Terakhir Yesus mengkritik kesalehan orang berpuasa. Mengapa? Yesus tidak pernah melarang orang berpuasa. Yang Yesus tidak kehendaki adalah berpuasa supaya dilihat orang. Lagi-lagi Yesus mengingatkan bahwa kesalehan itu bukan tontonan dan bukan sarana orang mendapatkan nilai diri lebih tinggi. Bukan! Yesus berkata, jika mereka ingin membuat orang lain terkesan, maka mereka telah mendapatkannya. Kata Yunani untuk “upah” berada dalam bentuk singular, yang menunjukkan bahwa upah ini hanya diberi satu kali saja. Mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Allah sama sekali tidak terkait dengan mereka karena Allah tidak mendapatkan tempat di hati orang-orang yang sombong rohani. Mereka menginginkan pujian, bukan keintiman dengan Allah! Tujuan mereka bukanlah meringankan beban orang miskin, atau mencari keintiman persekutuan dengan Allah melalui doa, atau melatih dan membersihkan diri serta bertobat melalui puasa. Melainkan, mereka butuh pengakuan dan kekaguman orang lain!
Hari ini Rabu Abu. Tradisi gereja menorehkan abu di kening kita. Kita diingatkan tentang kefanaan: “dari debu akan kembali kepada debu, bertobatlah!” Ritual ini sangat mudah bagi kita untuk terjerumus pada kesombongan rohani yang Yesus kritik dulu. Banyak umat justru berswafoto dan memajang di flatform medsos masing-masing. Euforia, menunjukkan diri bertobat dan siap memasuki minggu-minggu pra-paskah. Saya merenung, mungkinkah Tuhan Yesus tersenyum bangga dengan umat-Nya yang memajang abu di jidat dan memamerkannya? Ataukah Dia akan mengernyitkan dahi-Nya lalu geleng-geleng kepala dan bergumam, “Ternyata telah dua ribu tahun lalu Aku mengecam kemunafikan kesalehan yang salah, namun sampai hari ini pun tetap digemari!”
Lakukanlah kesalehan dengan motivasi tulus. Masukilah hidup pertobatan dengan sesungguhnya. Selamat memasuki masa raya Paskah!
Jakarta, Rabu Abu 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar